Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Laporan Praktikum Pengolahan Limbah Dasar Peternakan

Pengolahan limbah kompost

ANALISIS LIMBAH CAIR PETERNAKAN

MATERI DAN METODE

Materi

Uji Dissolved Oxygen (DO)
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam pengujian kadar DO meliputi portable DO meter yang terdiri dari sension6, DO probe, dan caliberation and storage chamber serta tabung erlenmeyer dan pipet volume.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pengujian kadar DO meliputi urin sebanyak 500 ml.
Uji Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Alat. Alat-alat yang digunakan meliputi botol oksigen ukuran 300 ml, pipet volume, gelas beker.
Bahan. Bahan yang digunakan meliputi sampel air, larutan KMnO4 0,1 N, larutan H2SO4 pekat, larutan MnSO4, larutan H2C2O4 0,1 N, larutan Na2S2O2 0,0025 N, pereaksi O2, dan indikator amilum.
Uji Chemical Oxygen Demand (COD)                                          
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam pengujian kadar COD meliputi alat refluks, tabung erlenmeyer, kondensor, batu didih, pemanas listrik atau kompor, buret, pipet volume, dan labu ukur.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pengujian kadar COD meliputi sampel limbah cair atau urin, larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,25N, reagen asam sulfat, reagen Ag2SO4, larutan standar ferro ammonium sulfat (FAS) 0,1N, dan indikator ferroin.
Aerasi
Alat. Alat-alat yang dsigunakan meliputi seperangkat alat aerator dan bejana terbuka.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah sampel urin.


Metode

Uji Dissolved Oxygen (DO)
Sampel aquadest dan sampel urin yang akan diuji dipersiapkan di gelas ukur atau botol minuman. Alat DO-meter dipersiapkan dan disambungkan dengan listrik serta colokan diperiksa agar tidak tertukar. DO-meter dinyalakan dan ditunggu selama 10 menit. Gabus yang ada di dalam alat dikeluarkan, kemudian dibasahi dengan cara dicelupkan ke dalam aquadest. Gabus kemudian dimasukkan kembali dan diusahakan tidak terbalik. DO probe dipasangkan ke Callibration And Storage Chamber dan tombol CAL ditekan, maka akan muncul tekanan udara. Tombol read kemudian ditekan akan muncul ukuran ketinggian permukaan dari laut. Tombol read ditekan lagi dan muncul ukuran kadar garam, kemudian masukkan angka “0”. Tombol read di tekan lagi maka akan muncul angka 100. DO probe dilepaskan dan langsung dimasukkan ke aquadest,  setelah mata DO probe tercelup. Tombol set-up dipencet dan tombol arah ke atas ditekan 3 kali dan di set-up ulang. Tombol enter ditekan, angka “0” dimasukkan dan tombol enter ditekan kembali. Terakhir, tombol exit  ditekan dan ditunggu sampai nilai stabil lagi. DO probe dimasukkan ke dalam urin setelah aquadest selesai diukur dan langkah sebelumnya diulangi.
Uji Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Metode yang digunakan untuk uji Biochemical Oxygen Demand adalah sebagai berikut : disiapkan botol oxygen, dilakukan uji Disolved Oxygen (DO) untuk mendapatkan nilai DO awal. Sampel yang telah diuji Disoilved Oxygen (DO) dimasukkan ke dalam botol oxygen. Sampel diperam selama 5 hari dengan suhu 20°C, setelah diperam tambahkan 2 ml H2SO4, dilakukan uji Disolved Oxygen (DO) untuk mendapatkan nilai DO akhir. Angka BOD kemudian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Kadar BOD = DO awal – DO akhir
Uji Chemical Oxygen Demand (COD)
Uji COD dilakukan dengan dimasukkannya urin sebanyak 20 ml dengan K2Cr2O7 0,25N sebanyak 10 ml ke dalam erlenmeyer yang kemudian ditambahkannya batu didih ke dalam campuran kedua larutan tersebut. Erlenmeyer tersebut kemudian dipasangkan pada kondensator dan dialirkan dengan air pendingin. Larutan H2SO4 dan larutan Ag2SO4 sebagai larutan proCOD ditambahkan melalui kondensor sebanyak 5 ml untuk selanjutnya ditambahkan kembali sebanyak 10 ml. Larutan pengujian COD tersebut kemudian didihkan selama 2 jam untuk selanjutnya didinginkan serta dibilas dengan air suling melalui kondensor. Indikator ferroin tersebut kemudian ditambahkan sebanyak 3 hingga 4 tetes. Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan larutan standar ferro ammonium sulfat (FAS) sampai berwarna coklat merah. Angka COD kemudian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
            Keterangan   :     a  = ml FAS untuk titrasi blanko
                                          b  = ml FAS untuk titrasi sampel
                                          c  = faktor pengencer
                                          N = normalitas FAS
Aerasi
Seperangkat alat aerator dirangkai sedemikian rupa. Sampel urin yang telah diuji Chemical Oxygen Demand (COD) dimasukkan ke dalam bejana terbuka. Ujung selang dimasukkan ke dalam sampel lalu penggunaan aerator diatur selama 3 minggu,setelah aerasi dilakukan pengujian DO, BOD, COD.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cair, gas ataupun sisa pakan. Limbah peternakan adalah semua buanagan dari usaha peternakan yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urin, air pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas atau benda dalam fase gas (Soehadji, 1992).
Menururt Salundik (1998), pH limbah cair di Bogor yaitu 7,86 dan rerata komposisi seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi limbah cair di Bogor
Komposisi
Kadar
Dissolve Oxygen
BOD
COD
Ammonia
Nitrat
Nitrit
Fosfat
0,21
1490,88
6097,35
7,56
1,63
1,07
48,99
Konsentrasi ion hidrogen adalah ukuran kualitas dari air maupun dari limbah. Adapun kadar yang baik adalah kadar yang masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air berjalan dengan baik. Air limbah dengan konsentrasi ion hidrogen yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihannya. Nilali pH yang baik bagi air minum dan limbah adalah netral (7). Semakin kecil nilai pHnya maka akan menyebabkan air tersebut berupa asam (Sugiharto, 1997).
Uji Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut (DO/Dissolved Oxygen) adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tanamnan air lainnya dan difusi udara (Hariyadi et al., 1992). Limbah cair sapi perah yang mempunyai nilai COD dan BOD yang tinggi menandakan bahwa kandungan organiknya tinggi di dalam limbah tersebut, sehingga oksigen yang terlarut rendah. Gas CO2 yang terdapat dalam limbah cukup tinggi karena diperolah dari hasil penguraian bahan organik menjadi NH3, H2O dan gas CO2.
Hasil praktikum analisis DO menggunakan DO meter menunjukkan nilai 0,53 mg/l. Menurut Menkln (1991), kadar oksigen terlarut yang distandarkan oleh menteri lingkungan hidup adalah lebih tinggi dari 3,0 mg/l. Apabila dibandingkan, kadar DO pada sampel urin jauh di bawah standar, menurunnya penguraian akan menurunkan juga pembentukan gas CO2, sehingga kandungan oksigen terlarut dalam limbah cair akan bertambah. Sebaliknya apabila penguraian meningkat maka akan meningkatkan pembentukan gas CO2 dan kandungan oksigen terlarut akan berkurang. Prinsip kerja dari DO meter yaitu terjadinya reaksi antara urin dengan elektroda. Reaksi kimia yang akan terjadi pada elektroda tersebut adalah:
Katoda : O2 + 2 H2O + 4eà 4 HO-
Anoda : Pb + 2 HO- à PbO + H20 + 2e
Uji Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Limbah ternak merupakan bahan yang mengandung air. Limbah tersebut dapat dikelompokkan menjadi limbah padat (solids), setengah padat (semi solids) dan cair (liquid) tergantung desain kandang dan cara produksi yang akan menentukan kandungan padatan dan air (Taiganides, 1997). Bahan utama pencemaran limbah ternak adalah bahan organik. Limbah ternak merupakan pencemaran bagi air serta mempunyai kandungan BOD yang tinggi dan sedikit kandungan oksigen yang terlarut dalam air.
Menurut Hariyadi et al. (1992) nilai BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (termasuk proses respirasi dalam keadaan aerob). Jadi, nilai BOD menggambarkan suatu proses oksidasi bahan organik oleh kiroorganisme yang terjadi di perairan. Proses dekomposisi bahan organik tidak terjadi sekaligus, tetapi terjadi secara bertahap, tergantung pada kabar bahan organik yang diuraikan (didekomposisi), diperkirakan hanya 10 % sampai 25 % bahan organik yang dapat diuraikan dalam setiap tahap. Oleh karena itu, untuk mancapai 96% bahan organik terurai, diperlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 20 hari. Waktu tersebut cukup lama untuk keperluan pengamatan sehingaa diambil waktu standar yaitu 5 hari. Pada hari ke 5 diperkirakan 75% bahan organik yang telah terurai dan ini cukup memadai sebagai gambaran nilai BOD.
Berdasarkan kegiatan praktikum uji BOD diperolah nilai DO awal sebesar 2,08 dan DO terakhir 0,04.
BOD = DO awal – BO akhir
           = 2,08 – 0,004
           = 2,04
Nilai ini 2,04 mgt/l sangat jauh dengan mutu limbah cair. Menurut Menklh (1991) baku mutu limbah cair golongan III adalah 150 mg/l.
Uji Chemical Oxygen Demand (COD)
Kebutuhan oksigen kimia (Chemical Oxygen Demand/COD) merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air (Alaerts dan Santika, 1997). Pada proses ini bahan organik dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Sehingga bila nilai COD tinggi menunjukkan adanya bahan organik yang tinggi pula. Perlakuan pada saat praktikum meliputi pemanasan yang bertujuan agar terjadi reaksi, penambahan Pro COD (H2SO4+Ag2SO4) berperan sebagai katalisator yang mempercepat reaksi, penambahan batu didih yang fungsinya memecah partikel besar menjadi kecil serta mencegah naiknya larutan ke kondensor, lalu penambahan pro COD dilakukan secara bertahap agar tidak terjadi lonjakan reaksi, hal ini sehubungan dengan fungsi pro COD sendiri yaitu sebagai katalisator. Ferro amonium sulfat berfungsi sebagai indikator untuk mengetahui sisa oksigen dari reaksi. Adapun reaksi kimia yang terjadi sebagai berikut:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9-F95uXB1mLJQ-M1DXRddjMGn81JO7Ko28ar8S9jaTocNyW8QmoHNREeo6yq2Tv-DmJZcZOVU6sMZiMY0AbF2D4d7oV2nH6epS3Ppv1tpc7LGhgANfsExVhk103Vb_lU5rWyb1unFrj4/s1600/reaksi.bmp
Hasil praktikum analisis COD menghasilkan nilai COD awal sebasar 8000 mg/l. Angka ini mengindikasikan bahwa dalam urin sampel terdapat banyak zat organik. Kadar COD opada limbah cair dalam percobaan ini jauh di atas standar mutulimbah yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dalam SK nomor Kepmen-03/MENKLH/11/1991 mutu limbah cair golongan IV dengan nilai 600 mg/l.
Aerasi
Pengolahan limbah secara biologis dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang melibatkan kegiatan mikroorganisme dalam air untuk melakukan transformasi senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam air untuk menjadi bentuk atau senyawa lain. Mikroorganisme mengkonsumsi bahan-bahan organik membuat biomassa sel baru serta zat-zat organik dan memanfaatkan energi yang dihasilkan dari reaksi oksidasi untuk metabolismenya. Adapun tujuan dari pengolahan limbah cair secara biologis adalah untuk menyisihkan atau menurunkan konsentrasi senyawa organik maupun anorganik dengan memanfaatkan berbagai mikroorganisme, terutama bakteri (Metcalf dan Eddy, 1997).
Proses aerasi merupakan suatu usaha penambahan konsentrasi oksigen yang terkandung dalam air limbah, agar proses oksidasi biologi oleh mikrobia akan dapat berjalan dengan baik. Dalam prakteknya terdapat dua cara untuk menambahkan oksigen ke dalam air limbah, yaitu memasukkan udara ke dalam air limbah, hal ini sesuai dengan yang dilakukan saat praktikum aerasi urin, dan memaksa urin ke atas untuk berkontak dengan oksigen, salah satu contohnya adalah melalui pemutaran baling-baling (Edahwati, 2011).
Berdasarkan praktikum aerasi urin diperolah nilai COD akhir sebesar 6400 mg/l, dengan COD sebelum aerasi 8000 mg/l. Menurut Edahwati (2011), bahwa semakin besar laju alir air limbah, penurunan kadar COD semakin kecil.



KESIMPULAN

Oksigen sangat dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan dan proses metabolisme. Oksigen di dalam bidang perairan berperan dalam proses oksidasi den reduksi bahan kimia menjadi senyawa yang lebih sederhana sebagai nutrien yang sangat dibutuhkan organisme perairan. Sumber utama oksigen diperairan berasal dari proses difusi udara bebas dan hasil proses fotosintesis.
Untuk mengetahui kualitas suatu perairan parameter oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biokimia (BOD) memegang peranan penting. Prinsip penentuannya bisa dilakukan dengan cara titrasi iodometri atau langsung dengan alat DO meter.
Suatu perairan yang tingkat pencemarannya rendah dan bisa dikatagorikan sebagai perairan yang baik, maka kadar oksigen terlarutnya (DO) > 5 ppm dan kadar oksigen biokimianya (BOD) berkisar 0 sampai 10 ppm, dan COD.


DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. Dan Santika. 1997. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.

Edahwati, Luluk dan Suorihatin. 2011. Kombinasi proses aerasi Adsorbsi dan filtrasi pada pengolahan air limbah industry perikanan. Fakultas Teknologi Industri UPN Veteran, Jawa timur.

Hariyadi, S., I. N. N. Suryadiputra dan B. Widigdo. 1992. Limnologi (Metode analisa kualitas air). Edisi I. Laboratorium Limnologi, Fakultas Peternakan IPB.

Menklh. 1991. Keputusan menteri negara lingkungan hudup nomor : KEP-03/MENKLH/II/1991, tentang pedoman penetapan baku mutu lingkungan. Dalam : Himpunan peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup secretariat meneri negara lingkungan hidup. Jakarta. Hal 422-423.

Metcalf dan Eddy. 1997. Waste water engineering : treatment disposal reuse. 2nd edition. New delhi: Mc. Graw Hill. Publishing Company LTD.

Salundik. 1998. Pengolahan limbah cair usaha peternakan spi perah dengan eceng gondok (Eichhornia crassipens (mart) Solms). Tesis. Program studi pascasarjana IPB, Bogor.

Soehadji. 1992. Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan industry peternakan dan penanganan limbah peternakan. Makalah seminar. Direktorat jendral peternakan. Departemen pertanian. Jakarta.

Sugiharto. 1997. Dasar-dasar pengolahan air limbah. Universitas Indonesia press, Jakarta.

Taiganides. 1997. Animal Waste. Applied Science Publisher. Ltd. London.


LAMPIRAN


ACARA II
ANALISIS BAHAN PADATAN LIMBAH PETERNAKAN

MATERI DAN METODE

Materi
Uji Total Solidss (TS), Total Volatile Solidss (TVS), dan Total Fixed Solidss (TFS)
Alat. Alat-alat yang diperlukan antara lain meliputi oven suhu 105°C, tanur suhu 550°C sampai  600°C, penjepit, cawan goch, dan timbangan analitik.
Bahan. Bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi sampel urin.
Uji Total Suspended Solidss (TSS)
Alat. Alat-alat yang diperlukan antara lain meliputi oven suhu 105°C, tanur suhu 550°C  sampai  600°C, kertas saring, dan timbangan analitik.
Bahan. Bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi sampel urin.
Settleadle Solidss (SS)
Alat. Alat-alat yang diperlukan antara lain meliputi tabung imhoff, gelas ukur.
Bahan. Bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi sampel urin.


Metode

Uji Total Solidss (TS), Total Volatile Solidss (TVS), dan Total Fixed Solids (TFS)
Cawan goch dioven pada suhu 105°C selama 24 jam. Ditimbang berat cawan goch setelah oven (TSB) dimasukkan 2 ml sampel urin ke dalam cawan goch dan dioven pada suhu 105°C. Ditimbang berat sampel yang telah kering dan cawan goch setelah dioven (TSA). Dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 550°C sampai 600°C selama 6 sampai 8 jam atau sampai terbentuk atau berwarna putih. Didinginkan, lalu timbang sebagai berat akhir (TSC).
-       Total Solidss (TS) mg/L                   = [TSA - TSB] x 1000/sampel (ml)
-       Total Fixed Solidss (TFS) mg/L     = [TSC - TSB] x 1000/sampel (ml)
-       Total Volatile Solidss (TVS) mg/L = [TSA  - TSC] x 1000/sampel (ml)
Uji Total Suspended Solidss (TSS)
Sampel limbah cair diambil, kemudian disaring dengan kertas saring diameter 0,3 µm lalu ditimbang sebagai berat awal (a). Dimasukkan ke dalam oven 105°C selama 24 jam lalu ditimbang sebagai berat kedua (b). Tanur pada suhu 600°C dimasukkan selama 6 sampai 8 jam atau sampai terbentuk atau berwarna putih. Didinginkan lalu ditimbang sebagai berat akhir (c).
-       Total Suspended Solidss   = b / a  x 100 %
-       Fixed Suspended Solidss = c / a  x 100 %
-       Volatile Suspended Solidss          = Total Suspended Solidss - Fixed Suspended
Settleadle Solidss (SS)
Sampel limbah cair diambil sebanyak 1 L. Dimasukkan ke dalam tabung imhoff. Didiamkan selama 60menit. Diukur volume endapan yang terjadi.
-       Settleable Solidss                = Endapan / volume sampel x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Total Solids (TS), Total Volatile Solids (TVS) dan Total Fixed Solids
Total Solids (TS) atau padatan total merupakan total dari zat padat terlarut dan zat padat tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun anorganik (Rachman, 1999). Zat padat terlarut adalah jumlah nilai mineral, garam, logam, kation dan anion yang terlarut dalam air yang dinyatakan dalam mg/l. zat padat tersuspensi bila berlebih akan meningkatkan kekeruhan air, sehingga menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan limbah, dalam hal ini untuk menurunkan kadar TS dari limbah buangannya.
            Kadar TS dari limbah cair pada praktikum adalah 23,4 mg/l. Angka ini tidak sesuai dengan pendapat Triatmojo (2004), bahwa TS pada limbah sapi perah sebesar 9,3% dan besar TFS adalah lebih kecil dari 20% TTS. Semakin kecil perubahan nilai COD, TSS dan TDS menunjukkan semakin kecil proses degradasi yang terjadi pada pengolahan limbah. Penurunan total solids dapat disebabkan proses degradasi yang dilakukan oleh mikroorganisme pada limbah pasar, domestic dan sungai tercemar. Semakin menurunnya kadar TSS terjadi karena bahan-bahan organik mengalami degradasi pada saat proses hidrolisis. Selama proses hidrolisis, padatan tersuspensi berkurang karena telah berubah menjadi terlarut (Chotimah, 2010).
Total Volatile Solidss (TVS) yaitu mencerminkan kandungan bahan organik limbah peternakan. Total volatile solidss merupakan komponen-komponen yang harus distabilkan selama pengolahan limbah peternakan. Stabilitas limbah peternakan telah tercapai bila kandungan total volatil solids turun dari 80% menjadi 50% (Triatmojo, 2004). Ekskresi TVS per unit berat hidup (TLW) pada macam komoditas ternak ialah: ayam 12,2 kg/1000 kg BB/hari, babi 5,7 kg, sapi 6,5 kg, domba 9,1 kg dan sapi perah 7,2 kg/1000 kg BB/hr. Pada limbah cair ternak TVS juga dapat dikelompokkan menjadi padatan tersuspensi (SVS) dan padatan terlarut (SVS) dengan ukuran 2 sampai 3% (Triatmojo et al., 2008).
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh nilai TVS sebesar 11,3 mg/l. hasil ini kurang sesuai dengan pendapat Triatmojo et al. (2008) bahwa ekskresi TVS per unit berat hidup (TLW) pada macam komoditas ternak ialah: ayam 12,2 kg/1000 kg BB/hari, babi 5,7 kg, sapi 6,5 kg, domba 9,1 kg dan sapi perah 7,2 kg/1000 kg BB/hr.
Total fixed solidss (TFS) tersusun dari bahan anorganik terutama N, P, K, Ca, Cu, Zn, Fe dan sebagainya. TFS limbah ternak lebih kecil dari 20 % TTS kecuali pada ayam sekitar 27,2 %. TFS dapat dihitung dari TTS dikurangi TVS. TFS dapat tersuspensi ataupun terlarut (Triatmojo, 2004). Total Fixed Solids ditentukan dengan cara pengabuan sampel yang telah diuapkan kandungan airnya, selanjutnya diabukan di dalam muffle furnace pada suhu 600°C selama 6 sampai 8 jam atau sampai sempurna (abu putih). Setelah dingin dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. TFS dihitung dengan cara rumus (C/A) X 100%, dimana A adalah berat awal sampel sebelum diuapkan airnya dan C adalah berat bahan anorganik/mineral setelah diabukan (Triatmojo et al., 2008). Fixed Solids tersusun dari bahan anorganik yaitu: N, P, K, serta Ca, Cu, Zn, Fe. Total Fixed Solids juga dapat tersuspensi ataupun terlarut, TFS limbah ternak mempunyai konsentrasi yang lebih kecil dari 20% TTS (Bicudo, 2001).
Berdasarkan hasil praktikum nilai TFS adalah 12,1 mg/l. Hal ini kurang seuai dengan pendapat Triatmojo (2004) bahwa besar TFS adalah lebih kecil dari 20% TTS.


Uji Total Suspended Solidss (TSS)
Total Suspended Solids (TSS) yaitu jumlah berat zat yang tersuspensi dalam volume tertentu di dalam air yang dinyatakan dengan mg/l (Djasio, 1994). Semakin kecil penurunan nilai TSS pada pengolahan limbah, menunjukkan degradasi bahan organik juga semakin kecil. TSS terutama dipengaruhi oleh jumlah air. Volume air limbah yang semakin lama semakin berkurang juga menjadi penentu nilai TSS.
Total Suspended Solids dipisahkan menjadi padatan tersuspensi mudah diendapkan (settleable solids) dan sukar diendapkan (non settleable solids). TSS diperoleh dengan cara sebagai berikut: sampel disaring dengan kertas saring khusus (Ø 0,3 μm), kemudian padatan dikeringkan pada suhu 105°C selama 24 jam dan selanjutnya diabukan pada suhu 600°C selama 6 sampai 8 jam, maka akan diperoleh TSS (Bicudo, 2001). Berdasarkan hasil   perhitungan Total Suspended Solids (TSS) adalah 76%. Menurut Triatmojo (2004), pada limbah ternak cair berkisar antara 30 sampai 80% sedangkan konsentrasinya berkisar antara 1500 sampai 12000 mg/l. Berdasarkan hasil praktikum apabila dibandingkan literatur mendekati normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi ialah berat jenis sampel, turbiditas, ukuran partikel sampel, dan viskositas (Triatmojo et al., 2008).
Uji Settleable Solidss (SS)
            Seatlable Solids atau bahan padatan gang mudah diendapkan adalah endapan yang terbentuk pada dasar batang tabung imhoff pada periode waktu 60 menit. Seatlable solids menunjukkan jumlah total suspended solids yang diharapkan dapat diambil dengan cara pengendepan. Settleable Solids adalah bahan padatan yang terendapkan pada tabung imhoff yang terkumpul di ujung dalam jangka waktu 1 jam. Settleable solids menggambarkan jumlah TSS yang didapat dengan cara pengendapan (Bicudo, 2001).
            Settleable Solids adalah volume padatan dalam 1 liter sampel yang terdapat pada dasar tabung imhoff  selama periode waktu yang spesifik. Settleable Solids juga adalah partikel yang keluar dari limbah cair, dan bisa dihitung secara suspensi dengan imhoff tank (Anonim, 2007). Hasil perhitungan pada saat praktikum adalah 14,28 mg/l. Menurut Bicudo (2001), penentuan SS normal dalam limbah cair ialah sekitar 0,5 sampai 1 % atau 0,5 mg/L sampai 1,0 mg/L, sehingga dapat dikatakan bahwa hasilnya berbeda jauh dengan kontrol. Menurut Djuarnani et al., (2004), hal ini disebabkan oleh kandungan sludge dalam sampel limbah cair, dan jumlah bakteri yang mengoksidasi padatan tersebut.


KESIMPULAN

            Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa Total solids yang terdapat pada suatu limbah cair adalah keseluruhan jumlah padatan yang terkandung di dalamnya. Total solids dibagi menjadi dua yakni suspended solids dan fixed solids. Sedangkan dissolved solids terdiri dari volatile dissolved solidss dan fixed dissolved solids. Hasil nilai TS praktikum adalah 23,4 mg/l dengan angka TFS 12,1 mg/l dan TVS11,3 mg/l. Serta nilai total suspended solidss (TSS) adalah 76% dan nilai settleable solidss adalah 14,248 mg/l. Limbah cair yang digunakan pada praktikum uji padatan limbah cair memerlukan penanganan agar tidak mencemari lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA

Bicudo, J. R. 2001. Diagram of Settled Sollids With A Liquid Layer.  Natural Resource, Agriculture, And Engineering Service. Rochester. New York.
Chotimah. 2010. Pembuatan Biogas dari Limbah Makanan dengan Variasi dan Suhu SUbstrat dalam Biodigester Anaerob. UNS. Surakarta.
Djasio. 1994. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih. Depkes RI. Jakarta. Hal 82-83.
Djuarnani, Nan, Kristian, dan Budi Susilo Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. PT Agro Media Pustaka, Jakarta.
Rahmah, Astiari. 1999. Kamus Istilah dan Singkatan Asing Teknik Penyehatan dan Lingkungan. Universitas Trisakti. Jakarta.
Anonim, 2007. Waste water Treatment. Diakses melalui http://www.wikipedia.org/wiki/settling.
Triatmojo,et al.,  Kurniawati. N. 2008. Bahan Ajar Penanganan Limbah Industri Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Triatmojo, S. 2004. Penanganan Limbah Peternakan. Jurusan Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.


LAMPIRAN


ACARA III
DIGESTI ANAEROBIK LIMBAH ORGANIK PETERNAKAN
(BIOGAS)

MATERI DAN METODE

Materi
Pembuatan Biogas
            Alat. Alat-alat yang digunakan pada praktikum pembuatan biogas adalah alat digester, pengaduk, corong, ember dan timbangan.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan adalah feses sapi dan air.
Uji pH                                                                                                   
Alat. Alat yang digunakan untuk uji pH adalah kertas lakmus.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah slurry yang akan diukur derajat keasamannya (pH).
Uji Temperatur
Alat. Alat yang digunakan untuk uji temperatur adalah termometer.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah slurry yang akan diukur suhunya.
Perhitungan Produksi Gas
            Alat. Alat yang digunakan untuk menghitung produksi gas adalah selang bening, selotip, plastik bening, lilin malam, pipa, dan penggaris.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah air.
Metode

Pembuatan Biogas
Metode yang digunakan dalam pembuatan biogas yaitu menyiapkan alat digester yang terbuat dari drum berukuran sedang dengan dua lubang diatasnya yang memiliki ukuran berbeda yaitu lubang inlet dan outlet, kemudian dipasangkan sebuah pipa yang berfungsi sebagai kran jalur lewatnya gas yang terbentuk. Feses dan air ditimbang dengan perbandingan 1 : 1 dan keduanya dicampurkan hingga homogen. Feses dan air yang sudah tercampur dimasukkan ke dalam rangkaian digester dan dipastikan tertutup rapat.
Uji pH
Metode yang digunakan untuk uji pH dalam pembuatan biogas yaitu dipasangkan sebuah pipa yang berfungsi sebagai kran jalur lewatnya gas yang terbentuk. Pipa diletakkan pada salah satu lubang di atas drum yang berukuran kecil dan direkatkan lilin malam pada sela-sela lubang pipa agar pipa tetap rapat. Termometer dimasukan ke dalam drum dan diikat dengan tali rafia, kemudian termometer ditarik ke atas dan feses yang menempel pada termometer diukur pH-nya menggunakan kertas lakmus dengan cara di tempelkan pada feses. Pengukuran dilakukan setiap hari pukul 09.00 WIB.
Uji Temperatur
Metode yang digunakan untuk uji temperatur dalam pembuatan biogas yaitu dipasangkan sebuah pipa yang berfungsi sebagai kran jalur lewatnya gas yang terbentuk. Pipa diletakkan pada salah satu lubang di atas drum yang berukuran kecil dan direkatkan lilin malam pada sela-sela lubang pipa agar pipa tetap rapat. Termometer dimasukan ke dalam drum dan diikat dengan tali rafia, dilihat suhunya setiap hari pukul 09.00 WIB.
Perhitungan Produksi Gas
Metode yang digunakan untuk uji temperatur dalam pembuatan biogas yaitu dipasangkan sebuah pipa yang berfungsi sebagai kran jalur lewatnya gas yang terbentuk. Pipa diletakkan pada salah satu lubang di atas drum yang berukuran kecil dan direkatkan lilin malam pada sela-sela lubang pipa agar pipa tetap rapat. Selang bening disambungkan pada digester kemudian selang bening tersebut di isi air dan ditempelkan pada dinding dengan bentuk U. Plastik bening pada ujung selang diletakkan dan diamati setiap hari perkembangan jumlah gas yang timbul.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Biogas mengandung kurang lebih 60% gas methan (CH4), 38% karbon dioksida (CO2), serta 2% nitrogen (N), oksigen (O2), hydrogen (H2) dan hydrogen sulfide (H2S). Sumber energi biogas yang utama adalah kotoran ternak sapi, kerbau, babi dan kuda. Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam jumlah banyak dapat diperguanakan sebagai pembangkit listrik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Sebagai bahan energi 1 m3 setara dengan 0,62 liter minyak tanah atau 0,46 kg elpiji, 0,52 liter solar, 0,8 liter bensin atau 3,50 kg kayu bakar (Musanif, 2006).
Feses yang digunakan dalam praktikum pembuatan biogas adalah feses sapi perah. Menururt Yunus (1995) bahwa ternak ruminansia seperti sapi, kambing dan domba rata-rata lebih lama dalam menghasilkan biogas dibandingkan dengan ternak non ruminansia. Lamanya produksi biogas disebabkan oleh mutu pakan yang lebih rendah, sehingga rasiona C/N nya tinggi, akibatknya perkembangan mikrobia pembentuk gas lebih lama dibandingkan yang bermutu tinggi. Tinggi rendahnya mutu ini tergantung pada nilain N (nitrogen) di dalam ransum. Namun demikian, nilai N juga tergantung pada C (karbon). Jadi, perbandingan C dan N akan menentukan lama tidaknya proses pembentukan gas bio.
Perbandingan jumlah air dalam pembuatan biogas adalah 1:1, yaitu 20 kg feses untuk 20 liter air. Perbedaan jumlah air akan berpengaruh terhadap produksi gas yang dihasilkan. Menurut Triyatno (2012), untuk temperatur yang sama dan jumlah kandungan air yang berbeda akan menghasilkan tekanan gas yang berbeda pula, karena pada jumlah kandungan air tertentu menyebabkan bakteri mudah untuk berkembang biak atau beraktivitas sehingga proses fermentasi berlangsung lancar. Sehingga produksi gas yang dihasilkan akan optimal.
Sebelum dimasukkan ke dalam digester, terlebih dahulu campuran feses diaduk hingga homogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Jiwantoro (2005) bahwa sebelum bahan isian dimasukkan ke dalam digester terlebih dahulu dilakukan pengadukan, dimana tujuan dari pengadukan ini adalah untuk menyeragamkan atau menghomogenkan bahan isian. Jika tidak dilakukan pengadukan akan terjadi penggumpalan atau pengendapan bahan organik yang menyebabkan terhambatnya biogas.
Bahan isisan dimasukkan ke dalam digester yang anaerob. Menurut Jenie (1993), fermentasi anaerob berarti selama proses fermantasi tidak ada udara yang masuk di dalam reactor. Analognya, proses ini menitu mekanisme proses yang terjadi pada perut ruminansia yaitu proses pencernaan secara anaerobik. Produk akhir dari proses fermentasi ini adalah gas metana (CH4). Beberapa alas an yang dipakai untuk penggunaan proses anaerobik dalam penanganan limbah antara lain tingginya laju reaksi dibandingkan dengan proses aerobik, kegunaan dari produk akhirnya, stabilisasi dari komponen organik dan memberikan karakteristik tertentu pada daya ikat air produk yang menyebabkan produk dapat dikeringkan dengan mudah.
Kotoran/feses ternak merupakan bahan organik yang potensial untuk bahan baku biogas dimana strukturnya yang halus dann perlu diencerkan dengan penambahan air dengan perbandingan tertentu. Biogas dibentuk dalam tangki digester oleh bahan organik selama 21 hari pengamatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) bahwa reactor biogas skala individu dapat dibuat dari drum baja memiliki kapasitas tamping 150 liter dengan retention time (waktu tinggal) antara 18 sampai 20 hari. Anonim (2008) menambahkan, bahwa produksi gas akan optimal jika campuran masukan di dalam reactor memiliki nilai pH pada kisaran 6 sampai 7. Bakteri metanogen akan tumbuh optimal pada kisaran suhu mesofilik, antara 25 sampai 35°C. Hal ini sesuai dengan data pengamatan biogas selama 21 hari bahwa suhu biogas berkisar 27 sampai 32°C dan pH 6 sampai 7. Menurut Shuler dan Kargi (2002) suhu 27 sampai 32°C adalah suhu ideal, tetapi kurang optimal karena temperatur optimal adalah 35 sampai 40°C sehingga proses degradasi bahan organik dan pembentukan metan kurang maksimal.
Volume biogas yang dihasilkan selama 21 hari adalah 11,5 liter. Menurut Yuli (2005) biogas mempunyai komposisi gas metana sebesar 54 sampai 70%, sehingga jumlah metana yang dihasilkan selama 8 hari berkisar 6,286 sampai 8,149 liter. Volume ini sangat berbeda dengan produksi gas pada praktikum biogas hari ke 8 yang hanya 5 liter. Shuler dan Kargi (2002) menyatakan bahwa pembentukan metan dipengaruhi oleh pertumbuhan bakteri metanogenik yang mengubah asam volatile menjadi metan dan CO2 dan produk akhir lain sehingga laju pembentukan metan sering dengan laju pertumbuhan bakteri metanogenik.



KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa biogas adalah hasil pemecahan limbah organik dalam kondisi anaerob berupa gas metan sebagai hasil utamanya. Suhu selama proses pembentukan biogas berkisar antara 28oC sampai 32oC. Gas yang dihasilkan saat praktikum  mengandung gas metan, hal ini ditandai dengan adanya api berwarna biru.


DAFTAR PUSTAKA

Jenie, B. S. L. dan W. P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan Kerjasama PAU Pangan dan Gizi IPB Kanisius, Yogyakarta.

Musanif, J. 2006. Reaktor Biogas Sistem Knock Down. Sinar Tani No 3171 Tahun XXXVII. Edisi 11-17 Oktober 2006.

Triyatno, Joko. 2012. Pengaruh Perbandingan Kandungan Air dengan Kotoran Sapi terhadap Produktivitas Biogas pada Digester Bersekat. STTI Bontang. ISSN 2085-3548.

Yunus, M. 1995. Teknik membuat dan memanfaatkan Unit Gas Bio. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anonim. 2008. Produksi biogas dari limbah ternak. Pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia. Jember.

Shuler, M. L. and F. Kargi. 2002. Bioprocess Enginering. Seconden. Patience-Hall, Inc. USA.


LAMPIRAN


ACARA IV
DIGESTI AEROB LIMBAH ORGANIK PETERNAKAN
(KOMPOS)

MATERI DAN METODE

Materi
Pembuatan Kompos
Alat.  Alat yang digunakan adalah cangkul, timbangan, gerobak dorong, ember, sekop, sabit, dan plastik penutup.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah feses sapi dengan kadar air sekitar 60%, jerami, abu dapur, kapur, dan bakteri starter (air nanas).
Uji pH
Alat.  Alat yang digunakan adalah kertas pH, dan cawan kecil.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah air dan kompos yang akan diuji pH.
Uji Temperatur
Alat. Alat  yang digunakan adalah termometer.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah kompos yang akan diukur suhunya.



Metode

Pembuatan Kompos
Feses sapi dikeringkan sampai kadar air 60%. Jerami dipotong pendek-pendek. Feses 85 kg dicampur dengan jerami yang sudah dipotong-potong seberat 5,5 kg. Ditambahkan kapur (4 kg), abu (0,5 kg), mollases (225 ml), starter air nanas (24 ml) dan air (250 ml) secara perlahan-lahan. Bahan kompos yang telah dicampur ditutup, menggunakan plastik penutup berwana gelap. Tempat pengkomposan pada bangunan beratap agar terlindung dan sinar matahari dan hujan. Aeasi dilakukan dengan membalik gundukan kompos dengan cangkul dan sekop setiap minggu. Pembuatan ini dilakukan selama 4 minggu.
Uji pH
Kompos yang dibuat dilakukan pembalikan atau aerasi  setiap seminggu sekali kemudian diuji tingkat keasamanannya (pH-nya) menggunakan kertas lakmus, dilakukan sebanyak 1 kali.
Uji Temperatur
Kompos yang dibuat dilakukan pembalikan atau aerasi setiap seminggu sekali kemudian diukur suhunya menggunakan termometer, dilakukan sebanyak 3 kali dan dirata-rata hasilnya.
Uji Organoleptik
Kompos yang dibuat dilakukan pembalikan atau aerasi setiap seminggu sekali kemudian diamati perubahan fisik terdiri dari warna, bau, dan tekstur.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan kompos adalah merupakan bahan-bahan yang mempunyai nisbah C/N yang rendah (telah melapuk) (Hasibuan, 2006). Pada praktikum pembuatan kompos bahan-bahan yang digunakan yaitu feses sapi potong, jearmi, abu dapur, kapur, molasses dan starter air nanas. Menururt Tan (1993) kotoran sapi pedaging mengandung bahan-bahan seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Kandungan kotoran sapi pedaging
Kandungan
Kadar (%)
N
P
K
Ca
Mg
S
0,65
0,15
0,30
0,12
0,10
0,09
Selain itu menurut Setyorini dkk (2008) hasil penelitian pembuatan kompos dari kotoran hewan di jepang menunjukkan bahwa 10 sampai 25% dari N dalam bahan asal kompos akan hilang sebagai gas NH3 selama proses pengomposan. Selain itu dihasilkan pula 5% CH4 dan sekitar 30% N2O yang berpotensi untuk mencemari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya akan terjadi penyusutan volume bahan dan mempunyai rasio C/N yang lebih rendah dari suhu 60 sampai 65°C saat proses pengomposan berakhir.
Menurut Gaurr (1995) jasad-jasad renik memerlukan nitrogen untuk memelihara dan membangun sel tubuhnya yang kemudian menguraikan bahan organik salah satunya menjadi CO2. Jerami berfungsi sebagai sumber karbon. Jerami merupakan limbah pertanian yang berasal dari pohon tanaman padi yang sudah tua dan dikeringkan. Kandungan serat kasar dalam jerami lebih tinggi daripada keadaan segar yaitu 0,53. Kandungan karbon yang menyususn dinding sel jerami lebih banyak sehingga dapat dijadiikan sebagai sumber karbon untuk bakteri pada saat pengomposan. Abu dapur berfungsi sebagai sumber mineral, kapur pertanian digunakan sebagai sumber kalsium bagi tanah. Starter air nanas berfungsi untuk mempercepat proses pengomposan karena terdiri atau berisi bakteri dan mikrobia yang membantu proses pengomposan.
Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya (Subali, 2010). Menurut Yuwono (2005) kompos merupakan istilah untuk pupuk organik buatan manusia yang dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa buangan makhluk hidup (tanaman maupun hewan). Proses pembuatan kompos dapat berjalan secara aerob dan anaerob yang saling menunjang pada kondisi lingkungan tertentu. Secara keseluruhan, proses ini disebut dekomposisi.
Temperatur dan pH pada timbunan kompos akan meningkat dengan cepat pada minggu pertama. Tahap awal pengomposan temperatur akan maningkat hingga di atas 40 sampai 70°C. mikroba yang aktif pada komdisi ini adalah mikrobia termofilik, yaitu mikrobia yang tahan pada temperatur tinggi. Mikroba-mikroba menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik menjadi CO2, uap air, humus dan energi (panas). Sebagian dari energi yang dihasilkan tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan gerak, sisanya dibebaskan menjadi energi. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, temperatur akan berangsur-angsur mengalami penurunan selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan (Isroi, 2008). Pada praktikum pembalikan kompos pertama suhu telah mencapai 36,3°C. hal ini telah sesuai dengan literatur bahwa pada minggu pertama akan terjadi kenaikan suhu kompos.


Tabel 3. Karakteristik Kompos

Warna
Bau
Tekstur
Temperatur
°C
pH
Pembuatan kompos
Pembalikan I
Pembalikan II
Pembalikan III
Panen
Cokelat
Cokelat
Cokelat
Cokelat tua
Cokelat tua
Jerami
Feses
Feses
Feses

Tanah
Kasar
Kasar
Menggumpal
Remah

Remah
28
36,3
42,6
40,3

35
7
8
7,5
7

7
Berdasarkan praktikum pembalikan kompos pertama, pH kompos adalah 8. Menurut Hidayati (2006), perubahan temperatur diikuti pula perubahan nilai pH dalam tumpukan kompos, pada awal proses pengomposan pH dalam tumpukan kompos 6,8, selanjutnya naik sampai 8,3 tetapi memasuki minggu ketiga proses pengomposan, pH dalam tumpukan kompos terus turun sampai akhir proses pengomposan, nilai pH berkisar 7. Hal ini sesuai dengan pendapat Haga (1990) bahwa PH optimum dalam proses pengomposan antara 5,5 sampai 8. Perubahan pH sejalan dengan tingginya temperatur, pada fase termophilic kondisi dalam tumpukan kompos menjadi alkalin karena dihasilkan format ammonia dan pada akhir proses pengomposan pH mendekati netral.
Fungsi pembalikan kompos adalah untuk memasukkan udara ke dalam timbunan kompos. Menururt Setyorini (2008) aktivitas mikroba aerob memerlukan oksigen selama proses perombahkan berlangsung (terutama bakteri dan fungi). Ukuran partikel dan struktur bahan dasar kompos mempengaruhi sistem aerasi. Semakin kasar struktur maka makin besar volume pori udara dalam campuran bahan yang didekomposisi. Pembalikan timbunan bahan kompos selama proses dekomposisi berlangsung sangat dibutuhkan dan berguna mengatur pasokan oksigen bagi aktivitas mikrobia.
Berdasarkan pembalikan kedua, suhu kompos adalah 42,67°C dengan pH 7,5. Hal ini berarti kompos berada pada tahapan termophilic. Menururt isroi (2008) tahap awal pengomposan temperatur akan meningkat hingga diatas 40 sampai 70°C. mikrobia yang aktif pada kondisi ini adalah mikrobia termophilic, yaitu mikrobia tahan pada temperatur tinggi. Mikroba-mikroba menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik menjadi CO2, uap air, humus dan energi (panas). Menurut Metcalf dan Eddy (1991) terdapat tiga kelompok yang berperan selama pengomposan, yaitu bakteri, actinomicetes dan kapang. Fungsi bakteri akan mengurai senyawa golongan protein, lipid dan lemak pada kondisi thermofilik serta menghasilkan energi panas. Actinomycetes dan kapang selama pengomposan berada pada kondisi mesofilik dan termofilik berfungsi untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan organik.
Berdasarkan pembalikan ketiga suhu kompos adalah 40,3°C dengan pH 7. Hal ini berarti kompos berada pada tahapan pemasakan. Menururt palmisano dan Barta (1996) tahap III atau tahap pendinginan terjadi pada suhu dibawah 40°C yang menyebabkan aktivitas organism mesofil mulai lagi dan pH akan sedikit turun. Bakteri nitrifikasi yang terhambat kini mulai mengubah ammonia menjadi nitrat. Pada tahapan ini tekstur kompos sudah mulai remah, warna mendekati warna tanah, kadar air sudah berkurang dan bau sudah tidak menyengat. Menurut Bernal et al. (1998) parameter fisik seperti warna, bau dan suhu kompos hanya menunjukkan tingkat dekomposisi dan tidak dapat member informasi tentang tingkat kemasakan.
Berdasarkan praktikum pemanenan kompos diketahui bahwa suhu kompos adalah 35°C dan pH 7. Menururt Djuarnani (2005) kompos yang layak digunakan adalah yang sudah matang, ditandai dengan menurunnya temperatur kompos (dibawah 40°C). Sehingga dalam hal ini suhu kompos sudah stabil, sedangkan menurut Isroi (2008) pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organiik dan pH bahan itu sendiri. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
Karakteristik fisik yang dapat dilihat pada kompos saat panen yaitu warna cokelat kehitaman, bau seperti tanak dan teksturnya remah. Menurut Isroi (2008) warna kompos yang sudah matang adalah cokelat kehitam-hitaman, apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum, meskipun kompos dari sampah kota. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap berarti berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih belum bau seoerti bahan mentahnya berarti kompos belum matang.
Pendapat lain tentang kompos yang matang, menurut Yang (1996) agar dapat digunakan sebagai bahan penyubur tanah, kompos harus benar-benar stabil (matang). Beberapa metode dan paremeter yang diuji untuk menentukan derajat kestabilan kompos, antar lain (1) karbon/nitrogen (rasio C/N; (2) stabilitas terhadap pemanasan; (3) reduksi dalam bahan organik dan (4) parameter humifikasi. Peneliti lain menunjukkan indikator kematangan kompos seperti penetapan rasio C/N, pH, KTK, sedangkan sifat-sifat yang perlu diketahui pada tingkat petani yaitu warna kompos serta aroma. Kompos yang sudah matang berwarna cokelat gelap dan berbau tanah (earthy).


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa pengomposan terjadi melalui empat tahap yaitu, mesofill, termofil, pemasakan, dan pendinginan. Aktivitas mikrobia selama proses pengomposan menyebabkan peningkatan suhu dan pH kompos. Pembalikan berfungsi untuk memberikan udara pada kompos sehingga suasana tetap aerob. Suhu akhir kompos adalah 35°C dan pH 7, teksturnya remah, berwarna cokelat tua dan berbau seperti tanah.


DAFTAR PUSTAKA

Djuari, Nan, Kristian, Budi Susilo, Setiawan. 2005. Cara Cepat membuat kompos. Agromedia pustaka, Jakarta.

Haga, Y. 1990. Composting and applications of animal waste. ASPAC, Food and Fertilizer Technology Center. Extension Bulletin No 311 20-31.

Hasibuan. 2006. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta. PT Bumi aksara.

Hidayanti. 2006. Identifikasi jamur dan bakteri pada prose pengomposan kotoran domba sebagai penunjang sanitasi lingkungan. Lokakarya nasional keamanan pangan produk peternakan. Universitas Padjajaran.

Isroi. 2008. Pengomposan limbah padat organik. Balai penelitian bioteknologi perkebunan Indonesia. Bogor.

Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater engineering  : treatment, disposal and reuse. Metcalf & Eddy, Inc. 3 ed. 1334pp.

Setyorini, Diah. 2008. Pupuk organik dan pupuk hayati.

Subali. 2010. Pengaruh waktu pengomposan terhadap rasio unsure C/N dan jumlah kadar air dalam kompos. UNNES, semarang.

Yang, S. S. 1996. Preparation and characterization of Compost. In proceedings of International Training workshop on Microbial Fertilizers and composting. October 15-22, 1996 Taiwan Agricultural Research Institute Taicunng, Taiwan, Republic of China. FFTC and TARI.

Yuwono. 2005. Pupuk organik, penebar swadaya. Jakarta.

Post a Comment for "Laporan Praktikum Pengolahan Limbah Dasar Peternakan"