LAPORAN PRAKTIKUM ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING KOMPLIT PAKE TELOR
LAPORAN
PRAKTIKUM
ILMU
DAN TEKNOLOGI DAGING
LOGO
Disusun
oleh:
Janu
Herjanto
12/331833/PT/06287
Kelompok : XXIV
Asisten
: Fitria Dwi Anggraini
LABORATORIUM
PANGAN HASIL TERNAK
BAGIAN
TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
HALAMAN
PENGESAHAN
Laporan
praktikum Ilmu dan Teknologi Daging disusun guna memenuhi syarat yang
diperlukan untuk mengikuti mata kuliah ILMU
DAN TEKNOLOGI DAGING di Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Laporan
praktikum Ilmu dan Teknologi Daging ini telah disetujui dan disahkan oleh
asisten pendamping pada tanggal 12
desember 2013
Yogyakarta, 12 desember 2013
Asisten
Pendamping
Fitria Dwi Anggraini
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan praktikum
Ilmu dan Teknologi Daging. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti responsi akhir dalam mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging yang
diselenggarakan oleh Laboratorium Teknologi Hasil Ikutan dan Lingkungan
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada tahun 2013. Penyusun mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof.
Dr. Ir. Tri Yuwanta, SU., DEA., selaku dekan Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada.
2. Dr.
Ir. Setiyono, SU., Dr. Ir. Edi Suryanto, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Soeparno, Ir.
Jamhari, M.Sc., Dr. Rusman, M. P., selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu dan
Teknologi Daging.
3. Segenap
Asisten Laboratorium Teknologi Hasil Ikutan dan Lingkungan yang telah
membimbing dan mengarahkan pelaksanaan praktiukm Ilmu dan Teknologi Daging.
4. Semua
pihak yang telah membantu sehingga terselesaikannya laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa isi laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun. Semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Yogyakarta, Desember 2013
Penyusun
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan
serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya. Kandungan
nutrisi daging lengkap daintaranya adanya karbohidrat, protein, lemak, air,
mineral. Sekarang ini konsumsi daging sudah meningkat, sehingga dalam
mengontrol kualitas daging perlu diperhatikan serta pengolahannya perlu
diperhatikan supaya kandungan nutrisi yang ada dalam daging tidak hilang.
Kualitas daging ditentukan
berdasarkan parameter-parameter tertentu yang dapat diuji secara nyata. Daging
yang diolah dapat meningkatkan nilai ekonomis produk daging. Uji Kualitas perlu menggunakan alat yang membantu menguji kualitas daging
tersebut, melalui praktikum ilmu dan teknologi daging. Diharapkan praktikan
dapat menetahui kualitas daging serta produk olahan daging yang baik.
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum Ilmu dan Teknologi
daging adalah untuk mengetahui proses pemotongan
ternak, membedakan berbagai macam daging, melakukan uji kualitas daging dan produk
olahan daging, membuat produk
olahan daging berupa bakso dan sosis, serta mengetahui pengemasan produk daging
dan produk olahan daging.
ACARA
I
RUMAH PEMOTONGAN HEWAN
TINJAUAN PUSTAKA
Proses pemotongan ternak menurut Soeparno
(2005), dibagi menjadi 2 yaitu pemotongan secara langsung atau halal method dan pemotongan tidak
langsung atau western method.
Pemotongan secara langsung atau dikenal dengan halal method dilakukan apabila ternak telah dinyatakan sehat,
kemudian disembellih pada bagian leher dengan memotong 3 saluran yaitu arteri carotis, vena jugularis, oesophagus dan tenggorokan. Pemotongan
secara tidak langsung atau western method
dilakukan setelah ternak dipingsankan terlebih dahulu sebelum ternak dipotong.
MATERI DAN METODE
Materi
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum pemotongan
adalah lembar kerja, stopwatch dan
alat tulis untuk mencatat hasil praktikum.
Metode
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah RPH Giwangan. Rumah potong hewan giwangan awalnya berada di
Ngampilan. Sejak 3 mei 2008 pindah kegiwangan karena pemukiman semakin padat di
Ngampilan. Rumah potong hewan giwangan memiliki beberapa ruangan antara ain
ruang pengistirahatan, ruang pemotongan, ruang pelayuan, parting, kantor
administrasi dan kantor utama. RPH giwangan juga memiliki tangki air untuk
persediaan air selama proses pemotongan serta tempat pembuangan rumen dan
pembuangan limbah.
Denah lokasi rumah potong hewan. Berdasarkan pengamatan pada saat praktikum denah lokasi rumah potong hewan. RPH terdiri dari beberapa ruangan dan bangunan lain yang memiliki fungsi masing-masing. Denah lokasi RPH giwangan pada gambar 1.1.
Denah lokasi rumah potong hewan. Berdasarkan pengamatan pada saat praktikum denah lokasi rumah potong hewan. RPH terdiri dari beberapa ruangan dan bangunan lain yang memiliki fungsi masing-masing. Denah lokasi RPH giwangan pada gambar 1.1.

Syarat berdirinya rumah potong hewan yang baik. Berdirinya rumah potong hewan (RPH) harus memiliki
persyaratan. Berdirinya RPH syaratnya antara lain syarat lokasi bangunan,
peralatan, prasarana tambahan dan sumberdaya manusia. Lokasi RPH yang baik
adalah jauh dari pemukiman dan dekat dengan jalan raya agar akses transportasi
mudah. Menurut peraturan menteri menteri putaran republik Indonesia nomor
13/Permentan/05.140/1/2010. Tentang persyaratan RPH. Lokasi RPH harus sesuai
dengan Lokasi RPH harus sesuai dengan
dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang
Daerah (RDTRD) atau daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.
Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang antara lain tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan. letaknya lebih rendah dari pemukiman. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi. Tidak berada dekat industri logam dan kimia. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan tinggi minimal tiga meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong (Permetan, 2010).
Dilihat dari lokasi RPH giwangan berada didaerah giwangan. Berdasarkan dengan pasar buah yang dukungan merupakan pasar hewan. Berdasarkan peraturan pemerintah lokasi RPH sebenarnya sudah cukup strategis yaitu dekat dengan jalan raya. Lokasi kurang strategis karena dekat dengan pasar dan jarak dengan perumahan relatif dekat. Menurut Mudhiarti (2006) Penyakit hewan yang dapat ditularkan pada manusia melalui makanan masih merupakan masalah yang besar di hampir semua negara termasuk negara maju yang dapat dikatakan telah mempunyai sistem jaminan keamanan pangan. Jarak RPH harusnya diatur sedemikian rupa agar tidak membahayakan manusia disekitarnya.
Persyaratan berdirinya RPH antara lain persyaratan sarana pendukung. Menurut peraturan pemerintah (2010), RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung meliputi akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair. Berdasarkan pengamatan RPH giwangan memenuhi persyaratan prasaran tambahan. Penggunaan sumber air di RPH berasal dari air tanah yang disedot menggunakan pompa air dan ditampung di tangki air.
Persyaratan tata letak desain dan Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi menurut Pemertan (2010), kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging. Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi bangunan utama, area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat hewan, kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif, kandang isolasi, ruang pelayuan berpendingin (chilling room), area pemuatan (loading) karkas/daging, kantor administrasi dan kantor dokter wewan, kantin dan mushola, ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator, sarana penanganan limbah, rumah jaga. Berdasarkan pengamatan fasilitas di RPH giwangan telah memenuhi syarat kecuail ruang pelayuan dengna pendingin namun sedang dibangun.
Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang antara lain tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan. letaknya lebih rendah dari pemukiman. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi. Tidak berada dekat industri logam dan kimia. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan tinggi minimal tiga meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong (Permetan, 2010).
Dilihat dari lokasi RPH giwangan berada didaerah giwangan. Berdasarkan dengan pasar buah yang dukungan merupakan pasar hewan. Berdasarkan peraturan pemerintah lokasi RPH sebenarnya sudah cukup strategis yaitu dekat dengan jalan raya. Lokasi kurang strategis karena dekat dengan pasar dan jarak dengan perumahan relatif dekat. Menurut Mudhiarti (2006) Penyakit hewan yang dapat ditularkan pada manusia melalui makanan masih merupakan masalah yang besar di hampir semua negara termasuk negara maju yang dapat dikatakan telah mempunyai sistem jaminan keamanan pangan. Jarak RPH harusnya diatur sedemikian rupa agar tidak membahayakan manusia disekitarnya.
Persyaratan berdirinya RPH antara lain persyaratan sarana pendukung. Menurut peraturan pemerintah (2010), RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung meliputi akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair. Berdasarkan pengamatan RPH giwangan memenuhi persyaratan prasaran tambahan. Penggunaan sumber air di RPH berasal dari air tanah yang disedot menggunakan pompa air dan ditampung di tangki air.
Persyaratan tata letak desain dan Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi menurut Pemertan (2010), kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging. Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi bangunan utama, area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat hewan, kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif, kandang isolasi, ruang pelayuan berpendingin (chilling room), area pemuatan (loading) karkas/daging, kantor administrasi dan kantor dokter wewan, kantin dan mushola, ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator, sarana penanganan limbah, rumah jaga. Berdasarkan pengamatan fasilitas di RPH giwangan telah memenuhi syarat kecuail ruang pelayuan dengna pendingin namun sedang dibangun.
Persyaratan
daerah kotor dan daerah bersih menurut Pemertan (2010), daerah kotor meliputi area
pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area pengeluaran darah,
area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai
metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut),
ruang untuk jeroan hijau, ruang untuk jeroan merah, ruang untuk kepala dan
kaki, ruang untuk kulit; dan pengeluaran (loading)
jeroan. Daerah bersih meliputi area untuk pemeriksaan post-mortem, penimbangan karkas,
pengeluaran (loading) karkas/daging.
Seluruh peralatan pendukung
dan penunjang di RPH harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif dan
mudah dibersihkan serta mudah dirawat. Seluruh peralatan yang digunakan untuk
pemotongan tidak boleh terbuat dari bahan-bahan yang bersifat toksik.
Dibandingkan dengan RPH giwangan telah memenuhi persyaratan. Berikut ini gambar
denah lokasi RPH giwangan.
Proses pemotongan. Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui pemotongan yang dilakukan pada pagi hari. Proses pemotongan dilakukan secara langsung setelah ternak dinyatakan sehat. Disembeli pada bagian leher dengan memutus 4 saluran yaitu arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus dan tenggorokan, kemudian pemisahan kepala dan tubuh kemudian pengulitan dan pengeluaran isi perut dan pemotongan karkas dan penimbangan berat karkas kemudian diparting.
Proses pemotongan. Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui pemotongan yang dilakukan pada pagi hari. Proses pemotongan dilakukan secara langsung setelah ternak dinyatakan sehat. Disembeli pada bagian leher dengan memutus 4 saluran yaitu arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus dan tenggorokan, kemudian pemisahan kepala dan tubuh kemudian pengulitan dan pengeluaran isi perut dan pemotongan karkas dan penimbangan berat karkas kemudian diparting.
Hasil pengamatan
proses pemotongan bangsa sapi simpo, jenis kelamin betina umur sapi 6th, berat
hidup 264 kg. Lama pemotongan 2 menit 3 detik, lama pengulitan 8 menit 30
detik, lama pengeluaran jeroan 1 menit 45 detik, lama pembelahan karkas 1 menit
41 detik dan berat karkas 132kg. Bagian yang diparting meliputi dada,
paha, kaki depan, kaki belakang,. Pemeriksaan
Antemortem meliputi umur,
jenis kelamin, bangsa sapi, berat hidup. Pemeriksaan
Postmortem meliputi paru-paru, hati, ginjal,
jantung, usus halus Tidak ada
penyimpangan
pada proses pemotongan. Tidak ada penyakit yang ditemukan.
Pengamatan
pada pemeriksaan ternak tidak ada
penyakit yang ditemukan Menurut soeparno (2005), pada dasarnya teknik
pemotongan ternak ada dua cara atau teknik pemotongan. Teknik pemotongan secara
langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat maka ternak dapat langsung
disembelih. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan pada ternak
disembelih serta dilakukan pemingsanan. Berdasarkan literatur, pemotongan pada
RPH giwangan dilakukan secara langsung. Berdasarkan literatur pemotongan pada
RPH giwangan dilakukan secara langsung.
Maksud pemingsanan
ternak adalah memudahkan pemotongan agar ternak tidak tersiksa dan terhindar
dari perlakuan kasar, agar kualitas karkas dan kulit baik. Pengingsanan dapat
dilakukan dengan beberapa cara saah satunya adalah menggunakan stunning gun, pembiusan
dan menggunakan listrik (Blackely dan Bade, 1998).
Perlakuan ternak sebelum dipotong
menurut Soeparno (2005), ada dua cara yaitu dipuasakan dan tanpa dipuasakan.
Pemuasaan yaitu agar memperoleh bobot tubuh kosong BTK, yaitu bobot tubuh yang
telah dikurangi isi saluran pencernaan, saluran kencing dan empedu, perlakuan
dipuasakan bertujuan agar penyembelihan terutama pada ternak yang agresif atau
liat. Berdasarkan praktikum diketahui bahwa ternak diistirahatkan ditempat
sebelum penyembelihan.
Sapi
yang dipotong merupakan sapi simpo yaitu hasil persilangan antara simmental dan
PO. Berjenis kelamin betina dengan umur 6 tahun. Berat hidup sapi 264 kg.
Menurut Blakely dan Bade (1998), karkas yang diperoleh kira-kira sebesar 60%
berat hidup seekor sapi. Pemotongan di RPH mendapatkan karkas sebesar 132 Kg
atau sekitar 50% berat badan hidup. Menurut Soeparno (2005) faktor yang
mempengaruhi komposisis karkas antaralain genetik, jenis kelamin, hormon,
kastrasi, fisiologis, umur bentuk tubuh serta nutrient atau pakan.
Proses
pemotongan pada RPH dengan cara meggiring sapi menuju killing box kemudian
kedua kaki diikat dan sapi dijatuhkan. Sapi direbahkan menghadap kilbat kepala
berada di selatan dan ekor menghadap ke utara. Modin atau juru potong memotong
pada 4 saluran yaitu arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus, dan
kerongkongan. Pemotongan dilakukan setelah itu dilakukan uji reflek untuk
mengetahui ternak sudah mati atau belum. Test reflek pada mata, kaki dan ekor (Blakely
dan Bade 1998).
Proses
selanjutnya adalah pengulitan. Pengulitan dilakukan selama 8 menit 30 detik.
Dilanjutkan proses pengeluaran jeroan selama 1 menit 20 detik, kemudian karkas
dibelah dua. Saat pengeluaran jeroan dilihat bentukan pada organ-organ vital
bagian dalam seperti jantung, hati, paru-paru, ginjal dan lain-lain.
Pemeriksaan tersebut untuk mengetahui adanya penyakit pada ternak yang
merupakan pemeriksaan antemortem dilakukan oleh dokter hewan.
Penyakit
umum pada ternak dan cara penangananya. Pemeriksaan yang dilakukan pada
sapi terbagi menjadi 2 yaitu pemeriksaan antemortem dan postmortem. Menurut
Moelyono (1996), pemeriksaan antemortem dengan mengamati sifat yang terlihat ,
selaput lendir, mata, hidung, kulit dan suhu badan. Saat pengamatan di RPH sapi
dinyatakan sehat karena tidak ada tanda-tanda penyakit pada ternak. Menurut
Soeparno (2005), pemeriksaan post mortem dilakukan dengan pemeriksaan karkas,
limfa, kepala dan organ dalam lainya. Karkas yang dihasilkan ayak dikonsumsi
karena tidak ditemukan penyimpangan seperti bekas memar. Organ dalam juga dalam
keaan normal. Soeparno (2005) mengatakan bahwa maksud pemeriksaan post mortem
untuk melindungi konsumen dari penyakit dan mencegah penularan penyakit.
Sedangkan pemeriksaan antemortem untuk mengetahui ternak yang cidera sehingga
harus dipotong dan melakukan penanganan yang tepat.
Penyakit-penyakit
pada ternak yang ditemui dan berbahaya antara lain menurut Murdhiati (2006),
contohnya adalah penyakit antrak. Penyakit ini berbahaya karena parasitnya yang
tidak mudah mati hingga 25 tahun. Apabila RPH memotong ternak yang terjangki
antrak maka RPH tersebut harus ditutup. Secara umum yang sering ditemui di RPH
adalah penyakit cacing hati atau bruceolisis. Ternak yang terkena bruceolisis
apabila dipotong maka organ dalam seperti hati tidak boleh dimanfaatkan untuk
dimakan.
KESIMPULAN
Rumah
ptotong hewan harus memiliki persyarat lokasi bangunan peralatan, prasaran
tambahan dan sumber daya manusia. Rumah potong hewan giwangan telah memenuhi
persyaratan tersebut. Proses pemotongan hewan dilakukan dengan metode halal
yang dimulai dari proses peneyembelihan hingga pemotongan karkas yang
membutuhkan waktu total 13 menit 58 detik. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu
antemortem dan postmortem berguna untuk perlakuan pada ternak yang dipotong
apabila terindikasi penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Blakely , J dan D.H Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University
press. Yogyakarta.
Moelyono, H.J. 1996. Struktur dan Development Daging Ternak. Litbang.
Yogyakarta.
Pemertan. 2010. Peraturan menteri pertanian Republik Indonesia no
13/Pemertan/01.140/1/2010. Jakarta.
Soeparno,
R. A. 2005. Ilmu Daging Edisi ke-5. Penterjemah Amminudin Parrakasi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Mudhiarti, T.B. dan I. Sendow. 2006. Zoonis yang ditularkan melalui pangan.
Journal Agricultural.
ACARA
II
PENGENALAN
DAGING
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. yang
digunakan yaitu diktat praktikum sebagai buku acuan, alat tulis untuk menulis
dan lembar kuestioner untuk mengisi data hasil pengamatan.
Bahan. yang digunakan yaitu daging kuda, daging babi, daging kambing, daging domba, daging sapi, daging kerbau.
Bahan. yang digunakan yaitu daging kuda, daging babi, daging kambing, daging domba, daging sapi, daging kerbau.
Metode
Metode yang digunakan
dalam praktikum ini adalah daging dari berbagi hewan ternak disiapkan.
Karakteristik daging kemudian diamati dengan cara diambil satu per satu dan
dirasakan. Karakteristik daging yang diamati meliputi warna daging,
konsistensi, tekstur serat, bau dan aroma, warna lemak, serta jumlah marbling.
Data hasil pengamatan kemudian .dimasukkan ke lembar kuestioner dan dibandingkan
dengan literatur.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Menurut Soeparno
(1998) Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakanny. Berdasarkan hasil pengamatan
berbagai macam jenis daging didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 2.1 Hasil pengamatan jenis-jenis daging
No
|
Macam
Daging
|
Warna
Daging
|
Tekstur
Daging
|
Konsistensi
|
Jumlah
Marbling
|
Warna
Lemak
|
1
|
Kuda
|
Merah muda
|
Halus
|
Kenyal
|
-
|
-
|
2
|
Babi
|
Merah muda
|
Halus
|
Empuk
|
Banyak
|
Putih
|
3
|
Kambing
|
Merah tua
|
Halus
|
Kenyal
|
Sedikit
|
Putih
|
4
|
Domba
|
Merah muda
|
Halus
|
Kenyal
|
Sedikit
|
Putih
|
5
|
Sapi
|
Merah muda
|
Kasar
|
Keras
|
Banyak
|
Putih kekuningan
|
6
|
Kerbau
|
Merah tua
|
Kasar
|
Keras
|
Banyak
|
Putih
|
Faktor yang mempengaruhi warna daging adalah
pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stress, pH dan oksigen. Daging babi mempunyai lemak intra-muskular
yang banyak dan merata. Serat yang halus ini disebabkan karena babi merupakan
jenis ternak non ruminansia yang mempunyai kandungan lemak yang banyak sehingga
membuat struktur dagingnya halus (Sugiyono, 1996)
Secara umum komposisi daging terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut (Lawrie, 1991). Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi. Berdasarkan asalnya protein ada 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan ikat ( Muchtadi dan Sugiono, 1992 ). Berikut ini merupakan tabel komposisi kimia berbagai macam daging (Anonim,2013).
Secara umum komposisi daging terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut (Lawrie, 1991). Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi. Berdasarkan asalnya protein ada 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan ikat ( Muchtadi dan Sugiono, 1992 ). Berikut ini merupakan tabel komposisi kimia berbagai macam daging (Anonim,2013).
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Daging
No
|
Komposisi Kimia
|
Kuda
|
Babi
|
Kambing
|
Domba
|
Sapi
|
Kerbau
|
1
|
Kalori (kal)
|
118
|
457
|
164
|
206
|
207
|
84
|
2
|
Protein (g)
|
18,1
|
11,9
|
16,6
|
17,1
|
18,8
|
18,7
|
3
|
Lemak (g)
|
4,1
|
45
|
9,2
|
14,8
|
14
|
0,5
|
4
|
Air (g)
|
76
|
42
|
70,3
|
66
|
66
|
84
|
Daging Kuda. Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan, daging kuda yang diamati berwarna merah muda, tekstur halus dan
konsistensi dagingnya kenyal. Hal ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan
tidak sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1992), daging kuda sering
disebut sebagai daging merah. Pada daging kuda juga seratnya terlihat lebih
besar, kuat dan kasar jika
dibandingkan dengan daging yang lainnya. Menurut Lawrie (1995), pada urat
daging terdapat aktivitas enzim sitokrom oksidase yang mengikat, sehingga jelas
akan memperlihatkan kekuatan.
Daging Babi. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging babi yang diamati berwarna merah muda, tekstur halus empuk dan
mempunyai jumlah marbling banyak. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil
pengamatan sudah sesuai dengan literatur. Menurut Sugiyono (1996), daging babi
mempunyai warna merah muda (pucat), hal ini dipengaruhi oleh lemak yang tebal dan jenis
pakan yang mempengaruhi warna dan aroma daging, Sugiyono (1996) menegaskan
bahwa daging babi ini punya lemak intramuskular yang banyak dan merata dengan serat yang halus hal ini disebabkan
karena babi merupakan jenis ternak non ruminansia yang mempengaruhi kandungan
lemak yang banyak sehingga membuat
strutur dagingnya halus. Lawrie (1995) menambahkan bahwa rendahnya kadar
mioglobin pada urat daging babi menyebabkan warna pucat pada daging tersebut.
Prekursor flavor daging spesies babi adalah substansi nonprotein yang
larut dalam air. Prekursor flavor daging babi terdiri dari dua subfraksi, yaitu
fraksi yang mengandung asam amino, dan fraksi yang mengandung gula pereduksi.
Pemanasan masing-masing subfraksi tidak menghasilkan flavor yang spesifik
daging, tetapi pemanasan kombinasi kedua subfraksi dapat menghasilkan aroma
daging (Soeparno, 1992)
Daging babi mempunyai aroma
yang identik dengan daging sapi dan domba. Fraksi volatil daging dari spesies
babi adalah sagat serupa dengan fraksi volatil pada sapi dan domba. Penyimpangan aroma atau bau
spesifik daging babi jantan yang disebut bau boar, terutama disebabkan oleh senyawa yang terdapat didalam lemak
yang tidak tersabun yang telah diidentifikasi sebagai 5α-androst-16
ene-3-one (Soeparno, 1992).
Daging
Kambing. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging kambing yang diamati berwarna merah muda, tekstur halus kenyal dan
tetapi jumlah marbling sedikit. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil
pengamatan sudah mendekati normal. Menurut Soeparno (1992), warna daging kambing
hampir sama dengan daging sapi, tetapi mempunyai tingkat kemerahan yang lebih
pekat. Warna ini ditentukan oleh kandungan otot merah penyusun daging..
Prekursor flavor daging spesies kambing dan babi adalah substansi non
protein yang larut dalam air. Prekursor flavor daging kambing
dan babi terdiri dari fraksi
yang mengandung asam amino, dan fraksi yang mengandung gula pereduksi.
Pemanasan masing-masing subfraksi tidak menghasilkan
flavor yang spesifik daging.
Daging kambing mempunyai aroma yang identik
dengan daging sapi dan babi (Soeparno, 1992).
Daging Domba. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging domba yang diamati berwarna merah tua, tekstur halus kenyal dan
jumlah marbling sedikit. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan
sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1992), warna
daging domba hampir sama dengan daging sapi akan tetapi mempunyai tingkat
kemerahan yang lebih pekat. Warna ini ditentukan oleh kandungan otot merah
penyusun daging. Flavor dan aroma daging domba spesifik keras, yang dapat
berasal dari fraksi polar senyawa karbonil bebas dari lemak dan mempunyai
hubungan dengan komposisi dan tipe serabut (Soeparno, 1992).
Daging Sapi. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging kuda yang diamati berwarna merah muda, tekstur kasar keras dan
jumlah marbling banyak. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan
sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1998) Daging sapi mempunyai warna
merah. Jumlah mioglobin pada veal
sekitar 1
sampai 3 mg setiap gram ototnya, 4 sampai 10 mg untuk setiap gram beef dan 16-20 mg untuk
setiap gram beef yang lebih tua. Otot merah mengandung serabut
merah. Dari segi tenderness
(keempukan), daging sapi kurang empuk jika dibandingkan dengan keempukan daging
domba atau babi. Hal ini disebabkan karena daging sapi mempunyai perototan yang
lebih besar dan struktur yang lebih kasar. Veal
mempunyai flavor yang lebih ringan daripada beef. Flavor dan aroma daging sapi yang dimasak hampir sama atau
identik dengan daging domba atau babi.
Daging sapi menunjukkan bau yang khas yaitu
sehingga dapat dibedakan dengan ternak lain. Struktur serat pada pengamaan daging sapi ini terlihat
jelas dan besar dengan lemak intra maskuler yang tersebar tidak merata. Daging
sapi yang mengandung banyak lemak memberikan kehalusan yang baik pada serat
daging menyebabakan mudah dipotong (Sugiyono, 1996).
Daging yang
berkualitas mempunyai tingkat awet yang lebih lama. Daging-daging yang dicuring
akan lebih awet dibandingkan dengan daging tanpa pengolahan. Karena proses
curing ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat
Lawrie (1995) yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
Salah satu sifat
fisik daging yang bisa dimati dan dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan
kualitas daging adalah kelembaban. Semakin daging tersebut lembab atau basah
serta lembek (tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik
(Margono, 1993). Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik ketika
pemeliharaan ataupun ketika pengolahan. Faktor yang dapat mempengaruhi
penampilan daging selama proses sebelum pemotongan adalah perlakuan transportasi
dan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak yang
pada akhirnya akan menentukan kualitas daging yang dihasilkan (T. Suryati,
2006).
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa perbedaan
karakteristik daging dapat dilihat dengan cara mengamati tekstur daging, warna,
rasa dan aroma. Daging kambing paling mudah dibedakan karena baunya yang khas,
daging babi yang ngandung banyak lemak mudah diidentifikasi teksturnya yang
halus, sedangkan pada sapi kerbau dan kuda dapat diketahui dengan melihat warna
dan konsistensi dagingnya seratnya, pada kuda warnanya yang paling gelap dan
serat yang padat panjang, sedangkan pada kerbau dan sapi seratnya lebih
sedikit, tetapi pada kerbau lebih kasar. Semua daging yang diamati dalam kondisi yang baik dan
dalam kisaran normal.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2013. Nutritional
composition of
red meat. http://ro.uow.edu.au diakes pada senin
11 november 2013 pukul 23.22 WIB.
Lawrie,
R.A. 1995. Ilmu Daging. Edisi ke -5,
UI Press. Jakarta.
Muchtadi,
T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat
Jenderal Tinggi
Nurwantoro, P. A. V.P.Bintoro,A M.Legowo,A.Purnomoadi.
2012.
Pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik daging. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Hal 54-58
Pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik daging. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Hal 54-58
Soeparno. 1992. Ilmu dan
Teknologi Daging Cetakan Keempat.Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Sugiyono. 1996. Ilmu
dan Pangan. Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
FKPTK IKIP, Yogyakarta
Sunarlim,R., S.Usmiati. 2009.
Karakteristik daging kambing dengan perendaman enzim papain. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veterine. Hal 499-506.
ACARA
III
UJI KUALITAS DAGING
UJI KUALITAS DAGING
TINJAUAN
PUSTAKA
Daging segar merupakan daging yang baru dipotong, belum mengalami
pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan untuk waktu yang lama. Daging segar
cenderung memeiliki kualitas kandungan nutrisi dan penampakan lebih baik. Hal
ini terjadi karena daging belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum
disimpan lama. Indikator yang dapat dijadikan kualitas daging ini adalah
kekenyalan, warna daging, bau dan tekstur. Selain itu, daging segar tidak
berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa kebasahannya (Soeparno, 2005).
MATERI
DAN METODE
Materi
Materi
Uji
Warna
Alat. alat yang digunakan dalam
praktikum uji warna adalah meat clor fan
dan alat tulis.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam
praktikum uji warna adalah daging sapid an kertas kerja.
Uji
nilai pH
Alat.
alat yang digunakan dalam uji nilai pH adalah pH meter merek hanna, beaker
glass 50 ml, dan pengaduk kaca.
Bahan. Bahan yang diigunakan dalam uji
nilai pH adalah daging sapi dan larutan buffer
pH 7.0.
Uji
susut masak
Alat. alat yang digunakan dalam uji
susut masak adalah timbangan triple beam, dan kompor.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam
uji susut masak adalah daging sapi seberat 25,2 dan 24,7 gram serta plastic polyetilen.
Uji
daya ikat air
Alat. alat yang digunakan dalam uji
daya ikat air adalah timbangan analitik, kertas saring, plastic mika, dan kertas millimeter blok serta spidol permanen dan
barbel 35 kg, stopwatch dan plat
kaca.
Bahan yang digunakan dalam uji daya
ikat air adalah daging sapi.
Uji keempukan
Alat. alat yang digunakan dalam uji
keempukan adalah pisau, jangka sorong, dan alat uji keempukan Warner-bratzler.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam uji
keempukan adalah daging sapi masak hasil uji susut masak.
Metode
Uji Warna. Warna dari daging dicocokkan dengan meat colour fan, lalu ditulis skalanya.
Uji Nilai pH. Daging seberat 10 gram dicacah, ditambah 10 ml aquades,
diaduk homogen. Diukur dengan pH meter, dilakukan sebanyak tiga kali kemudian
hasilnya dirata-rata.
Uji Daya Ikat Air. Daging seberat 0,3 gram diletakkan diantara dua plat
kaca, dialasi dengan kertas saring, diberi beban 35 kg selama 5 menit. Area
basah yang terbentuk dihitung (luas area basah). Untuk sampel kadar air total
digunakan 1 gram daging sebagai berat awal, dioven selama semalam. Berat akhir
ditimbang.
Kadar Air Total. Sampel dioven selama 105oC (8-24 jam) dan
ditimbang berat akhir.
Uji Keempukan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong searah serat
dan dengan ukuran tabal 0,67 cm dan
tabal 1,5 cm. Sampel diletakkan pada alat warner–bratzler
shear force. Pengujian dilakukan ditiga bagian kemudian hasilnya
dirata-rata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum yang
dilakukan diketahui bahwa parameter spesifik yang menentukan kualitas daging
meliputi warna daging, pH
daging, daya ikat air (DIA), susut masak, dan keempukan.
Warna Daging. Berdasarkan pengamatan didapatkan uji warna daging dibandingkan dengan meat collor fan.
Warna Daging. Berdasarkan pengamatan didapatkan uji warna daging dibandingkan dengan meat collor fan.
Tabel 2.1 Hasil Uji Warna
No
|
Sampel
|
Skor Warna
|
1
|
Kelompok 30
|
8
|
Pengukuran
warna daging menggunakan indikator
meat color standart, dalam setiap warna yang ada dalam meat color standart
mempunyai skala tertentu warna. Berdasarkan pengukuran didapat skor warna
daging yaitu 8 dengan warna merah
gelap. Warna daging diatas kisaran normal. Nilai Warna daging normal antara 4
hingga 7. Penilaian warna daging dilakukan dengan melihat warna permukaan otot
dengan bantuan cahaya senter dan mencocokanya dengan standar warna. Nilai skor
warna ditentukan berdasakran skor standar warna yang paling sesuai dengan warna
daging. Standar warna daging terdiri atas sembilan skor mulai dari warna merah
muda hingga merah tua (BSN, 2008).
Menurut Soeparno (2005) Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi
warna tristimulus. Warna daging sapi yang baru biasanya berwarna ungu gelap.
Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) jika daging dibiarkan
terkena oksigen. Perubahan warna ungu menjadi terang tersebut bersifat
reversibel (dapat balik). Daging
yang terlalu
lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi coklat.
Faktor-faktor yang menjadi penentu utama warna daging adalah konsentrasi pigmen
daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stres, pH dan oksigen.
Menurut Lawrie (2003) warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin. Tipe molekul moiglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyau peranan besar dalam menentukan warna daging.
Menurut Lawrie (2003) warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin. Tipe molekul moiglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyau peranan besar dalam menentukan warna daging.
Perbedaan
warna permukaan daging, disebabkan oleh status kimia molekul mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar
yang diinginkan oleh konsumen adalah merah terang oksimioglobin. Bentuk daging
sapi yang baik adalah berwarna merah terang, mengkilap tidak pucat dan tidak
kotor. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan
daging segar. Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi
kimia bila
terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang
mengeluarkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan
menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna coklat (Soeparno, 2005).
Nilai pH Daging. Berdarkan uji pH didapatkan data uji pH daging. Daging seberat 2gr ditambah 10 ml aquades kemudian di ukur menggunakan pH meter digital. Hasil uji sebagai berikut.
Nilai pH Daging. Berdarkan uji pH didapatkan data uji pH daging. Daging seberat 2gr ditambah 10 ml aquades kemudian di ukur menggunakan pH meter digital. Hasil uji sebagai berikut.
Tabel 5.4
hasil Uji pH daging
No.
|
Sampel
|
pH
|
|||
I
|
II
|
III
|
Rata-rata
|
||
1.
|
Kelompok 30
|
6
|
6,2
|
6,3
|
6,8
|
2.
|
Kelompok 29
|
6,3
|
6,3
|
6
|
9,66
|
Berdasarkan
praktikum yang dilakukan diketahui rata-rata daging yang diukur kelompok
pertama yaitu 6,8 dan kelompok kedua 6,3. Berdasarkan literatur pH daging dalam
kisaran normal, pH daging dalam kisaran normal daging segar. Diketahui bahwa ph
daging dalam kondisi normal pH daging segar menurut Soeparno (2005) pH otot saat
penyembelihan adalah 7,0 pH akan mengalami penurunan karena terbentuknya asam
laktat, sehingga pH pada daging akan menjadi lebih rendah. Kondisi normal pH
akhir daging pH
ultimat normal daging diukur 24 jam
dari waktu penyembelihan adalah sekitar 5,4
sampai 5,8 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging
termasuk protein miofibril. Stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon
atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam otot,
stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah
faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging.
Menurut Lawrie (2003), pH sesaat setelah dipotong berkisar antara 6,5 sampai 7,0 dan mencapai penurunan terendah sampai pada 5,5 sampai 5,6. Hal tersebut disebabkan karena glikogen sebagai sumber energi otot akan mengalami proses glikolisis setelah hewan dipotong dan secara enzimatis akan menghasilkan asam laktat sehingga pH daging menurun
Menurut Lawrie (2003), pH sesaat setelah dipotong berkisar antara 6,5 sampai 7,0 dan mencapai penurunan terendah sampai pada 5,5 sampai 5,6. Hal tersebut disebabkan karena glikogen sebagai sumber energi otot akan mengalami proses glikolisis setelah hewan dipotong dan secara enzimatis akan menghasilkan asam laktat sehingga pH daging menurun
Uji
susut masak daging. Berdasarkan praktikum diketahui daging dimasukan
kedalam plastik kemudian di vacum pack. Daging kemudian dimasak pada air
mendidih selama 30 menit. Uji susut masak ditulis dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 5.4 Uji susut masak daging
No.
|
Sampel
|
Berat awal
|
Berat akhir
|
Susut masak (%)
|
1.
|
Kelompok 30
|
25,2
|
16,3
|
35,31
|
2.
|
Kelompok 29
|
25,1
|
16,4
|
38,64
|
Uji
susut masak pada daging pertama berat awal 25,2 gram berat akhir 16.3 gram
dengan susut masak sebesar 35,31%. Daging kedua sebesar 25,1 gram berat akhir
15,4 dengan susut masak 38,64%. Diketahui bahwa daging dalam kondisi susu masak
daging dalam kisaran normal. Menurut Soeparno
(2005), pada umumnya susut masak daging bervariasi antara 1,5% sampai 54,5%
dengan kisaran 15% sampai 49%. Susut masak daging merupakan indikasi dari sifat
fisik miofbril dan jaringan dengan
bertambahnya umur ternak terutama peningkatan panjang sarkomer. Menurut Lawrie (2003) nilai
susut masak daging yang normal adalah 1,5 sampai 54,5%. Menurut Soeparno
(2003) Penggunaan pemanas menyebabkan semakin berubah
struktur dan komposisi protein, lemak dan air dalam daging karena banyak cairan
daging yang hilang. daging
dalam jumlah susut masak rendah mempunyai kualitas yang lebih baik karena
kehilangan nutrisi saat pemasakan akan lebih sedikit.
Menurut Lawrie (2003) Pemasakan akan mendegradasi jaringan ikat yang meliputi aktomiosin, elastin dan kolagen karena proses pemasakan membuat tenunan pengikat lebih empuk dengan mengubah kolagen menjadi gelatin. bahwa pemasakan menyebabkan koagulasi pada permukaan daging, pencairan lemak dan hidrolisis jaringan ikat. Menurut Soeparno (2005), Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang melintang daging.
Menurut Lawrie (2003) Pemasakan akan mendegradasi jaringan ikat yang meliputi aktomiosin, elastin dan kolagen karena proses pemasakan membuat tenunan pengikat lebih empuk dengan mengubah kolagen menjadi gelatin. bahwa pemasakan menyebabkan koagulasi pada permukaan daging, pencairan lemak dan hidrolisis jaringan ikat. Menurut Soeparno (2005), Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang melintang daging.
Daya Ikat Air. Berdasarkan praktikum daging diukur kadar air bebas dan kadar air total
untuk mendapatkan %DIA. Hasil pengujian tercantum pada tabel.
Tabel 5.4 Uji daya ikat air daging
No.
|
Sampel
|
Kadar
Air Bebas
|
Kadar
Air Total
|
|
|||||
Luas
area Basah
|
mgH2O
|
KAB
|
Berat
sebelum di oven
|
Berat
setelah di oven
|
KAT
|
%DIA
|
|||
1.
|
Kelompok 30
|
13
|
129,13
|
43,04
|
1
|
0,7
|
30%
|
-13,04
|
|
Praktikum
yang dilakukan dieketahui luas area basah 13, mgH2O 129,13 dan KAB 43,04. Kadar air total 30% dan DIA –
13,04. Daya
ikat air adalah kemampuan daging untuk megikat air atau air yang ditambahkan selama pengaruk
kekuatan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, atau
pengepresan (Soeparno, 2005). Komposisi kimia daging terdiri dari kadar air,
protein dan kadar karbohidrat serta mineral yang ditentukan untuk nutrisi dan
umur ternak saat ternak masih hidup. Kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan
air dalam daging. Air merupakan medium biologis termasuk sebagai medium untuk
mentransformasikan substrat otot . Daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein
daging dan karkas (Soeparno, 2005) .
Menurut Soeparno (2005), daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas. Protein salah satu fungsinya mengikat air, jika protein mengalami denaturasi akibat pemanasan atau pemasakan maka kekuatan untuk mengikat air akan semakin rendah sehigga daya ikat air daging tersebut juga akan menurun. Daya ikat air diantara otot berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor perbedaan daya ikat air diantara otot dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur dan fungsi otot.
Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan dan drip pada daging mentah beku yang di-thawing atau kerut pada daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging. DIA dipengaruhi oleh pH. DIA menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan mifilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air. Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, DIA meningkat (Soeparno,2005).
Menurut Soeparno (2005), daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas. Protein salah satu fungsinya mengikat air, jika protein mengalami denaturasi akibat pemanasan atau pemasakan maka kekuatan untuk mengikat air akan semakin rendah sehigga daya ikat air daging tersebut juga akan menurun. Daya ikat air diantara otot berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor perbedaan daya ikat air diantara otot dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur dan fungsi otot.
Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan dan drip pada daging mentah beku yang di-thawing atau kerut pada daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging. DIA dipengaruhi oleh pH. DIA menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan mifilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air. Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, DIA meningkat (Soeparno,2005).
Keempukan Daging
Pengujian bertujuan untuk mengetahui tingkat keemopukan
daging setelah melalui proses pemasakan. Pada uji ini digunakan dua sampel
daging sapi untuk perbandingan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong
searah serat dan dengan ukuran tebal
0,67 cm dan lebar 1,5 cm. Setelah itu diuji dengan alat Warner-Bratzler shear
force (penguji keempukan daging), uji ini diulang sampai tiga kali dan hasilnya
dirata-rata jadi jika potongan daging agak pendek disiapkan 3 potongan daging
tetapi jika cukup panjang disiapkan satu potong daging sesuai dengan ukuran
yang ditentukan. Saat meletakkan pada alat uji keempukan dipastikan bahwa
posisi alat uji tegak lurus dengan arah serat daging agar hasil yang didapat
tepat. Berdasarkan sampel kelompok pertama rata-rata keempukan daging 4,13 kelompok kedua keempukan rata-rata 3,15. Derajat
keempukan daging dipengaruhi oleh tiga kategori protein urat daging yaitu
tenunan pengikat (kolagen dan elastin), myofibril (aktin dan myosin) dan
sarkoplasma (protein sarkoplasma dan sarkoplasmik reticulum) (Lawrie, 2003). Keempukan daging adalah kualitas daging setelah
dimasak. Berdasarkan kemudahan untuk dikunyah tanpa kehilangan sifat dan
jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat dilakukan secara obyektif
dan subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian secara fisik
dan kimia, sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test (Soeparno, 2005).
Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan jus daging (juiciness). Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu ternak yang tua akan cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda. Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut kolagen
Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan jus daging (juiciness). Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu ternak yang tua akan cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda. Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut kolagen
Menurut
Soeparno (2005), Uji kualitas daging penting diketahui untuk menentukan kondisi
daging dalam kondisi prima atau tida. Mengetahui kuliatas daging maka perlu adanya uji kualitas
daging dalam praktikum pengolahan daging. Faktor yang mempengaruhi kualitas
daging diantaranya faktor antemortem yaitu jenis kelamin,
genetik, umur, pakan, bahan aditif, sedangkan faktor postmortem yaitu warna daging, daya ikat air, pH daging, susut
masak, keempukan dan tekstur daging, flavor dan aroma. Daging yang baik memiliki
nilai uji kualitas fisik dalam kisaran normal.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pengukuran didapat skor warna daging yaitu 8 dengan warna merah gelap. Faktor-faktor
yang menjadi penentu utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging
mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin,
stres, pH dan oksigen. Diketahui bahwa
ph daging dalam kondisi normal daging yang masih segar. Susut masak daging
dalam kisaran normal
DAFTAR PUSTAKA
BSN. 2008. Mutu karkas dan daging sapi SNI 3932. Badan
Standardisasi
Nasional. Jakarta.
Nasional. Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.
Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Press, Yogyakarta.
Lawrie,
R.A. 2003. Ilmu Daging. UI Press. Jakarta
ACARA
VI
PEMBUATAN DENDENG
PEMBUATAN DENDENG
TINJAUAN PUSTAKA
Dendeng
merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau
gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki
cita rasa yang khas, yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar
gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan
bau khas pada produk akhir. (Purnomo, 1996) ditinjau dari cara pembuatanya,
dendeng dikelompokan menjadi dendeng iris (slicer)
dan giling. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng alah daging,
gula merah (30%), garam (5%), ketumbar (2%), bawang putih (2%), sendawa
(0,2%), lengkuas (1%), dan jinten (1%) (Hadiwiyoto, 1994).
MATERI
DAN METODE
Materi
Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah timbangan untuk menimbang daging dan bumbu, penggiling
bumbu untuk menggiling bumbu, grinder untuk menggiling daging, baskom sebagai
tempat adonan daging dan bumbu yang sudah halus, aluminium kompor untuk memasak
dendeng yang sudah siap masak.
Bahan. Bahan
yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging sapi, gula, garam, bubuk
ketumbar, asam jawa, bawang putih, jahe atau
lengkuas.
Metode
Metode yang digunakan
dalam praktikum ini yaitu daging dibersihkan dari jaringan ikat dan lemak.
Daging sapi yang sudah halus ditimbang sebanyak 125 gram dan dimasukkan ke dalam baskom.
Bumbu-bumbu ditimbang sesuai resep, yaitu lengkuas 1%, garam 2%, bawang putih
1%, gula merah 25%, asam jawa 1% dan ketumbar 5%. Semua bumbu yang sudah halus
dicampurkan ke dalam baskom lalu diaduk selama kurang lebih 10 menit sampai
adonan benar-benar rata. Adonan yang sudah tercampur rata kemudiaan diletakkan
diatas kertas aluminium foil kemudian ditipiskan di atas loyang sampai kurang lebih
tebalnya 3 mm. adonan yang sudah ditipiskan dijmur di bawah sinar matahari
slama 7 jam/hari selama 3 hari. Pngeringan juga dapat mnggunakan oven, setelah
kering dendeng dapat diolah lebih lanjut dan dikemas.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan, komposisi bahan yang digunakan terdapat sedikit perbedaan
dengan literatur. Komposisi yang digunakan pada saat praktikum tidak
menggunakan jinten dan sendawa, selain itu persentase komposisi bahan yang
digunakan juga terdapat sedikit perbedaan, tetapi semua itu bersifat fleksibel,
dapat disesuaikan menurut keinginan konsumen. Menurut Winarno ( 2004) Daging
yang sudah dijadikan dendeng akan lebih tahan lama. Produk jenis ini
membutuhkan bahan tambahan dalam proses pembuatannya. Bumbu yang ditambahkan
pada daging olahan tersebut berperan sebagai penambah cita rasa, pengawetan,
pewarna dan anti oksidan
Fungsi
penambahan bahan-bahan (bumbu) secara keseluruhan yaitu untuk cita rasa, aroma
dan warna, slain itu bumbu juga digunakan sebagai pengawet. Menurut Soeparno
(1994), penambahan garam berfungsi sebagai pengawet karena dalam jumlah yang
cukup, garam dapat menyebabkan autolysis dan pembusukan serta plasmolisis pada
mikroba. Garam meresap kedalam jaringan daging sampai tercepai keseimbangan
tekanan osmosis antara bagian dalam dan luar daging, selain sebagai penghambat
bakteri, garam juga dapat merangsang cita dan penambahan rasa enak pada produk.
Menurut Aberle et al. (2001) garam
yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril
yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi.
Fungsi garam adalah menambahakan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur
simpan produk. Menurut Potter (1996) Garam juga bersifat bakteriostatik dan
bakteriosidal, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroba
pembusuk lainnya Garam mampu memperbaiki sifat-sifat fungsional
produk daging dengan cara mengekstrak protein miofibriler dari serabut
daging selama proses penggilingan dan pelunakan daging.
Pembuatan dendeng menggunakan bahan-bahan diantaranya gula merah dan asam jawa. Penambahan gula pada dendeng berfungsi untuk melunakkan melalui jalan mencegah penguapan air dan tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 1994). Penambahan gula merah pada dendeng berfungsi memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi dan kapang akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula, yang disebut osmosis dan menyebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno, 2004).
Pembuatan dendeng menggunakan bahan-bahan diantaranya gula merah dan asam jawa. Penambahan gula pada dendeng berfungsi untuk melunakkan melalui jalan mencegah penguapan air dan tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 1994). Penambahan gula merah pada dendeng berfungsi memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi dan kapang akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula, yang disebut osmosis dan menyebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno, 2004).
Bawang
putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena bersifat bakteriostatik
yang disebabkan oleh adanya zat aktif alicin
yang sangat efektif terhadap bakteri, selain itu bawang putih mengandung scordinin, yaitu senyawa
komplek thioglisidin
yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Ketumbar adalah
rempah-rempah kering berbentuk bualat dan berwaarna kuning kecoklatan, memiliki
rasa gurih dan manis, berbau harum, dan dapat membangkitkan kesan sedap di
mulut (Farrell, 1990). Lengkuas memiliki dua warna, yaitu putih dan merah, dan
dua ukuran, yaitu kecil dan besar. Lengkuas mengandung beberapa minyak atsiri,
diantaranya kamfer, galang,
galangol, philandren, dan mungkin juga curcumin. Minyak atsiri tersebut menghasilkan
aroma yang khas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Teknik pengeringan dendeng akan menentukan lama pengeringan dan biaya produksi . Suatu penelitian yang mengamati cara pengeringan dendeng yakni antara yang dikeringkan dengan sinar matahari dan dioven dengan suhu 60°C tidak mendapatkan pengaruh yang nyata terhadap mutu gizi clan preferensi dendeng (Triyantini, 2012). Menurut Prayitno et al. (2012) Cara pengeringan dengan sinar matahari. Keuntunganya adalah murah, bersih dan sederhana tetapi kerugianya yaitu sangat tergantung pada cuaca. Pengeringan dapat dilakukan dengan oven pengering pada suhu dan waktu pengeringanya dapat diatur serta kontaminasi oleh bakteri dapat dicegah namun hal ini menambah biaya produksi. Pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu kurang lebih 22 jam sehingga dibutuhkan waktu 2 sampai 3 hari untuk mendapatkan dendeng kering. Pengeringan dengan sinar matahari yang mendekati itu adalah jika menggunakan oven pengerin pada suhu 50oC. Proses ini memerlukan waktu kurang lebih 15 jam.
Teknik pengeringan dendeng akan menentukan lama pengeringan dan biaya produksi . Suatu penelitian yang mengamati cara pengeringan dendeng yakni antara yang dikeringkan dengan sinar matahari dan dioven dengan suhu 60°C tidak mendapatkan pengaruh yang nyata terhadap mutu gizi clan preferensi dendeng (Triyantini, 2012). Menurut Prayitno et al. (2012) Cara pengeringan dengan sinar matahari. Keuntunganya adalah murah, bersih dan sederhana tetapi kerugianya yaitu sangat tergantung pada cuaca. Pengeringan dapat dilakukan dengan oven pengering pada suhu dan waktu pengeringanya dapat diatur serta kontaminasi oleh bakteri dapat dicegah namun hal ini menambah biaya produksi. Pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu kurang lebih 22 jam sehingga dibutuhkan waktu 2 sampai 3 hari untuk mendapatkan dendeng kering. Pengeringan dengan sinar matahari yang mendekati itu adalah jika menggunakan oven pengerin pada suhu 50oC. Proses ini memerlukan waktu kurang lebih 15 jam.
Kadar
air yang dikurangi pada bahan pangan mengakibatkan kandungan protein,
karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan tetapi
vitamin–vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang .Proses
pembuatan dendeng dan penambahan bumbu-bumbu menimbulkan reaksi maillard.
Reaksi Maillard terjadi antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi (gugus
keton atau aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin
yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara
gugus aldehid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein ini membentuk
glukosilamin. Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino, faktor yang
memengaruhi reaksi Maillard, adalah
suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH, dan tipe gula. Berkaitan dengan
suhu, reaksi ini berlangsung cepat pada suhu 100oC namun tidak
terjadi pada suhu 150oC. Kadar air 10 sampai 15% adalah kadar air terbaik untuk reaksi
Maillard, sedangkan reaksi lambat pada kadar air yang terlalu rendah atau
terlalu tinggi. Pada pH rendah, gugus amino yang terprotonasi lebih banyak
sehingga tidak tersedia untuk berlangsungnya reaksi ini. Umumnya molekul gula
yang lebih kecil bereaksi lebih cepat dibanding molekul gula yang lebih besar.
Dalam hal ini, konfigurasi stereokimia juga memengaruh, misalnya pada sesama
molekul heksosa, galaktosa lebih reaktif dibanding yang lain (Winarno,2004)
Parameter
uji sensoris yang dilakukan antara lain warna, rasa, tekstur, keempukan dan
daya terima. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan hasil uji sensoris
sudah mendekati kontrol. Kontrol yang digunakan merupakan dendeng pabrikan yang
dijual dipasaran. Warna dendeng sama dengan kontrol hasil pembuatan yaitu
coklat tua. Rasa dendeng juga telah sama yaitu manis gurih. Tekstur dendeng
hasil praktikum kasar sedangkan dendeng kontrol halus. Keempukan dendeng lunak
sedangkan kontrol keras. Daya terima dendeng diterima. Perbedaan dendeng
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain proses pembuatan, lama dan metode
pengeringan serta proses penggorengan(Triyantini, 2012). Menurut Soputan (2004) dikutip dari
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) bahwa komposisi dendeng
sapi dalam 100 gram dendeng. Kalori 443
kkal,Protein 55 g, lemak 9 gr. Karbohidrat 10,5 g, kalsium 30 mg, Fosfor 370 g,
besi 5,1 mg, Air 25 g.
Warna adalah salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk yang dihasilkan. semakin lama penyimpanan maka warna dendeng giling daging sapi akan semakin coklat kehitaman. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari proses curing atau pengolahan selama pencampuran bahan terhadap pembuatan dendeng giling daging sapi sehingga semakin lama penyimpanan maka warna pada dendeng akan semakin mengalami pencoklatan dan warna menjadi gelap. Warna gelap yang terjadi pada dendeng diakibatkan oleh adanya reaksi antara gula terhadap panas pada saat dilakukan penggorengan (Soputan, 2004) .
Keempukan dan tekstur merupakan faktor utama dalam penilaian daging yang mempengaruhi selera konsumen. Semakin mudah daging tersebut dikunyah dan jumlah residu yang tertinggal semakin sedikit sisa daging selama pengunyahan berarti daging semakin empuk. dendeng giling dengan lama penyimpanan mempengaruhi keempukan dendeng giling dan sifat keempukan saat penetrasi pada gigi yang mudah dikunyah. Hal ini disebabkan karena semakin lama penyimpanan dendeng giling akan semakin empuk karena selama penyimpanan dendeng mengalami perubahan-perubahan secara fisik yang dapat mengempukkan daging serta karena adanya pencampuran bahan lain yang dapat membuat dendeng semakin empuk (Soeaparno, 1994) .
Rasa adalah sensasi yang kompleks, melibatkan bau dan rasa/taste, tekstur, suhu dan pH dari semua ini, bau adalah yang paling penting. Menurut Soeparno (1994) bahwa flavor dan aroma daging adalah sensasi yang kompleks dan saling terkait. Flavor melibatkan bau, rasa, tekstur, temperatur, dan pH. Sensasi rasa yang dominan adalah pahit, manis asin, dan asam. Perubahan peningkatan nilai rata-rata flavor (cita rasa) organoleptik selama penyimpanan daging kering dapat terjadi karena adanya reaksi Maillard yaitu gugus karbonil dari gula reduksi bereaksi dengan gugus amino dari protein daging dan asam-asam amino secara non enzimatik.
Daya terima atau kesukaan Kesukaan tergolong dalam kenikmatan yang diperoleh saat mencicipi produk olahan dendeng giling tersebut. Penilaian kesukaan dilakukan untuk melihat respon panelis terhadap produk yang dihasilkan (Soeparno, 1994). Faktor lain yang mempengaruhi hasil pembuatan dendeng adalah bahan pembuatan dendeng. Dendeng daging sapi yang bermutu baik, harus menggunakan bahan yang bermutu. Daging sapi yang digunakan harus berkualitas baik dan segar. Pemilihan bahan tambahan dan bumbu juga dapat mempengaruhirasa dendeng. Jika daging sapi yang digunakan kurang atau tidak segar maka akandapat mempengaruhi hasil dari dendeng, selain itu juga dendeng memiliki rasadan aroma yang tidak sedap. Demikian pula jika bahan yang digunakan berkualitas baik,rasa, aroma, dan warna akan baik. Jika kualitas bumbu kurang atau tidak baik, misalnya bawang putih agak busuk dapat berpengaruh terhadap rasadan aroma (Soputan, 2004)
Warna adalah salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk yang dihasilkan. semakin lama penyimpanan maka warna dendeng giling daging sapi akan semakin coklat kehitaman. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari proses curing atau pengolahan selama pencampuran bahan terhadap pembuatan dendeng giling daging sapi sehingga semakin lama penyimpanan maka warna pada dendeng akan semakin mengalami pencoklatan dan warna menjadi gelap. Warna gelap yang terjadi pada dendeng diakibatkan oleh adanya reaksi antara gula terhadap panas pada saat dilakukan penggorengan (Soputan, 2004) .
Keempukan dan tekstur merupakan faktor utama dalam penilaian daging yang mempengaruhi selera konsumen. Semakin mudah daging tersebut dikunyah dan jumlah residu yang tertinggal semakin sedikit sisa daging selama pengunyahan berarti daging semakin empuk. dendeng giling dengan lama penyimpanan mempengaruhi keempukan dendeng giling dan sifat keempukan saat penetrasi pada gigi yang mudah dikunyah. Hal ini disebabkan karena semakin lama penyimpanan dendeng giling akan semakin empuk karena selama penyimpanan dendeng mengalami perubahan-perubahan secara fisik yang dapat mengempukkan daging serta karena adanya pencampuran bahan lain yang dapat membuat dendeng semakin empuk (Soeaparno, 1994) .
Rasa adalah sensasi yang kompleks, melibatkan bau dan rasa/taste, tekstur, suhu dan pH dari semua ini, bau adalah yang paling penting. Menurut Soeparno (1994) bahwa flavor dan aroma daging adalah sensasi yang kompleks dan saling terkait. Flavor melibatkan bau, rasa, tekstur, temperatur, dan pH. Sensasi rasa yang dominan adalah pahit, manis asin, dan asam. Perubahan peningkatan nilai rata-rata flavor (cita rasa) organoleptik selama penyimpanan daging kering dapat terjadi karena adanya reaksi Maillard yaitu gugus karbonil dari gula reduksi bereaksi dengan gugus amino dari protein daging dan asam-asam amino secara non enzimatik.
Daya terima atau kesukaan Kesukaan tergolong dalam kenikmatan yang diperoleh saat mencicipi produk olahan dendeng giling tersebut. Penilaian kesukaan dilakukan untuk melihat respon panelis terhadap produk yang dihasilkan (Soeparno, 1994). Faktor lain yang mempengaruhi hasil pembuatan dendeng adalah bahan pembuatan dendeng. Dendeng daging sapi yang bermutu baik, harus menggunakan bahan yang bermutu. Daging sapi yang digunakan harus berkualitas baik dan segar. Pemilihan bahan tambahan dan bumbu juga dapat mempengaruhirasa dendeng. Jika daging sapi yang digunakan kurang atau tidak segar maka akandapat mempengaruhi hasil dari dendeng, selain itu juga dendeng memiliki rasadan aroma yang tidak sedap. Demikian pula jika bahan yang digunakan berkualitas baik,rasa, aroma, dan warna akan baik. Jika kualitas bumbu kurang atau tidak baik, misalnya bawang putih agak busuk dapat berpengaruh terhadap rasadan aroma (Soputan, 2004)
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa dendeng merupakan produk olahan daging secara tradisional
yang merupakan kombinasi kyuring dan pengeringan. Bahan dasar yang digunakan
yaitu daging sapi segar, garam, lengkuas, bawang putih, gula merah, asam jawa
dan ketumbar. Persentase komposisi bahan yang digunakan dapat menyesuaikan
sesuai keinginan konsumen/standar dari pabrik. Semua bahan dicampur dan digiling
tipis kemudian dikeringkan, dendeng siap digoreng dan disajikan. Dendeng yang
dibuat memiliki warna coklat tua, rasa manis gurih, tekstur kasar, lunak dan
dapat diterima. Hasil pembuatan sudah mendekati kontrol.
DAFTAR
PUSTAKA
Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D.
Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel.
2001.Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing,
Iowa.
2001.Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing,
Iowa.
Farrel, K.T. 1990. Spices, Condiments and
Seasoning 2nd Ed. Van Nostrad
Reinhold, New York
Reinhold, New York
Hadiwiyoto, S. 1994. Studi Pengolahan Dendeng
dengan Oven Pengering
Rumah Tangga. Buletin Peternakan. 18:119-126
Rumah Tangga. Buletin Peternakan. 18:119-126
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono, 1994. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Purnomo, H. 1996. Dasar-dasar Pengolahan da
Pengawetan Daging. PT
Grasindo, Jakarta
Grasindo, Jakarta
Potter, N. 1996, Food Science. Published by
Van Nostrand Reinhold Co,
New York.
New York.
Prayitno,A.H., D.P.A. Saputra, A. Kurniati,
H.Widyastuti, R. R.
Utami,Soeparno dan Rusman. 2012. Pengaruh metode pembuatan
pengeringan yang berbeda terhadap karakteristik Fisik ,kimia dan
sensoris dendeng daging kelinci.Buletin Peternakan. Hal 113-121
Utami,Soeparno dan Rusman. 2012. Pengaruh metode pembuatan
pengeringan yang berbeda terhadap karakteristik Fisik ,kimia dan
sensoris dendeng daging kelinci.Buletin Peternakan. Hal 113-121
Palungkun , R. dan A. Budhiarti. 1995. Bawabg
Putih Dataran Randah.
P.T.Penebar Swadaya, Jakarta.
P.T.Penebar Swadaya, Jakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Tknologi Daging.
Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Press, Yogyakarta.
Soputan, J. EM. 2004. Dendeng Sapi Sebagai
Alternatif Pengawetan
Daging. Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah
Pascasarjana. IPB .Bogor
Daging. Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah
Pascasarjana. IPB .Bogor
Winarno F G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT
Gramedia, Jakarta.
ACARA
V
PEMBUATAN BAKSO
TINJAUAN PUSTAKA
Proses
pembuatan bakso dalam prosesnya dilakukan pemisahan daging dari jaringan ikat,
tujuanya adalah untuk mengurangi kandungan lemak agar saat mengalami proses
penghancurkan daging tidak menjadi lembek atau berair. Penggilingan bertujuan
agar serabut daging pecah sehingga proteim dapat keluar dan bergabung dengan
air garam untuk menghasikan emulsi yang sempurna. Penambahan garam dimaksudkan
untuk memberikan tambahan rasa atau flavour (Soeparno, 2005).
Menurut Berutu (2009) jenis otot daging yang digunakan
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap warna bakso. Hal ini disebabkan karena
konsentrasi mioglobin dan hemoglobin yang merupakan penentu utama warna daging.
Mioglobin berbeda diantara otot merah dan otot putih, umur, spesies, bangsa dan
lokasi otot. Oksidasi dan polimerasi lemak dan protein ikut memberikan andil
pada warna daging masak. Warna yang merata pada produk menandai baik tidaknya
pengolahan.
MATERI DAN METODE
Materi
Alat. Alat
yang digunakan dalam praktikum pembuatan bakso antara lain timbangan digital untuk menimbang, meat grinder untuk menghaluskan adonan, panci untuk merebus dan kompor untuk memasak dan baskom untuk wadah adonan.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam
praktikum ini adalah daging 250 g, garam 10 gr, merica 10 gr, bawang putih 3 gr, bawang
merah goreng 10, misonyal 0,75 gr, tepung tapioka 62,5 gr, air es 37,5 gr.
Metode
Pembuatan Bakso. Sebanyak 250 gr daging sapi giling ditambah garam
10 gr, merica 10 gr, bawang putih 3 gr, bawang merah goreng 10, misonyal 0,75
gr, tepung tapioka 62,5 gr, air es 37,5 gr
dalam mesin pencampur hingga
homogen. Adonan
dibentuk bulat dan dimasukkan dalam air
yang mendidih sampai mengapung.
Uji Sensoris.
Produk bakso diuji sensoris
sesuai dengan kriteria yang ada yaitu warna, rasa, tekstur, daya terima
kemudian dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji Nilai pH. Daging seberat 10 gram dicacah, ditambah 10 ml aquades,
diaduk homogen. Diukur dengan pH meter, dilakukan sebanyak tiga kali kemudian
hasilnya dirata-rata.
Uji Keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan
dengan menggunakan alat Penetrometer merek K.I.C dengan beban seberat 10 g.
Sampel diletakkan dibawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada
angka 0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada
alat dikalikan dengan 1/10 mm.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Bakso. Bakso
adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran
daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan
bahan makanan lain, serta bahan tambahan makanan yang diijinkan (Untoro, 2012). Secara umum bakso tersusun
atas tiga komponen utama yaitu daging, bahan pengisi (filler), dan
bumbu-bumbu serta beberapa bahan tambahan yang berfungsi sebagai bahan pengikat
(Soeparno, 2005)
Berdasarkan
praktikum yang dilakukan bakso dibuat menggunakan bahan daging sapi giling
segar yang telah halus kemudian ditambahkan bahan-bahan tambahan dan tepung
tapioka kemudian dicampur rata dan dibentuk bulat-bulat. Bakso dimasak pada air
hingga mendidih kemudian didinginkan. Komposisi bahan yang digunakan tercantum
pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Bahan-bahan
Pembuatan Bakso
No.
|
Bahan
|
Berat (g)
|
1.
|
Daging
sapi
|
250
|
2.
|
Garam
|
10
|
3.
|
Merica
|
3
|
4.
|
Bawang
putih
|
3
|
5.
|
Bawang
merah goring
|
10
|
6.
|
Misonyal
|
0,75
|
7.
|
Tepung
tapioca
|
62,5
|
8.
|
Air es
|
37,5
|
9.
|
Total
|
376,75
|
Daging didefinisikan
sebagai semua jaringan hewan dan semua produk olahan jaringan tersebut yang
sesuai untuk dimakan dan tidamenimbulkan gangguan bagi yang memakannya
(Soeparno, 2005). Sebenarnya semua jenis
daging dapat Air merupakan komponen yang
tersebar dalam bakso. Sebenarnya untuk
membuat bakso semua jenis daging dari
bahan karkas dapat digunakan untuk membuat bakso, namun karena perbedaan
kandungan lemak dan jaringan ikat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan
(Sudrajat,2007).
Garam dapur atau NaCl mempunyai fungsi untuk
meningkatkan cita rasa produk bakso, sebagai pelarut protein yaitu miosin
sehingga menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat mencegah
pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan untuk meningkatkan daya
mengikat air (Sudrajat,2007).
Merica
sebagai bahan tambahan penyedap cita rasa menjadikan cita rasa bakso khas
karena adanya merica. Merica dapat memberikan efek pedas dan hanga sehingga
produk bakso juga semakin enak (Untoro, 2012). Bawang putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena
bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif alicin yang sangat efektif
terhadap bakteri, selain itu bawang putih mengandung scordinin, yaitu senyawa
komplek thioglisidin
yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995).
Tepung
tapioka. Tepung tapioka merupakan
bahan pengisi pada bakso. tujuan penambahan bahan pengikat dan bahanpengisi dalam suatu adonan adalah
untuk meningkatkan daya mengikat air, mereduksi penyusutan selama pemasakan,
memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi juga
dapat memperbaiki stabilitas emulsi produk daging. Penggunaan bahan pengisi
dalam pembuatan bakso berdasarkan SNI 01- 3818-1995 maksimum 50% dari berat
daging. Peningkatan penggunaan bahan pengisi menyebabkan peningkatan kekerasan
bakso (Sudrajat, 2010).
Misonyal,
merupakan bahan pengikat. Menurut sudrajat (2010) Bahan pengikat merupakan
bahan bukan daging yang mempunyai kemampuan mengikat air dan sekaligus
mengemulsikan lemak. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak
pada fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak.
Penambahan
air biasanya dalam bentuk es batu yang berfungsi untuk menstabilkan suhu selama
proses chopping dan membantu proses pembentukan emulsi. Penambahan es batu juga
bertujuan agar tidak terjadi denaturasi protein dan menyebabkan kejutan
temperatur yang berakibat kontraksi mendadak dari serabut otot daging sehingga
terjadi kekenyalan khusus (Sudrajat,
2012)
Berdasarkan praktikum pembuatan bakso telah dilakukan
secara benar menurut literatur. Bakso dimasak dengan api kecil pada air panas
selama 30 menit hingga air mendidih. Pemasakan pada api kecil dan lama dapat
meningkatkan kualitas bakso karena seluruh bagian bakso dapat panas matang
merata ( Sudrajat,2007).
Uji Sensoris. Berdasrarkan praktikum yang dilakukan bakso yang telah
matang dilakukan uji sensoris. Pengujian sensoris berdasarkan warna, rasa,
tekstur, keempukan dan daya terima. Hasil praktikum dibandingkan dengan kontrol
yang merupakan baksol hasil pabrik. Didapatkan hasil pada 5.2.
No.
|
Parameter
|
Hasil praktikum
|
Kontrol
|
1.
|
Warna
|
Abu-abu gelap
|
Abu-abu cerah
|
2.
|
Rasa
|
Gurih Agak
asin
|
Gurih
|
3.
|
Tekstur
|
Kasar
|
Halus
|
4.
|
Keempukan
|
Empuk
|
kenyal
|
5.
|
Daya terima
|
Diterima
|
diterima
|
Berdasarkan hasil uji organoleptik bakso dengan parameter
warna adalah abu-abu dan variabel kontrol adalah abu-abu cerah. Bakso hasil
praktikum rasanya gurih sedikit asin sedangkan kontrol gurih. Tekstur hasil
praktikum kasar sedangkan kontrol halus. Keempukan hasil praktikum empuk
sedangkan kontrol kenyal. Daya terima hasil praktikum diterima, kontrol juga
diterima.
Perbedaan warna bakso hasil uji berbeda dengan kontrol.
Warna lebih gelap. Faktor yang mempengaruhi adalah daging yang digunakan.
Menurut Berutu (2009) jenis otot daging yang digunakan mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap warna bakso. Hal ini disebabkan karena konsentrasi mioglobin dan
hemoglobin yang merupakan penentu utama warna daging. Mioglobin berbeda
diantara otot merah dan otot putih, umur, spesies, bangsa dan lokasi otot.
Oksidasi dan polimerasi lemak dan protein ikut memberikan andil pada warna
daging masak. Warna yang merata pada produk menandai baik tidaknya pengolahan.
Rasa
yang diperoleh terhadap kontrol lebih asin. Menurut Berutu (2010), disebabkan karena
bumbu-bumbu yang digunakan selama prosesing yaitu garam dan bawang putih.
Disampung itu air dan lemak merupakan penenetu kesukaan akan bakso, bila air
dan lemak meningkat maka keempuka dan jusnya akan meningkat pula.
Tektur
hasil praktikum kasar sedangkan kontrol halus. Menurut Berutu (2010), jenis
otot mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap tekstur bakso. Tekstur yang
kasar karena jaringan ikat yang terdapat pada daging. Tekstur bakso juga
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas daging yang digunakan, metode
pengolahan dan bahan-bahan yang ditambahkan. Kandungan lemak, stabilitas emulsi
dan kandungan binder akan berpengaruh terhadap tekstru bakso. Adonan stabil
emulsinya biasanya akan menghasilan testur yang baik setelah dimasak, tetapi
bila emlusinya tidak stabil maka sering dijumpai rongga. Pengolahan yang baik
dan pemberian bahan tambahan seperti garam,filler dan binder akan memperbaiki
tekstur bakso.
Keempukan pada hasil praktikum empuk sedangkan kontrol
kenyal. Menurut Berutu (2010), Jenis otot daging mempengaruhi keempukan bakso.
Hal ini menunjukan bahwa keempukan
daging juga bergantung pada konsentrasi struktur miofibrol sehingga keempoukan
dapat berbeda diantara otot, erat daging, lemak daging dan kandungan kolagen
berpengaruh terhadap kekenyalan. Apabila terlalu banyak ikatan silang antar
protein maka akan semakin kompak dan mennyebabkan bakso akan semakin kenyal.
Penambahan bahwa pengisi juga mempengaruhi tingkat kekenyalan karena berfungsi
mengikat air, memperbaiki tekstru dan elastisitas produk karena kandungan
amilosa dan amilo pektin.
Derajat keasaman (pH). Sampel seberat 10 g dicincang halus
kemudian dicampur dengan 10 ml aquades. Sebelum pengukuran, elektroda pH meter
dicuci dengan aquades, pH sampel diukur pada pH netral (7,0), kemudian
elektroda pH meter dicuci kembali dengan aquades yang akan digunakan untuk
pengukuran pH bakso.Uji pH Bakso yang telah tertulis pada tabel 5.3.
Tabel
5.3 Uji pH Bakso
No.
|
Sampel
|
|
pH
|
|||
I
|
II
|
III
|
Rata-rata
|
|||
1.
|
Kelompok
23
|
6,5
|
6,7
|
6,6
|
6,6
|
|
2
|
Kelompok
24
|
6,3
|
6,4
|
6,3
|
6,31
|
|
Menurut
Berutu (2010) pH normal bakso antara 6,01 hingga 6,7. Faktor yang mempengaruhi
pH bakso adalah jenis daging yang digunakan. Menurut Soeparno
(2005) menyatakan, faktor ekstrinstik seperti temperatur, kelembaban dan stres,
serta faktor intrinstik seperti spesies, bangsa, jenis kelamin, individu
ternak, macam otot daging, aktivitas otot, dan aktivitas enzim-enzim glikolisis
dapat mem-pengaruhi pH otot postmortem.
Keempukan (tenderness). Berdasarkan praktikum uji keempukan
mengguna-kan alat penetrometer. Pengukuran
keempukan dilakukan dengan meletak-kan sampel bakso dibawah jarum penetrometer,
kemudian dilakukan pengukuran pada tiga tempat yang berbeda. Besarnya
pergerakan pemberat ma-suk dalam sampel dapat dilihat pada pergeseran skala.
Hasil pengukuran di rerata (satuan 1/10 mm) dan dibagi nilai keempukan. Hasil uji keempukan tercantum pada tabel 3.
Tabel 5.4 Uji keempukan
No.
|
Sampel
|
Keempukan
|
|||
I
|
II
|
III
|
Rata-rata
|
||
1.
|
Kelompok 23
|
6
|
11.1
|
7,6
|
8,23
|
2.
|
Kelompok 24
|
9,5
|
12
|
7,5
|
9,66
|
Pada
uji kualitas fisik bakso, bakso diuji dengan parameter keempukan dari 3 sisi
bakso rata-rata 8,23.
Sementara variabel kontrol memiliki keempukan rata-rata 9,2
mm. Menurut Berutu (2010) kempukan
daging rata-rata normal 12 hingga 14. Keempukan daging hasil uji kedua kelompok
dibawah rata-rata. Menurut Soeparno (2005)
keempukan suatu bakso sangat dipengaruhi oleh struktur daging bakso yang
digunakan dan komponen air dalam bakso.
Penambahan air ini juga berfungsi untuk meningkatkan keempukan, jus
daging dan menggantikan pengganti air yang hilang pada saat prosesing.
Kesimpulan
Bakso hasil praktikum dibuat dari bahan daging dan
bumbu-bumbu tambahan seperti garam, merica, bawang putih , bawang merah goreng,
misonyal, tepung tapioka dan air es. Hasil uji organoleptik bakso berwarna
gelap, rasa gurih asin, tekstur kasar, keempukan empu dan memiliki daya terima.
Keempukan daging dibawah rata-rata normal yaitu 8,23 dan 9,6, ph bakso dalam
kisaran normal. Faktor yang mepengaruhi kualitas bakso adalah daging yang
digunakan, bahan-bahan tambahan dan proses pengolahan.
DAFTAR PUSTAKA
Berutu, K.M., E.
Suryanto dan R. Utomo. 2010. Kualitas bakso daging sapi peranakan ongole yang
diberi pakan tongkol jadung dan undergrade protein dalam complete feed. Buletin
Peternakan
Palungkun, R dan
A . Budhiarti. 1995. Bawang putih dataran rendah. P.T. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Soeparno, R. A. 2005.
Ilmu Daging Edisi ke-5. Penterjemah Amminudin Parrakasi. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Sudrajat, G. 2007. Sifat fisik dan organoleptik bakso
daging sapi dan
kerbau dengan penamabahan keranggenan dan khitosan. Institut
pertanian bogor.
kerbau dengan penamabahan keranggenan dan khitosan. Institut
pertanian bogor.
Untoro, N. S. Kusrahayu dan B.E Setiani. 2012. Kadar
air, kekenyalan,
kadar lemak, dan citarasa bakso aing sapi dengan penambahan
ikan bandeng presto.( Channor channos forsk ). Animal Agricultural
journal.
kadar lemak, dan citarasa bakso aing sapi dengan penambahan
ikan bandeng presto.( Channor channos forsk ). Animal Agricultural
journal.
ACARA VI
PEMBUATAN SOSIS
TINJAUAN PUSTAKA
Prinsip
pembuatan sosis yaitu Secara teknik, pembuatan
sosis terdiri dari beberapa langkah, yaitu kominusi untuk mengurangi ukuran
lemak dan daging (pemotongan, penggilingan dan pencacahan), pencampuran dengan
bahan lain, pemasukan adonan kedalam selongsong, pengikatan sosis hingga
dicapai panjang yang diinginkan, dan terakhir adalah pengemasan. Sosis yang
baik memenuhi standar menurut uji organoleptik, uji fisik dan uji daya terima.
Sosis yang baik memeliki komposisi yang sama pada semua produk serta memiliki
ketahan preservasi tinggi (Putri,2012).
Menurut
Wahyuni (2012), tekstur daging olahan sangat dipengaruhi oleh macam daging,
metode pengolahan, dan bahan-bahan yang ditambahkan. Metode pengolahan dan
bahan-bahan yang digunakan menentukan kualitas tekstur sosis. Sosis pabrik
biasanya digiling secara benar-benar halus dengan alat khusus. Penggilingan
seara halu akan amempengaruhi tekstur sosis Dibandingkan dengan praktikum yang
dilakukan penggilingan adonan sosis tidak benar-benar halus oleh karena hasil
yang diperoleh berbeda
MATERI DAN METODE
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pembuatan sosis antara
lain timbangan digital untuk menimbang daging dan bahan lain, mesin pencampur
untuk menghomogenkan adonan, baskom sebagai wadah pembuatan adonan, chopper
sebagai alat untuk memasukan bahan kedalam chasing plastik, kompor untuk
memanaskan, panci sebagai wadah memasak, dan gunting untuk memotong chasing
plastik.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pembuatan sosis
antara lain daging sapi giling 250 g, garam 5,5 gr, minyak
0,5 sdm, bawang putih 1,5 gr, ketumbar 1,5 gr, gula 5 gr, susu skim 8,25 gr,
tepung tapiola 40 gr, air es 37,5
Metode
Pembuatan Sosis. Sebanyak 250 gr daging sapi giling dimasukan dalam baskom ditambah garam 5,5 gr, minyak 0,5
sdm, bawang putih 1,5 gr, ketumbar 1,5 gr, gula 5 gr, susu skim 8,25 gr, tepung
tapiola 40 gr, air es 37,5.
Semua bahan dimasukan dalam mesin pencampur setelah itu tercampur rata adonan
dimasukan kedalam chopping (peremasan). Pembentukan sosis dilakukan dengan cara stuffing
kedalam chasing plastik. Sosis
yang telah terbentuk dalam chasing plastik direbus selama 30 menit, lalu didinginkan kemudian ditiriskan
dan diuji.
Uji Sensoris.
Produk sosis
diuji sensoris
sesuai dengan kriteria yang ada yaitu warna, rasa, tekstur, daya terima
kemudian dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji Nilai pH. Daging sosis seberat 10 gram dicacah, ditambah 10 ml aquades, diaduk
homogen. Diukur dengan pH meter, dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya
dirata-rata.
Uji Keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan
alat Penetro meter
merek K.I.C dengan beban seberat 10 g. Sampel diletakkan dibawah jarum
penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka
keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dikalikan dengan 1/10
mm.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Sosis
adalah tipe produk sapi kominusi yang unik dan biasanya diberi tambahan bumbu
atau rempah untuk menambahkan intesitas rasa dan profilnya. Sosis daging
didefinisikan sebagai makanan yang diperoleh dari campuran daging halus
(mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau
tanpa penambahan bumbu atau bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan
dimasukkan kedalam selubung sosis (SNI 01-3820-1995). Selain itu, sosis juga
didefenisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging giling dan diberi bumbu
serta dibungkus dengan casing sehingga berbentuk silinder yang simetris (Putri, 2009).
Berdasarkan
praktikum yang dilakukan bahan-bahan sosis berupa daging dan bahan baku lain
dicampur dan masukan dalam chasing plastik menggunakan chopper. Bahan-bahan
yang digunakan tercantum pada tabel 6.1.
No.
|
Bahan
|
Berat (g)
|
1.
|
Dagin sapi
|
250
|
2.
|
Garam
|
5,5
|
3.
|
minyak
|
0,5
|
4.
|
Bawang putih
|
1,5
|
5.
|
Ketumbar
|
1,5
|
6.
|
Gula
|
5
|
7.
|
Susu skim
|
8,25
|
8.
|
Tepung tapioka
|
40
|
9.
|
Air es
|
37,5
|
10.
|
total
|
349,25
|
Daging
didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang memakannya
(Soeparno, 2005). Garam merupakan bahan tambahan bukan daging yang penting pada
proses pembuatan sosis. Garam sebagai pemberi rasa, pengawet, melarutkan
protein dan menyelimuti lemak serta mengikat air sehingga akan terbentuk emulsi
yang stabil. Konsentrasi garam yang digunakan untuk sosis sebanyak 1,5 sampai
2% (Putri, 2009).
Minyak
berfungsi sebagai pemberi rasa lezat mempengaruhi keempukan dan juicnes daging
dari produk yang dihasilkan. Ketumbar sebagai pengawet pada sosis karena
memiliki sifat antioksidan dan antimikrobia. Bawang putih kualitas yang sama
dengan ketumbar. Bawang putih memiliki aktifitas antioksidan lebih tinggi
(Putri,2009).
Bawang
putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet bersifat bakteriostatik yang disebaban oleh adanya zat aditif
alicin yang sangat efektif terhadap bakteri selain itu bawang putih mengandung
scordinin yaitu senyawa aktif komplek thioglisisidin yang bersifat antioksidan
(Palungkun dan Budiarti, 1995).
Guka
sebagai bahan tambahan dalam industri sosis yaitu sukrosa dextrosa, laktosa dan
gula jagung. Fungsi utama gula dalam curing adalah untuk memofidikasi rasa
menurunkan kadar air yang berperan untuk
pertambahan mikroorganisme. Susu skim berperan sebagai bahan pengikat mengandung
protein kira-kira 35% sampai 80% kasein dan sisanya adalah B-Laktoglobulin dan
laktabumin. Mempunyai kemampuan megemulsikan lemak yang terbatas karena
kaseinya berkombinasi dengan sejumlah Ca sehingga tidak mudah larut air
(Soeparno,2005).
Tepung
tapioka merupakan bahan pengisi yang dapat mengikat air tetapi mempunyai
pengaruh kecil terhadap emulsifikasi Bahan pengisi biasanya yang ditambahkan
adalah tepung terigu, jagung, beras dan pati. Tepung pengisi mengandung lemak
dalam jumlah relatif tinggi dan protein dalam jumlah relatif rendah sehingga
mempunyai kapasistas mengikat air yang besar dan kemampuan mengemulsikan yang
rendah (Soeparno,2005).
Air
es merupakan salah satu bahan yang diperlukan pada pembuatan sosis. Jumlah air
yang digunakan adalah 20 sampai 30% buat dari berat daging dan umumnya air yang
ditambahkan dalam bentuk es. Penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk
dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian
massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging, membantu pembentukan emulsi
dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan
pembentukan adonan (Putri,2007).
Berdasarkan
praktikum pembuatan sosis telah dilakukan secara benar, bahan-bahan yang
ditambahkan telah sesuai dengan yang ditentukan. Adonan sosis kemudian
dimasukan kedalam chasing plastik menggunakan chopper kemudian direbus selama
30 menit kemudian diuji sensorik dan keempukan. Hasil uji tercantum pada tabel 6.2
dan 6.3.
No.
|
Parameter
|
Hasil praktikum
|
Kontrol
|
1.
|
Warna
|
Coklat
|
Merah
|
2.
|
Rasa
|
Gurih asin
|
Gurih
|
3.
|
Tekstur
|
Agak halus
|
Halus
|
4.
|
Keempukan
|
Empuk
|
Kenyal
|
5.
|
Daya terima
|
diterima
|
Diterima
|
Sosis
diuji organoleptik atau sensorik dibandingkan dengan sosis buatan pabrik.
Parameter yang diujikan antaralain warna, rasa, tekstur, temperatur, keempukan
dan daya terima. Warna hasil praktikum lebih coklat sedangkan kontrol berwarna
merah. Menurut Wahyuni (2012) sosis
yang beredar di pasaran mengandung berbagai zat tambahan yang berfungsi sebagai
pengawet dan pewarna. Eritrosin dan merah allura dengan kadar maksimal
masing-masing sebesar 300 mg/kg merupakan pewarna makanan yang diizinkan
penggunaannya, namun beresiko bagi kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka
waktu yang lama. Dibandingkan dengan hasilpraktium berwarna coklat karena tidak
ada pemberian at pewarna makanan, sehingga warna yang terbetuk adalah pengaruh
dari miofibril dan pigmen daging. Daging segar akan menunjukan warna cerah
dibandingkan warna daging yang tidak segar.
Rasa
sosis hasil praktikum berasa agak asin sedangkan kontrol berasa gurih. Menurut
Wahyuni (2012), Penambahan bumbu-bumbu serta tercampur dengan rata dan homogen
mempengaruhi rasa sosis. Penambahan bumbu dalam jumlah yang sama akan
menghasilkan rasa sosis yang relatif sama. Peanambahan garam berlebih dapat
menimbulkan rasa asin pada sosis. Rasa gurih dan manis dapat beraal dari gula
dan tepung tapioka yang ditambahkan.
Tekstur
sosis hasil praktikum agak halus dibanding kontrol yang sangat halus. Menurut Wahyuni
(2012), tekstur daging olahan sangat dipengaruhi oleh macam daging, metode
pengolahan, dan bahan-bahan yang ditambahkan. Metode pengolahan dan bahan-bahan
yang digunakan menentukan kualitas tekstur sosis. Sosis pabrik biasanya
digiling secara benar-benar halus dengan alat khusus. Penggilingan seara halu akan
amempengaruhi tekstur sosis. Dibandingkan dengan praktikum yang dilakukan
penggilingan adonan sosis tidak benar-benar halus oleh karena hasil yang
diperoleh berbeda.
Keempukan
pada hasil sosis secara organoleptik lebih empuk dibandingkan dengan kontrol
yang kenyal. Menurut Wahyuni (2012), komposisis bahan filler seperti tepung
tapioka dapat mempengaruhi tingkat keempukan atau kekenyalan sosis . Maksimal
penambahan bahan filler sebesar 30%. Peningkatan jumlah filler akan
meningkatkan kekenyalan. Selain itu juga jenis daging yang digunakan
mempengaruhi keempukan. Daging yang memiliki jaringan ikat tinggi berpengaruh
terhadap kekenyalan atau keempukan.
Kedua
sosis hasil praktikum dan kontrol memiliki daya terima yang sama yaitu dapat
diterima. Menurut Wahyuni (2012), daya terima berdasarkan preferensi kosumen
terhadap produk. Faktor daya terima dapat berasal dari rasa, aroma dan warna.
Kedua sosis hasil praktikum dapat diterima diliihat dari indikator yang sama.
Uji
nilai PH berdasarkan uji pH sosis dari kedua sosis masing-masing kelompok.
Sosis dipotong 10 gr kemudian dicincang halus dan dimasukan dalam gelas ukur
kemudian ditambah 10 ml aquades dan diukur menggunakan pH meter. Hasil
praktikum tercantum pada tabel 6.3.
Tabel 6.3 Uji pH Sosis
Parameter
|
Hasil praktikum (cm)
|
Rata-rata
|
||
|
I
|
II
|
III
|
|
Kelompok 23
|
6,2
|
6,4
|
6,4
|
6,3
|
Kelompok 24
|
6,5
|
6,3
|
6,4
|
6,4
|
Berdasarkan praktikum diketahui
bahwa pH sosis rata-rata 6,3 dan 6,4.
Menurut wahyuni (2012), pH sosis normal adalah 6,2 hingga 6,4. Hasil pengukuran
telah sesuai dengan literatur. pH dipengaruhi oleh jenis daging yang digunakan
serta lama penyimpanan produk. Selang waktu pemotongan ternak mempunyai pH
ultimat daging. Semakin lama daging digunakan setelah pemotongan maka
menurunkan pH. Perbedaan perlakuan, jenis bahan pengikat dan jumah lemak yang
ditambahkan mempengaruhi pH normal sosis.
Uji
keempukan sosis berdasarkan praktikum yang dilakukan sosis dipotong menjadi 3
bagian menggunakan alat penetrometer. Berdasarkan pengukuran diketahui
keempukan sosis masing-masing kelompok. Data pengukuran tercantum pada tabel 6.4.
Tabel 6.4 Uji keempukan
Sosis
Parameter
|
Hasil praktikum (cm)
|
Rata-rata
|
||
|
I
|
II
|
III
|
|
Kelompok 23
|
14,2
|
8
|
12
|
11,4
|
Kelompok 24
|
14
|
9,4
|
13,6
|
12,33
|
Menurut
Wahyuni (2012), keempukan sosis rata-rata 12 hingga 15. Dibandingkan dengan
literatur keempukan sosis krang dari normal untuk kelompok 23 dan kelompok 24.
Faktor keempukan daging dipengaruhi oleh struktur daging sosis yang digunakan dan
komponen air dalam sosis. Penambahan air menurut soeparno (2005) juga
meningkatkan keempukan.
Binder
atau bahan pengikat menurut putri (2012), Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi
sehingga dapat membantu meningkatkan emulsifikasi lemak, sedangkan bahan
pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat dan hanya sedikit mempengaruhi
emulsifikasi lemak. Salah satu bahan pengisi yang sering digunakan dalam
pengolahan daging adalah tepung tapioka. Tapioka merupakan sumber karbohidrat
yang cukup tinggi dengan kandungan karbohidrat 86,9 g dalam 100 g bahan.
Komposisi utama tapioka adalah kadar air 12,0% bahan basah, kadar protein 0,15%
bahan kering, lemak 0,3% bahan kering, dan abu 0,3% bahan kering.
Extender
dan filler. Bahan extenders merupakan bahan bukan daging yang digunakan dalam
pembuatan sosis. Bahan ini biasanya disebut
binder atau filler. Bahan-bahan extenders dimasukkan dalam formulasi sosis dengan tujuan
untuk memperbaiki stabilitas daging, memperbaiki kapasitas
mengikat air, meningkatkan
tekstur dan flavour, mengurangi pengkerutan selama pemasakan, memperbaiki karakteristik
potongan, mengurangi biaya formulasi. Binder yang digunakan
merupakan bahan selain daging, air, nitrit, garam dan bumbu-bumbu. Umumnya
digunakan dalam formulasi sosis dengan ciri mengandung protein tinggi berupa susu skim (Judge
et al., 1989) dalam (Putri,2009).
Prinsip
pembuatan sosis yaitu Secara
teknik, pembuatan sosis terdiri dari beberapa langkah, yaitu kominusi untuk
mengurangi ukuran lemak dan daging (pemotongan, penggilingan dan pencacahan),
pencampuran dengan bahan lain, pemasukan adonan kedalam selongsong, pengikatan
sosis hingga dicapai panjang yang diinginkan, dan terakhir adalah pengemasan.
Sosis yang baik memenuhi standar menurut uji organoleptik, uji fisik dan uji
daya terima. Sosis yang baik memeliki komposisi yang sama pada semua produk
serta memiliki ketahan preservasi tinggi (Putri,2012).
KESIMPULAN
Berdasarkan
praktikum diketahui bahan sosis terbuat dari daging sapi dan bahan tambahan seperti
garam, minyak, bawang putih ketumbah, gula susu skim, tepung tapioka dan air
es. Hasil uji sensoris sosis pada saat praktikum yaitu warna coklat, rasa gurih
asin, agak halus teksturnya, empuk dan dapat diterima. Uji pH sosis yaitu 6,3
dan 6,4 dalam kisaran normal. Uji keempukan sampel kelompok 23 dibawah kisaran
normal sosis dan kelompok 24 normal.
DAFTAR PUSTAKA
Palungkun dan A budhiarti. 1995. Bawang putih dataran rendah. P.T
Penerbit swadaya. Jakarta.
Penerbit swadaya. Jakarta.
Putri K.D, R. 2009. Karakteristik fisik , kimia dan organoleptip sosis sapi
dengan perendaman dalam subtrat anti mikrobia lactobacillus sp. pada penyimpanan suhu dingin istitut
pertanian bogor. Bogor
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi daging. Gadjahmada university
press.Yogyakarta.
press.Yogyakarta.
Wahyuni, D. Setiyono dan supadmo. 2012. Pengaruh penambahan
angkak dan Kombinasi filler tepung terigu dan tepung ketela rambat terhadap kualitas sosis sapi. Buletin Peternakan.
angkak dan Kombinasi filler tepung terigu dan tepung ketela rambat terhadap kualitas sosis sapi. Buletin Peternakan.
ACARA
VII
PENGEMASAN
TINJAUAN PUSTAKA
Pengemasan merupakan salah satu bagian yang
penting dalam keseluruhan proses pengolahan pangan ditingkat produksi. Tahapan
proses pengolahan pangan ditingkat industri biasanya diakhiri dengan proses
pengemasan. Pengemasan yang tidak baik akan merusak produk yang sudah
dihasilkan (Soeparno, 2005).
Menurut
Ali (2008), bahan kemasan yang kontak langsung dengan produk dapat
mengakibatkan kontaminasi terhadap produk. Kontaminasi dari bahan pengemas
dapat mengakibatkan bahan pangan yang ada dalam kemasan tidak aman dikonsumsi.
Penggunaan bahan pengemas perlu dipilih bahan yang baik
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pengemasan adalah mesin vacum pack
sebagai mesin pengemas.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pengemasan antara lain plastik polyethelen sebagai bungkus. Sosis dan bakso sebagai bahan yang dikemas.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pengemasan antara lain plastik polyethelen sebagai bungkus. Sosis dan bakso sebagai bahan yang dikemas.
Metode
Mesin
vacum pack disetting esuai kebutuhan produk yang akan dikemas. Produk yang akan
dikemas seperti sosis dan bakso dimasukan dalam plastik polyetyhelen. Kemasan
yang akan dipacking dimasukan kedalam mesin vacum pack. Mesin disetting pada
tekanan maksimum kemudian dipress hingga tekanan kembali normal dan dibuka.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
praktikum yang dilakukan diketahui bahwa pengemasan merupakan tahap akhir
proses pengolahan sebelum produk didistribusikan ke konsumen. Menurut Ali
(2008), pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan.
Memegang peranan penting dalam pengawetan bahan makanan maupun daging. Adanya
wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan bahan
pangan yang ada didalamnya. Pengemasan juga berfungsi untuk mempermudah bentuk
penyimpanan, distribusi dan pengangkutan.
Praktikum
pengemasan yang dilakukan merupakan metode pengemasan vakum pack tanpa udara.
Bahan berupa sosis dan bakso dimasukan dalam plastik poliethylen dan diproses
hingga udara dalam plastik keluar, kemudian plastik ditutup rapat. Menurut Ali
(2008) fungsi utama pengemasan adalah mengawetkan dan melindungi produk yang
dikemas. Pengemasan melindungi produk dari kerusakan fisik, kimia dan biologik.
Kontaminasi fisik, kimia dan biologik dapat diminimalkan dengan pengemasan yang
baik. Pengemasan melindungi produk dari lingkungan luar, uap air dan urdara umumnya
kontak langsung dengan bahan pangan dapat mengakibatkan kerusakan.
Bahan
pengemas yang digunakan merupakan plastik polyethylen bening dan tembus cahaya.
Menurut Ali (2008), bahan kemasan yang kontak langsung dengan produk dapat
mengakibatkan kontaminasi terhadap produk. Kontaminasi dari bahan pengemas
dapat mengakibatkan bahan pangan yang ada dalam kemasan tidak aman dikonsumsi.
Penggunaan bahan pengemas perlu dipilih bahan yang baik.
Jenis
plastik yang populer digunakan untuk pengemasan daging yaitu PE (Polyethylen) dan PPC (polyprophylen), karena keduanya selain
harganya murah, mudah ditemukan dipasaran, juga memiliki sifat umum hampir
sama. Plastik Pe tidak menunjukan perubahan pada suhu maksimum 93oC
sampai 121oC dan suhu minimum -46 oC. Namun memiliki
permeabilitas yang cukupp tinggi terhadap gas-gas organik sehingga masih dapat
teroksidasi apabila disimpan dalam janga waktu lama ( Yanti, dkk, 2008).
Jenis
jenis pengemasan menurut Maskumi (2008), pengemasan dengan cara “film tray
combination” merupakan cara pengemasan yang biasa digunakan disupermarket.
Daging dibungkus dengan alas steroform dan ditutup dengan plastik seal. Cara
lain pengemasan daging dengan metode vacum yaitu dengan menghilangkan udara
dalam kemasan sehingga daging menjadi tidak teroksidasi mengakibatkan warna
daging kurang menarik. Pengemasan oksigen controled system merupakan metode
pengemasan dengan membiarkan bungks dapat dimasuki udara namun sangat sedikit.
Plastik yang digunakan memiliki permeabilitas terhadap udara. Pertama produk
daging dimasukan dalam bungkus permeable
kemudian dibungkus kembali dengan bahan impermiable.
Dibandingkan
dengna literatur pengepakan pada saat praktikum merupakan metode vacum pack
dengan menghilangkan oksigen dalam bungkus. Hal tersebut karena produk yang
dipacking berupa bakso dan sosis yang tidak membutuhkan oksidasi oksigen.
Menurut Nurdjannah (2010), lama pengemasan vacum pack tidak menyebabkan
perubahan bobot susut yang signifikan dibandingkan kemasan non vacum. Hal
tersebut telah sesuai dengan praktikum yang dilakukan. Tujuan pengepakan bakso
dan sosis agar produk tetap sesuai benetuk rasa serta aroma.
Semakin
lama penyimpanan terjadi kerusakan struktur miofibril daging yang diakibatkan
karena evaporasi air sebanyak 1 sampai 3 % dapat meminimalisir pertumbuhan
mikroorganime. Pengemasan secara vacum dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme
dan menekan susut bobot daging. Cara pengemasan vacum tidak mempengaruhi pH
daging proses oksidasi terhambar karena tidak ada oksigen dalam ruang sehingga proses
penurunan pH daging. Proses oksidasi terhambat karena tidak ada oksigen dalam
ruang sehingga proses penurunan pH tidak terjadi (Nurdjannah, 2010).
Pengemasan
produk daging yang baik menurut nurdjannah (2010) adalah disesuaikan dengan
produk daging yang akan dikemas. Daging segar dapat menggunakan metode non
vacum karena dapat mempengaruhi warna daging. Pengemasan pada produk-produk
yang tidak membutuhkan perubahan warna dapat meningkatkan kualitas produk.
Pengemasan seara vacum memiliki keunggulan dibanding pengemasan non vacum
khususnya dalam mencegah pertumbuhan bakteri.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pengepakan bertujuan untuk memperpanjang umur produk.
Pengemasan juga mepreservasi produk daging dari pencemaran atau kontaminasi.
Pengepakan yang digunakan pada saat praktikum merupakan metode vacum pack
dengan menghilangkan udara didalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2013. Nutritional
composition of
red meat. http://ro.uow.edu.au
diakes pada senin 11 november 2013 pukul 23.22 WIB.
diakes pada senin 11 november 2013 pukul 23.22 WIB.
Lawrie,
R.A. 1995. Ilmu Daging. Edisi ke -5,
UI Press. Jakarta.
Muchtadi,
T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Tinggi
Direktorat Jenderal Tinggi
Nurwantoro, P. A. V.P.Bintoro,A
M.Legowo,A.Purnomoadi. 2012.
Pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik
daging. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Hal 54-58
Pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik
daging. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Hal 54-58
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Sugiyono. 1996. Ilmu
dan Pangan. Jurusan Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga FKPTK IKIP, Yogyakarta
Keluarga FKPTK IKIP, Yogyakarta
Sunarlim,R.,
S.Usmiati. 2009. Karakteristik daging kambing dengan
perendaman enzim papain. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veterine. Hal 499-506.
perendaman enzim papain. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veterine. Hal 499-506.
Post a Comment for "LAPORAN PRAKTIKUM ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING KOMPLIT PAKE TELOR"