Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING KOMPLIT PAKE TELOR

LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING





LOGO







Disusun oleh:
Janu Herjanto
12/331833/PT/06287
Kelompok : XXIV

Asisten :  Fitria Dwi Anggraini



LABORATORIUM PANGAN HASIL TERNAK
BAGIAN TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013


HALAMAN PENGESAHAN

            Laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging disusun guna memenuhi syarat yang diperlukan untuk mengikuti mata kuliah ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
            Laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging ini telah disetujui dan disahkan oleh asisten pendamping pada tanggal 12 desember 2013

                                                           
                                                                        Yogyakarta, 12 desember 2013
                                                                                    Asisten Pendamping


                                                                       
Fitria Dwi Anggraini


KATA PENGANTAR


            Puji syukur penyusun panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat dalam mengikuti responsi akhir dalam mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging yang diselenggarakan oleh Laboratorium Teknologi Hasil Ikutan dan Lingkungan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada tahun 2013. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1.    Prof. Dr. Ir. Tri Yuwanta, SU., DEA., selaku dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
2.    Dr. Ir. Setiyono, SU., Dr. Ir. Edi Suryanto, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Soeparno, Ir. Jamhari, M.Sc., Dr. Rusman, M. P., selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging.
3.    Segenap Asisten Laboratorium Teknologi Hasil Ikutan dan Lingkungan yang telah membimbing dan mengarahkan pelaksanaan praktiukm Ilmu dan Teknologi Daging.
4.    Semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikannya laporan ini.
            Penyusun menyadari bahwa isi laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Yogyakarta,    Desember 2013
Penyusun




PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Daging merupakan semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya. Kandungan nutrisi daging lengkap daintaranya adanya karbohidrat, protein, lemak, air, mineral. Sekarang ini konsumsi daging sudah meningkat, sehingga dalam mengontrol kualitas daging perlu diperhatikan serta pengolahannya perlu diperhatikan supaya kandungan nutrisi yang ada dalam daging tidak hilang.
            Kualitas daging ditentukan berdasarkan parameter-parameter tertentu yang dapat diuji secara nyata. Daging yang diolah dapat meningkatkan nilai ekonomis produk daging. Uji Kualitas perlu menggunakan alat yang membantu menguji kualitas daging tersebut, melalui praktikum ilmu dan teknologi daging. Diharapkan praktikan dapat menetahui kualitas daging serta produk olahan daging yang baik.

Tujuan Praktikum
            Tujuan dari praktikum Ilmu dan Teknologi daging adalah untuk mengetahui proses pemotongan ternak, membedakan berbagai macam daging, melakukan uji kualitas daging dan produk olahan daging, membuat produk olahan daging berupa bakso dan sosis, serta mengetahui pengemasan produk daging dan produk olahan daging.


ACARA I
RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

TINJAUAN PUSTAKA

            Proses pemotongan ternak menurut Soeparno (2005), dibagi menjadi 2 yaitu pemotongan secara langsung atau halal method dan pemotongan tidak langsung atau western method. Pemotongan secara langsung atau dikenal dengan halal method dilakukan apabila ternak telah dinyatakan sehat, kemudian disembellih pada bagian leher dengan memotong 3 saluran yaitu arteri carotis, vena jugularis, oesophagus dan tenggorokan. Pemotongan secara tidak langsung atau western method dilakukan setelah ternak dipingsankan terlebih dahulu sebelum ternak dipotong.



MATERI DAN METODE
Materi
            Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum pemotongan adalah lembar kerja, stopwatch dan alat tulis untuk mencatat hasil praktikum.

Metode
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah RPH Giwangan. Rumah potong hewan giwangan awalnya berada di Ngampilan. Sejak 3 mei 2008 pindah kegiwangan karena pemukiman semakin padat di Ngampilan. Rumah potong hewan giwangan memiliki beberapa ruangan antara ain ruang pengistirahatan, ruang pemotongan, ruang pelayuan, parting, kantor administrasi dan kantor utama. RPH giwangan juga memiliki tangki air untuk persediaan air selama proses pemotongan serta tempat pembuangan rumen dan pembuangan limbah.           
            Denah lokasi rumah potong hewan. Berdasarkan pengamatan pada saat praktikum denah lokasi rumah potong hewan. RPH terdiri dari beberapa ruangan dan bangunan lain yang memiliki fungsi masing-masing. Denah lokasi RPH giwangan pada gambar 1.1.
Gambar 1.1 Denah Lokasi RPH Giwangan
Syarat berdirinya rumah potong hewan yang baik. Berdirinya rumah potong hewan (RPH) harus memiliki persyaratan. Berdirinya RPH syaratnya antara lain syarat lokasi bangunan, peralatan, prasarana tambahan dan sumberdaya manusia. Lokasi RPH yang baik adalah jauh dari pemukiman dan dekat dengan jalan raya agar akses transportasi mudah. Menurut peraturan menteri menteri putaran republik Indonesia nomor 13/Permentan/05.140/1/2010. Tentang persyaratan RPH. Lokasi RPH harus sesuai dengan Lokasi RPH harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.        
            Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang antara lain tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan. letaknya lebih rendah dari pemukiman. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi. Tidak berada dekat industri logam dan kimia. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan tinggi minimal tiga meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong (Permetan, 2010).
            Dilihat dari lokasi RPH giwangan berada didaerah giwangan. Berdasarkan dengan pasar buah yang dukungan merupakan pasar hewan. Berdasarkan peraturan pemerintah lokasi RPH sebenarnya sudah cukup strategis yaitu dekat dengan jalan raya. Lokasi kurang strategis karena dekat dengan pasar dan jarak dengan perumahan relatif dekat. Menurut Mudhiarti (2006) Penyakit hewan yang dapat ditularkan pada manusia melalui makanan masih merupakan masalah yang besar di hampir semua negara termasuk negara maju yang dapat dikatakan telah mempunyai sistem jaminan keamanan pangan. Jarak RPH harusnya diatur sedemikian rupa agar tidak membahayakan manusia disekitarnya.           
            Persyaratan berdirinya RPH antara lain persyaratan sarana pendukung. Menurut peraturan pemerintah (2010), RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung meliputi akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair. Berdasarkan pengamatan RPH giwangan memenuhi persyaratan prasaran tambahan. Penggunaan sumber air di RPH berasal dari air tanah yang disedot menggunakan pompa air dan ditampung di tangki air.  
            Persyaratan tata letak desain dan Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi menurut Pemertan (2010), kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging. Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi bangunan utama, area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat
hewan, kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif, kandang isolasi, ruang pelayuan berpendingin (chilling room), area pemuatan (loading) karkas/daging, kantor administrasi dan kantor dokter wewan, kantin dan mushola, ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator, sarana penanganan limbah, rumah jaga. Berdasarkan pengamatan fasilitas di RPH giwangan telah memenuhi syarat kecuail ruang pelayuan dengna pendingin namun sedang dibangun.           
Persyaratan daerah kotor dan daerah bersih menurut Pemertan (2010), daerah kotor meliputi area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area pengeluaran darah, area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut), ruang untuk jeroan hijau, ruang untuk jeroan merah, ruang untuk kepala dan kaki, ruang untuk kulit; dan pengeluaran (loading) jeroan. Daerah bersih meliputi area untuk pemeriksaan post-mortem, penimbangan karkas, pengeluaran (loading) karkas/daging. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif dan mudah dibersihkan serta mudah dirawat. Seluruh peralatan yang digunakan untuk pemotongan tidak boleh terbuat dari bahan-bahan yang bersifat toksik. Dibandingkan dengan RPH giwangan telah memenuhi persyaratan. Berikut ini gambar denah lokasi RPH giwangan.           
            Proses pemotongan. Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui pemotongan yang dilakukan pada pagi hari. Proses pemotongan dilakukan secara langsung setelah ternak dinyatakan sehat. Disembeli pada bagian leher dengan memutus 4 saluran yaitu arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus dan tenggorokan, kemudian pemisahan kepala dan tubuh kemudian pengulitan dan pengeluaran isi perut dan pemotongan karkas dan penimbangan berat karkas kemudian diparting.
Hasil pengamatan proses pemotongan bangsa sapi simpo, jenis kelamin betina umur sapi 6th, berat hidup 264 kg. Lama pemotongan 2 menit 3 detik, lama pengulitan 8 menit 30 detik, lama pengeluaran jeroan 1 menit 45 detik, lama pembelahan karkas 1 menit 41 detik dan berat karkas 132kg. Bagian yang diparting meliputi dada, paha, kaki depan, kaki belakang,. Pemeriksaan Antemortem meliputi umur, jenis kelamin, bangsa sapi, berat hidup. Pemeriksaan Postmortem meliputi paru-paru, hati, ginjal, jantung, usus halus Tidak ada penyimpangan pada proses pemotongan. Tidak ada penyakit yang ditemukan.
Pengamatan pada pemeriksaan ternak tidak ada  penyakit yang ditemukan Menurut soeparno (2005), pada dasarnya teknik pemotongan ternak ada dua cara atau teknik pemotongan. Teknik pemotongan secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat maka ternak dapat langsung disembelih. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan pada ternak disembelih serta dilakukan pemingsanan. Berdasarkan literatur, pemotongan pada RPH giwangan dilakukan secara langsung. Berdasarkan literatur pemotongan pada RPH giwangan dilakukan secara langsung.
Maksud pemingsanan ternak adalah memudahkan pemotongan agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari perlakuan kasar, agar kualitas karkas dan kulit baik. Pengingsanan dapat dilakukan dengan beberapa cara saah satunya adalah menggunakan stunning gun, pembiusan dan menggunakan listrik (Blackely dan Bade, 1998).           
            Perlakuan ternak sebelum dipotong menurut Soeparno (2005), ada dua cara yaitu dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Pemuasaan yaitu agar memperoleh bobot tubuh kosong BTK, yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi isi saluran pencernaan, saluran kencing dan empedu, perlakuan dipuasakan bertujuan agar penyembelihan terutama pada ternak yang agresif atau liat. Berdasarkan praktikum diketahui bahwa ternak diistirahatkan ditempat sebelum penyembelihan.
            Sapi yang dipotong merupakan sapi simpo yaitu hasil persilangan antara simmental dan PO. Berjenis kelamin betina dengan umur 6 tahun. Berat hidup sapi 264 kg. Menurut Blakely dan Bade (1998), karkas yang diperoleh kira-kira sebesar 60% berat hidup seekor sapi. Pemotongan di RPH mendapatkan karkas sebesar 132 Kg atau sekitar 50% berat badan hidup. Menurut Soeparno (2005) faktor yang mempengaruhi komposisis karkas antaralain genetik, jenis kelamin, hormon, kastrasi, fisiologis, umur bentuk tubuh serta nutrient atau pakan.
            Proses pemotongan pada RPH dengan cara meggiring sapi menuju killing box kemudian kedua kaki diikat dan sapi dijatuhkan. Sapi direbahkan menghadap kilbat kepala berada di selatan dan ekor menghadap ke utara. Modin atau juru potong memotong pada 4 saluran yaitu arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus, dan kerongkongan. Pemotongan dilakukan setelah itu dilakukan uji reflek untuk mengetahui ternak sudah mati atau belum. Test reflek pada mata, kaki dan ekor (Blakely dan Bade 1998).
            Proses selanjutnya adalah pengulitan. Pengulitan dilakukan selama 8 menit 30 detik. Dilanjutkan proses pengeluaran jeroan selama 1 menit 20 detik, kemudian karkas dibelah dua. Saat pengeluaran jeroan dilihat bentukan pada organ-organ vital bagian dalam seperti jantung, hati, paru-paru, ginjal dan lain-lain. Pemeriksaan tersebut untuk mengetahui adanya penyakit pada ternak yang merupakan pemeriksaan antemortem dilakukan oleh dokter hewan.
            Penyakit umum pada ternak dan cara penangananya. Pemeriksaan yang dilakukan pada sapi terbagi menjadi 2 yaitu pemeriksaan antemortem dan postmortem. Menurut Moelyono (1996), pemeriksaan antemortem dengan mengamati sifat yang terlihat , selaput lendir, mata, hidung, kulit dan suhu badan. Saat pengamatan di RPH sapi dinyatakan sehat karena tidak ada tanda-tanda penyakit pada ternak. Menurut Soeparno (2005), pemeriksaan post mortem dilakukan dengan pemeriksaan karkas, limfa, kepala dan organ dalam lainya. Karkas yang dihasilkan ayak dikonsumsi karena tidak ditemukan penyimpangan seperti bekas memar. Organ dalam juga dalam keaan normal. Soeparno (2005) mengatakan bahwa maksud pemeriksaan post mortem untuk melindungi konsumen dari penyakit dan mencegah penularan penyakit. Sedangkan pemeriksaan antemortem untuk mengetahui ternak yang cidera sehingga harus dipotong dan melakukan penanganan yang tepat.
            Penyakit-penyakit pada ternak yang ditemui dan berbahaya antara lain menurut Murdhiati (2006), contohnya adalah penyakit antrak. Penyakit ini berbahaya karena parasitnya yang tidak mudah mati hingga 25 tahun. Apabila RPH memotong ternak yang terjangki antrak maka RPH tersebut harus ditutup. Secara umum yang sering ditemui di RPH adalah penyakit cacing hati atau bruceolisis. Ternak yang terkena bruceolisis apabila dipotong maka organ dalam seperti hati tidak boleh dimanfaatkan untuk dimakan.


KESIMPULAN

            Rumah ptotong hewan harus memiliki persyarat lokasi bangunan peralatan, prasaran tambahan dan sumber daya manusia. Rumah potong hewan giwangan telah memenuhi persyaratan tersebut. Proses pemotongan hewan dilakukan dengan metode halal yang dimulai dari proses peneyembelihan hingga pemotongan karkas yang membutuhkan waktu total 13 menit 58 detik. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu antemortem dan postmortem berguna untuk perlakuan pada ternak yang dipotong apabila terindikasi penyakit.


DAFTAR PUSTAKA

Blakely , J dan D.H Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University press. Yogyakarta.
Moelyono, H.J. 1996. Struktur dan Development Daging Ternak. Litbang. Yogyakarta.
Pemertan. 2010. Peraturan menteri pertanian Republik Indonesia no 13/Pemertan/01.140/1/2010. Jakarta.
Soeparno, R. A. 2005. Ilmu Daging Edisi ke-5. Penterjemah Amminudin Parrakasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Mudhiarti, T.B. dan I. Sendow. 2006. Zoonis yang ditularkan melalui pangan. Journal Agricultural.

ACARA II
PENGENALAN DAGING

MATERI DAN METODE
Materi
  Alat. yang digunakan yaitu diktat praktikum sebagai buku acuan, alat tulis untuk menulis dan lembar kuestioner untuk mengisi data hasil pengamatan.
           
Bahan. yang digunakan yaitu daging kuda,  daging babi, daging kambing, daging domba, daging sapi, daging kerbau.

Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging dari berbagi hewan ternak disiapkan. Karakteristik daging kemudian diamati dengan cara diambil satu per satu dan dirasakan. Karakteristik daging yang diamati meliputi warna daging, konsistensi, tekstur serat, bau dan aroma, warna lemak, serta jumlah marbling. Data hasil pengamatan kemudian .dimasukkan ke lembar kuestioner dan dibandingkan dengan literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Soeparno (1998) Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakanny. Berdasarkan hasil pengamatan berbagai macam jenis daging didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 2.1 Hasil pengamatan jenis-jenis daging
No
Macam Daging
Warna Daging
Tekstur Daging
Konsistensi
Jumlah Marbling
Warna Lemak
1
Kuda
Merah muda
Halus
Kenyal
-
-
2
Babi
Merah muda
Halus
Empuk
Banyak
Putih
3
Kambing
Merah tua
Halus
Kenyal
Sedikit
Putih
4
Domba
Merah muda
Halus
Kenyal
Sedikit
Putih
5
Sapi
Merah muda
Kasar
Keras
Banyak
Putih kekuningan
6
Kerbau
Merah tua
Kasar
Keras
Banyak
Putih
            Faktor yang mempengaruhi warna daging adalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress, pH dan oksigen. Daging babi mempunyai lemak intra-muskular yang banyak dan merata. Serat yang halus ini disebabkan karena babi merupakan jenis ternak non ruminansia yang mempunyai kandungan lemak yang banyak sehingga membuat struktur dagingnya halus (Sugiyono, 1996)        
            Secara umum komposisi daging terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut (Lawrie, 1991). Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi. Berdasarkan asalnya protein ada 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan ikat ( Muchtadi dan Sugiono, 1992 ). Berikut ini merupakan tabel komposisi kimia berbagai macam daging (Anonim,2013).
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Daging
No
Komposisi Kimia
Kuda
Babi
Kambing
Domba
Sapi
Kerbau
1
Kalori (kal)
118
457
164
206
207
84
2
Protein (g)
18,1
11,9
16,6
17,1
18,8
18,7
3
Lemak (g)
4,1
45
9,2
14,8
14
0,5
4
Air (g)
76
42
70,3
66
66
84
Daging Kuda. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging kuda yang diamati  berwarna merah muda, tekstur halus dan konsistensi dagingnya kenyal. Hal ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan tidak sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1992), daging kuda sering disebut sebagai daging merah. Pada daging kuda juga seratnya terlihat lebih besar, kuat dan kasar jika dibandingkan dengan daging yang lainnya. Menurut Lawrie (1995), pada urat daging terdapat aktivitas enzim sitokrom oksidase yang mengikat, sehingga jelas akan memperlihatkan kekuatan.
Daging Babi. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging babi yang diamati  berwarna merah muda, tekstur halus empuk dan mempunyai jumlah marbling banyak. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan sudah sesuai dengan literatur. Menurut Sugiyono (1996), daging babi mempunyai warna merah muda (pucat), hal ini dipengaruhi oleh lemak yang tebal dan jenis pakan yang mempengaruhi warna dan aroma daging, Sugiyono (1996) menegaskan bahwa daging babi ini punya lemak intramuskular yang banyak dan merata dengan serat yang halus hal ini disebabkan karena babi merupakan jenis ternak non ruminansia yang mempengaruhi kandungan lemak  yang banyak sehingga membuat strutur dagingnya halus. Lawrie (1995) menambahkan bahwa rendahnya kadar mioglobin pada urat daging babi menyebabkan warna pucat pada daging tersebut.
Prekursor flavor daging spesies babi adalah substansi nonprotein yang larut dalam air. Prekursor flavor daging babi terdiri dari dua subfraksi, yaitu fraksi yang mengandung asam amino, dan fraksi yang mengandung gula pereduksi. Pemanasan masing-masing subfraksi tidak menghasilkan flavor yang spesifik daging, tetapi pemanasan kombinasi kedua subfraksi dapat menghasilkan aroma daging (Soeparno, 1992)
Daging babi  mempunyai aroma yang identik dengan daging sapi dan domba. Fraksi volatil daging dari spesies babi adalah sagat serupa dengan fraksi volatil pada  sapi dan domba. Penyimpangan aroma atau bau spesifik daging babi jantan yang disebut bau boar, terutama disebabkan oleh senyawa yang terdapat didalam lemak yang tidak tersabun yang telah diidentifikasi sebagai 5α-androst-16 ene-3-one (Soeparno, 1992).
Daging Kambing. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging kambing yang diamati  berwarna merah muda, tekstur halus kenyal dan tetapi jumlah marbling sedikit. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan sudah mendekati normal. Menurut Soeparno (1992), warna daging kambing hampir sama dengan daging sapi, tetapi mempunyai tingkat kemerahan yang lebih pekat. Warna ini ditentukan oleh kandungan otot merah penyusun daging..  
Prekursor flavor daging spesies kambing dan babi adalah substansi non protein yang larut dalam air. Prekursor flavor daging kambing dan babi terdiri dari fraksi yang mengandung asam amino, dan fraksi yang mengandung gula pereduksi. Pemanasan masing-masing subfraksi tidak menghasilkan flavor yang spesifik daging. Daging kambing mempunyai aroma yang identik dengan daging sapi dan babi (Soeparno, 1992).
Daging Domba. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging domba yang diamati  berwarna merah tua, tekstur halus kenyal dan jumlah marbling sedikit. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1992), warna daging domba hampir sama dengan daging sapi akan tetapi mempunyai tingkat kemerahan yang lebih pekat. Warna ini ditentukan oleh kandungan otot merah penyusun daging. Flavor dan aroma daging domba spesifik keras, yang dapat berasal dari fraksi polar senyawa karbonil bebas dari lemak dan mempunyai hubungan dengan komposisi dan tipe serabut (Soeparno, 1992).
Daging Sapi. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, daging kuda yang diamati  berwarna merah muda, tekstur kasar keras dan jumlah marbling banyak. Hasil ini menunjukkan bahwa data hasil pengamatan sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1998) Daging sapi mempunyai warna merah. Jumlah mioglobin pada veal sekitar 1 sampai 3 mg setiap gram ototnya, 4 sampai 10 mg untuk setiap gram beef  dan 16-20 mg untuk setiap gram beef  yang lebih tua. Otot merah mengandung serabut merah. Dari segi tenderness (keempukan), daging sapi kurang empuk jika dibandingkan dengan keempukan daging domba atau babi. Hal ini disebabkan karena daging sapi mempunyai perototan yang lebih besar dan struktur yang lebih kasar. Veal mempunyai flavor yang lebih ringan daripada beef. Flavor dan aroma daging sapi yang dimasak hampir sama atau identik dengan daging domba atau babi.
Daging sapi menunjukkan bau yang khas yaitu sehingga dapat dibedakan dengan ternak lain. Struktur serat pada pengamaan daging sapi ini terlihat jelas dan besar dengan lemak intra maskuler yang tersebar tidak merata. Daging sapi yang mengandung banyak lemak memberikan kehalusan yang baik pada serat daging menyebabakan mudah dipotong (Sugiyono, 1996).
Daging yang berkualitas mempunyai tingkat awet yang lebih lama. Daging-daging yang dicuring akan lebih awet dibandingkan dengan daging tanpa pengolahan. Karena proses curing ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (1995) yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Salah satu sifat fisik daging yang bisa dimati dan dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan kualitas daging adalah kelembaban. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik (Margono, 1993). Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik ketika pemeliharaan ataupun ketika pengolahan. Faktor yang dapat mempengaruhi penampilan daging selama proses sebelum pemotongan adalah perlakuan transportasi dan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak yang pada akhirnya akan menentukan kualitas daging yang dihasilkan (T. Suryati, 2006).
KESIMPULAN

Berdasarkan  praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perbedaan karakteristik daging dapat dilihat dengan cara mengamati tekstur daging, warna, rasa dan aroma. Daging kambing paling mudah dibedakan karena baunya yang khas, daging babi yang ngandung banyak lemak mudah diidentifikasi teksturnya yang halus, sedangkan pada sapi kerbau dan kuda dapat diketahui dengan melihat warna dan konsistensi dagingnya seratnya, pada kuda warnanya yang paling gelap dan serat yang padat panjang, sedangkan pada kerbau dan sapi seratnya lebih sedikit, tetapi pada kerbau lebih kasar. Semua daging yang diamati dalam kondisi yang baik dan dalam kisaran normal.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Nutritional composition of red meat.  http://ro.uow.edu.au diakes pada senin 11 november 2013 pukul 23.22 WIB.
Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Edisi ke -5, UI Press. Jakarta.
Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi
Nurwantoro, P. A. V.P.Bintoro,A M.Legowo,A.Purnomoadi. 2012.
Pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik daging. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Hal 54-58
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat.Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Sugiyono. 1996.  Ilmu dan Pangan.  Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga FKPTK IKIP, Yogyakarta
Sunarlim,R., S.Usmiati. 2009. Karakteristik daging kambing dengan perendaman enzim papain. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterine. Hal 499-506.



ACARA III
UJI KUALITAS DAGING
­­­
TINJAUAN PUSTAKA
Daging segar merupakan daging yang baru dipotong, belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan untuk waktu yang lama. Daging segar cenderung memeiliki kualitas kandungan nutrisi dan penampakan lebih baik. Hal ini terjadi karena daging belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan lama. Indikator yang dapat dijadikan kualitas daging ini adalah kekenyalan, warna daging, bau dan tekstur. Selain itu, daging segar tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa kebasahannya (Soeparno, 2005).
MATERI DAN METODE
Materi
Uji Warna
            Alat. alat yang digunakan dalam praktikum uji warna adalah meat clor fan dan alat tulis.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum uji warna adalah daging sapid an kertas kerja.
Uji nilai pH
            Alat. alat yang digunakan dalam uji nilai pH adalah pH meter merek hanna, beaker glass 50 ml, dan pengaduk kaca.
            Bahan. Bahan yang diigunakan dalam uji nilai pH adalah daging sapi dan larutan buffer pH 7.0.
Uji susut masak
            Alat. alat yang digunakan dalam uji susut masak adalah timbangan triple beam, dan kompor. 
Bahan. Bahan yang digunakan dalam uji susut masak adalah daging sapi seberat 25,2 dan 24,7 gram serta plastic polyetilen.
Uji daya ikat air
            Alat. alat yang digunakan dalam uji daya ikat air adalah timbangan analitik, kertas saring, plastic mika, dan kertas millimeter blok serta spidol permanen dan barbel 35 kg, stopwatch dan plat kaca.
            Bahan yang digunakan dalam uji daya ikat air adalah daging sapi.
Uji keempukan
            Alat. alat yang digunakan dalam uji keempukan adalah pisau, jangka sorong, dan alat uji keempukan Warner-bratzler.
            Bahan. Bahan yang digunakan dalam uji keempukan adalah daging sapi masak hasil uji susut masak.

Metode
            Uji Warna. Warna dari daging dicocokkan dengan meat colour fan, lalu ditulis skalanya.
            Uji Nilai pH. Daging seberat 10 gram dicacah, ditambah 10 ml aquades, diaduk homogen. Diukur dengan pH meter, dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-rata.
            Uji Daya Ikat Air. Daging seberat 0,3 gram diletakkan diantara dua plat kaca, dialasi dengan kertas saring, diberi beban 35 kg selama 5 menit. Area basah yang terbentuk dihitung (luas area basah). Untuk sampel kadar air total digunakan 1 gram daging sebagai berat awal, dioven selama semalam. Berat akhir ditimbang.
Kadar Air Total. Sampel dioven selama 105oC (8-24 jam) dan ditimbang berat akhir.
Uji Keempukan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong searah serat dan dengan ukuran tabal 0,67  cm dan tabal 1,5 cm. Sampel diletakkan pada alat warner–bratzler shear force. Pengujian dilakukan ditiga bagian kemudian hasilnya dirata-rata.

HASIL DAN PEMBAHASAN
            Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui bahwa parameter spesifik yang menentukan kualitas daging meliputi warna daging, pH daging, daya ikat air (DIA), susut masak, dan keempukan.
            Warna Daging.  Berdasarkan pengamatan didapatkan uji warna daging dibandingkan dengan meat collor fan.
Tabel 2.1 Hasil Uji Warna
No
Sampel
Skor Warna
1
Kelompok 30
8
            Pengukuran warna daging menggunakan indikator meat color standart, dalam setiap warna yang ada dalam meat color standart mempunyai skala tertentu warna. Berdasarkan pengukuran didapat skor warna daging yaitu 8 dengan warna merah gelap. Warna daging diatas kisaran normal. Nilai Warna daging normal antara 4 hingga 7. Penilaian warna daging dilakukan dengan melihat warna permukaan otot dengan bantuan cahaya senter dan mencocokanya dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasakran skor standar warna yang paling sesuai dengan warna daging. Standar warna daging terdiri atas sembilan skor mulai dari warna merah muda hingga merah tua (BSN, 2008). Menurut Soeparno (2005) Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi warna tristimulus. Warna daging sapi yang baru biasanya berwarna ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) jika daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna ungu menjadi terang tersebut bersifat reversibel (dapat balik). Daging yang terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi coklat. Faktor-faktor yang menjadi penentu utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, pH dan oksigen.        
            Menurut Lawrie (2003) warna daging
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi  pigmen daging mioglobin. Tipe molekul moiglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyau peranan besar dalam menentukan warna daging.
Perbedaan warna permukaan daging, disebabkan oleh status kimia molekul  mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar yang diinginkan oleh konsumen adalah merah terang oksimioglobin. Bentuk daging sapi yang baik adalah berwarna merah terang, mengkilap tidak pucat dan tidak kotor. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan daging segar. Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang mengeluarkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna coklat (Soeparno, 2005).      
            Nilai pH Daging. Berdarkan uji pH didapatkan data uji pH daging. Daging seberat 2gr ditambah 10 ml aquades kemudian di ukur menggunakan pH meter digital. Hasil uji sebagai berikut.
Tabel 5.4 hasil Uji pH daging
No.
Sampel
pH
I
II
III
Rata-rata
1.
Kelompok 30
6
6,2
6,3
6,8
2.
Kelompok 29
6,3
6,3
6
9,66
Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui rata-rata daging yang diukur kelompok pertama yaitu 6,8 dan kelompok kedua 6,3. Berdasarkan literatur pH daging dalam kisaran normal, pH daging dalam kisaran normal daging segar. Diketahui bahwa ph daging dalam kondisi normal pH daging  segar menurut Soeparno (2005) pH otot saat penyembelihan adalah 7,0 pH akan mengalami penurunan karena terbentuknya asam laktat, sehingga pH pada daging akan menjadi lebih rendah. Kondisi normal pH akhir daging  pH ultimat normal daging diukur 24 jam dari waktu penyembelihan adalah sekitar 5,4 sampai 5,8 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging.      
           
Menurut Lawrie  (2003), pH sesaat setelah dipotong berkisar antara 6,5 sampai 7,0 dan mencapai penurunan terendah sampai pada 5,5 sampai 5,6. Hal tersebut disebabkan karena glikogen sebagai sumber energi otot akan mengalami  proses glikolisis setelah hewan dipotong dan secara enzimatis akan menghasilkan asam laktat sehingga pH daging menurun

 Uji susut masak daging. Berdasarkan praktikum diketahui daging dimasukan kedalam plastik kemudian di vacum pack. Daging kemudian dimasak pada air mendidih selama 30 menit. Uji susut masak ditulis dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 5.4 Uji susut masak daging
No.
Sampel
Berat awal
Berat akhir
Susut masak (%)
1.
Kelompok 30
25,2
16,3
35,31
2.
Kelompok 29
25,1
16,4
38,64
Uji susut masak pada daging pertama berat awal 25,2 gram berat akhir 16.3 gram dengan susut masak sebesar 35,31%. Daging kedua sebesar 25,1 gram berat akhir 15,4 dengan susut masak 38,64%. Diketahui bahwa daging dalam kondisi susu masak daging dalam kisaran normal. Menurut Soeparno (2005), pada umumnya susut masak daging bervariasi antara 1,5% sampai 54,5% dengan kisaran 15% sampai 49%. Susut masak daging merupakan indikasi dari sifat fisik miofbril dan jaringan dengan bertambahnya umur ternak terutama peningkatan panjang sarkomer. Menurut Lawrie (2003) nilai susut masak daging yang normal adalah 1,5 sampai 54,5%.  Menurut Soeparno (2003) Penggunaan pemanas menyebabkan semakin berubah struktur dan komposisi protein, lemak dan air dalam daging karena banyak cairan daging yang hilang. daging dalam jumlah susut masak rendah mempunyai kualitas yang lebih baik karena kehilangan nutrisi saat pemasakan akan lebih sedikit.
            Menurut Lawrie (2003)
Pemasakan akan mendegradasi jaringan ikat yang meliputi aktomiosin, elastin dan kolagen karena proses pemasakan membuat tenunan pengikat lebih empuk dengan mengubah kolagen menjadi gelatin. bahwa pemasakan menyebabkan koagulasi pada permukaan daging, pencairan lemak dan hidrolisis jaringan ikat. Menurut Soeparno (2005), Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang melintang daging.    
Daya Ikat Air. Berdasarkan praktikum daging diukur kadar air bebas dan kadar air total untuk mendapatkan %DIA. Hasil pengujian tercantum pada tabel.
Tabel 5.4 Uji daya ikat air daging
No.
Sampel
Kadar Air Bebas
Kadar Air Total

Luas area Basah
mgH2O
KAB
Berat sebelum di oven
Berat setelah  di oven
KAT
%DIA
1.
Kelompok 30
13
129,13
43,04
1
0,7
30%
-13,04










Praktikum yang dilakukan dieketahui luas area basah 13, mgH2O 129,13 dan KAB 43,04. Kadar air total 30% dan DIA – 13,04.  Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk megikat air  atau air yang ditambahkan selama pengaruk kekuatan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, atau pengepresan (Soeparno, 2005). Komposisi kimia daging terdiri dari kadar air, protein dan kadar karbohidrat serta mineral yang ditentukan untuk nutrisi dan umur ternak saat ternak masih hidup. Kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan air dalam daging. Air merupakan medium biologis termasuk sebagai medium untuk mentransformasikan substrat otot . Daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas (Soeparno, 2005)    .
           
Menurut Soeparno (2005), daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas. Protein salah satu fungsinya mengikat air, jika protein mengalami denaturasi akibat pemanasan atau pemasakan maka kekuatan untuk mengikat air akan semakin rendah sehigga daya ikat air daging tersebut juga akan menurun. Daya ikat air diantara otot berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor perbedaan daya ikat air diantara otot dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur dan fungsi otot. 
           
Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan dan drip pada daging  mentah beku yang di-thawing atau kerut pada daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging. DIA dipengaruhi  oleh pH. DIA menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan mifilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk  molekul-molekul air. Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, DIA meningkat (Soeparno,2005).

Keempukan Daging

            Pengujian bertujuan untuk mengetahui tingkat keemopukan daging setelah melalui proses pemasakan. Pada uji ini digunakan dua sampel daging sapi untuk perbandingan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong searah serat dan dengan  ukuran tebal 0,67 cm dan lebar 1,5 cm. Setelah itu diuji dengan alat Warner-Bratzler shear force (penguji keempukan daging), uji ini diulang sampai tiga kali dan hasilnya dirata-rata jadi jika potongan daging agak pendek disiapkan 3 potongan daging tetapi jika cukup panjang disiapkan satu potong daging sesuai dengan ukuran yang ditentukan. Saat meletakkan pada alat uji keempukan dipastikan bahwa posisi alat uji tegak lurus dengan arah serat daging agar hasil yang didapat tepat. Berdasarkan sampel kelompok pertama rata-rata keempukan daging 4,13 kelompok kedua keempukan rata-rata 3,15. Derajat keempukan daging dipengaruhi oleh tiga kategori protein urat daging yaitu tenunan pengikat (kolagen dan elastin), myofibril (aktin dan myosin) dan sarkoplasma (protein sarkoplasma dan sarkoplasmik reticulum) (Lawrie, 2003). Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak. Berdasarkan kemudahan untuk dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat dilakukan secara obyektif dan subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian secara fisik dan kimia, sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test (Soeparno, 2005).
           
Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan jus daging (juiciness). Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu ternak yang tua akan  cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda. Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut kolagen
            Menurut Soeparno (2005), Uji kualitas daging penting diketahui untuk menentukan kondisi daging dalam kondisi prima atau tida. Mengetahui kuliatas daging maka perlu adanya uji kualitas daging dalam praktikum pengolahan daging. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging diantaranya faktor antemortem yaitu jenis kelamin, genetik, umur, pakan, bahan aditif, sedangkan faktor postmortem yaitu warna daging, daya ikat air, pH daging, susut masak, keempukan dan tekstur daging, flavor dan aroma. Daging yang baik memiliki nilai uji kualitas fisik dalam kisaran normal.


                                                 KESIMPULAN
            Berdasarkan pengukuran didapat skor warna daging yaitu 8 dengan warna merah gelap. Faktor-faktor yang menjadi penentu utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, pH dan oksigen. Diketahui bahwa ph daging dalam kondisi normal daging yang masih segar. Susut masak daging dalam kisaran normal


DAFTAR PUSTAKA

BSN. 2008. Mutu karkas dan daging sapi SNI 3932. Badan Standardisasi
            Nasional. Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University
           
Press, Yogyakarta.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. UI Press. Jakarta


ACARA VI
PEMBUATAN DENDENG

TINJAUAN PUSTAKA
            Dendeng merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki cita rasa yang khas, yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan bau khas pada produk akhir. (Purnomo, 1996) ditinjau dari cara pembuatanya, dendeng dikelompokan menjadi dendeng iris (slicer) dan giling. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng alah daging, gula merah (30%), garam (5%), ketumbar (2%),  bawang putih (2%), sendawa (0,2%), lengkuas (1%), dan jinten (1%) (Hadiwiyoto, 1994).

MATERI DAN METODE
Materi
            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan untuk menimbang daging dan bumbu, penggiling bumbu untuk menggiling bumbu, grinder untuk menggiling daging, baskom sebagai tempat adonan daging dan bumbu yang sudah halus, aluminium kompor untuk memasak dendeng yang sudah siap masak.
            Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging sapi, gula, garam, bubuk ketumbar, asam jawa, bawang putih, jahe atau   lengkuas.
Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu daging dibersihkan dari jaringan ikat dan lemak. Daging sapi yang sudah halus ditimbang sebanyak 125 gram dan dimasukkan ke dalam baskom. Bumbu-bumbu ditimbang sesuai resep, yaitu lengkuas 1%, garam 2%, bawang putih 1%, gula merah 25%, asam jawa 1% dan ketumbar 5%. Semua bumbu yang sudah halus dicampurkan ke dalam baskom lalu diaduk selama kurang lebih 10 menit sampai adonan benar-benar rata. Adonan yang sudah tercampur rata kemudiaan diletakkan diatas kertas aluminium foil kemudian ditipiskan di atas loyang sampai kurang lebih tebalnya 3 mm. adonan yang sudah ditipiskan dijmur di bawah sinar matahari slama 7 jam/hari selama 3 hari. Pngeringan juga dapat mnggunakan oven, setelah kering dendeng dapat diolah lebih lanjut dan dikemas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, komposisi bahan yang digunakan terdapat sedikit perbedaan dengan literatur. Komposisi yang digunakan pada saat praktikum tidak menggunakan jinten dan sendawa, selain itu persentase komposisi bahan yang digunakan juga terdapat sedikit perbedaan, tetapi semua itu bersifat fleksibel, dapat disesuaikan menurut keinginan konsumen. Menurut Winarno ( 2004) Daging yang sudah dijadikan dendeng akan lebih tahan lama. Produk jenis ini membutuhkan bahan tambahan dalam proses pembuatannya. Bumbu yang ditambahkan pada daging olahan tersebut berperan sebagai penambah cita rasa, pengawetan, pewarna dan anti oksidan
            Fungsi penambahan bahan-bahan (bumbu) secara keseluruhan yaitu untuk cita rasa, aroma dan warna, slain itu bumbu juga digunakan sebagai pengawet. Menurut Soeparno (1994), penambahan garam berfungsi sebagai pengawet karena dalam jumlah yang cukup, garam dapat menyebabkan autolysis dan pembusukan serta plasmolisis pada mikroba. Garam meresap kedalam jaringan daging sampai tercepai keseimbangan tekanan osmosis antara bagian dalam dan luar daging, selain sebagai penghambat bakteri, garam juga dapat merangsang cita dan penambahan rasa enak pada produk. Menurut Aberle et al. (2001) garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk. Menurut Potter (1996) Garam juga bersifat bakteriostatik dan bakteriosidal, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroba pembusuk lainnya Garam mampu memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein miofibriler dari serabut daging selama proses penggilingan dan pelunakan daging.
            Pembuatan dendeng menggunakan bahan-bahan diantaranya gula merah dan asam jawa. Penambahan gula pada dendeng berfungsi untuk melunakkan melalui jalan mencegah penguapan air dan tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 1994). Penambahan gula merah pada dendeng berfungsi memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi dan kapang akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula, yang disebut osmosis dan menyebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno, 2004).
Bawang putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif alicin yang sangat efektif terhadap bakteri, selain itu bawang putih mengandung scordinin, yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Ketumbar adalah rempah-rempah kering berbentuk bualat dan berwaarna kuning kecoklatan, memiliki rasa gurih dan manis, berbau harum, dan dapat membangkitkan kesan sedap di mulut (Farrell, 1990). Lengkuas memiliki dua warna, yaitu putih dan merah, dan dua ukuran, yaitu kecil dan besar. Lengkuas mengandung beberapa minyak atsiri, diantaranya kamfer, galang, galangol, philandren, dan mungkin juga curcumin. Minyak atsiri tersebut menghasilkan aroma yang khas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
            Teknik pengeringan dendeng akan menentukan lama pengeringan dan biaya produksi . Suatu penelitian yang mengamati cara pengeringan dendeng yakni antara yang dikeringkan dengan sinar matahari dan dioven dengan suhu 60°C tidak mendapatkan pengaruh yang nyata terhadap mutu gizi clan preferensi dendeng (Triyantini, 2012).
Menurut Prayitno et al. (2012) Cara pengeringan dengan sinar matahari. Keuntunganya adalah murah, bersih dan sederhana tetapi kerugianya yaitu sangat tergantung pada cuaca. Pengeringan dapat dilakukan dengan oven pengering pada suhu dan waktu pengeringanya dapat diatur serta kontaminasi oleh bakteri dapat dicegah namun hal ini menambah biaya produksi. Pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu kurang lebih 22 jam sehingga dibutuhkan waktu 2 sampai 3 hari untuk mendapatkan dendeng kering. Pengeringan dengan sinar matahari yang mendekati itu adalah jika menggunakan oven pengerin pada suhu 50oC.  Proses ini memerlukan waktu kurang lebih 15 jam.
            Kadar air yang dikurangi pada bahan pangan mengakibatkan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan tetapi vitamin–vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang .Proses pembuatan dendeng dan penambahan bumbu-bumbu menimbulkan reaksi maillard. Reaksi Maillard terjadi antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi (gugus keton atau aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara gugus aldehid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein ini membentuk glukosilamin. Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino, faktor yang memengaruhi reaksi Maillard, adalah suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH, dan tipe gula. Berkaitan dengan suhu, reaksi ini berlangsung cepat pada suhu 100oC namun tidak terjadi pada suhu 150oC. Kadar air 10 sampai 15% adalah kadar air terbaik untuk reaksi Maillard, sedangkan reaksi lambat pada kadar air yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pada pH rendah, gugus amino yang terprotonasi lebih banyak sehingga tidak tersedia untuk berlangsungnya reaksi ini. Umumnya molekul gula yang lebih kecil bereaksi lebih cepat dibanding molekul gula yang lebih besar. Dalam hal ini, konfigurasi stereokimia juga memengaruh, misalnya pada sesama molekul heksosa, galaktosa lebih reaktif dibanding yang lain (Winarno,2004)
            Parameter uji sensoris yang dilakukan antara lain warna, rasa, tekstur, keempukan dan daya terima. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan hasil uji sensoris sudah mendekati kontrol. Kontrol yang digunakan merupakan dendeng pabrikan yang dijual dipasaran. Warna dendeng sama dengan kontrol hasil pembuatan yaitu coklat tua. Rasa dendeng juga telah sama yaitu manis gurih. Tekstur dendeng hasil praktikum kasar sedangkan dendeng kontrol halus. Keempukan dendeng lunak sedangkan kontrol keras. Daya terima dendeng diterima. Perbedaan dendeng dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain proses pembuatan, lama dan metode pengeringan serta proses penggorengan(Triyantini, 2012). Menurut Soputan (2004) dikutip dari Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) bahwa komposisi dendeng sapi  dalam 100 gram dendeng. Kalori 443 kkal,Protein 55 g, lemak 9 gr. Karbohidrat 10,5 g, kalsium 30 mg, Fosfor 370 g, besi 5,1 mg, Air 25 g.
           
Warna adalah salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk yang dihasilkan. semakin lama penyimpanan maka warna dendeng giling daging sapi akan semakin coklat kehitaman. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari proses curing atau pengolahan selama pencampuran bahan terhadap pembuatan dendeng giling daging sapi sehingga semakin lama penyimpanan maka warna pada dendeng akan semakin mengalami pencoklatan dan warna menjadi gelap. Warna gelap yang terjadi pada dendeng diakibatkan oleh adanya reaksi antara gula terhadap panas pada saat dilakukan penggorengan (Soputan, 2004) .         
 
          
Keempukan dan tekstur merupakan faktor utama dalam penilaian daging yang mempengaruhi selera konsumen. Semakin mudah daging tersebut dikunyah dan jumlah residu yang tertinggal semakin sedikit sisa daging  selama pengunyahan berarti daging semakin empuk. dendeng giling  dengan lama penyimpanan mempengaruhi keempukan dendeng giling dan sifat keempukan saat penetrasi pada gigi yang mudah dikunyah. Hal ini disebabkan karena semakin lama penyimpanan dendeng giling akan semakin empuk karena selama penyimpanan dendeng mengalami perubahan-perubahan secara fisik yang dapat mengempukkan daging serta karena adanya pencampuran bahan lain yang dapat membuat dendeng semakin empuk (Soeaparno, 1994)     .
            Rasa
adalah sensasi yang kompleks, melibatkan bau dan rasa/taste, tekstur, suhu dan pH dari semua ini, bau adalah yang paling penting. Menurut Soeparno (1994) bahwa flavor dan aroma daging adalah sensasi yang kompleks dan saling terkait. Flavor melibatkan bau, rasa, tekstur, temperatur, dan pH. Sensasi rasa yang dominan adalah pahit, manis asin, dan asam. Perubahan peningkatan nilai rata-rata flavor (cita rasa) organoleptik selama penyimpanan daging kering dapat terjadi karena adanya reaksi Maillard yaitu gugus karbonil dari gula reduksi bereaksi dengan gugus amino dari protein daging dan asam-asam amino secara non enzimatik.  
            Daya terima atau kesukaan
Kesukaan  tergolong dalam kenikmatan yang diperoleh saat mencicipi produk olahan dendeng giling tersebut. Penilaian kesukaan dilakukan untuk melihat respon panelis terhadap produk yang dihasilkan (Soeparno, 1994). Faktor lain yang mempengaruhi hasil pembuatan dendeng adalah bahan pembuatan dendeng. Dendeng daging sapi yang bermutu baik, harus menggunakan bahan yang bermutu. Daging sapi yang digunakan harus berkualitas baik dan segar. Pemilihan bahan tambahan dan bumbu juga dapat mempengaruhirasa dendeng. Jika daging sapi yang digunakan kurang atau tidak segar maka akandapat mempengaruhi hasil dari dendeng, selain itu juga dendeng memiliki rasadan aroma yang tidak sedap. Demikian pula jika bahan yang digunakan berkualitas baik,rasa, aroma, dan warna akan baik. Jika kualitas bumbu kurang atau tidak baik, misalnya bawang putih agak busuk dapat berpengaruh terhadap rasadan aroma (Soputan, 2004)


KESIMPULAN

Berdasarkan  praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dendeng merupakan produk olahan daging secara tradisional yang merupakan kombinasi kyuring dan pengeringan. Bahan dasar yang digunakan yaitu daging sapi segar, garam, lengkuas, bawang putih, gula merah, asam jawa dan ketumbar. Persentase komposisi bahan yang digunakan dapat menyesuaikan sesuai keinginan konsumen/standar dari pabrik. Semua bahan dicampur dan digiling tipis kemudian dikeringkan, dendeng siap digoreng dan disajikan. Dendeng yang dibuat memiliki warna coklat tua, rasa manis gurih, tekstur kasar, lunak dan dapat diterima. Hasil pembuatan sudah mendekati kontrol.


DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel.
            2001.Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing,

           
Iowa.
Farrel, K.T. 1990. Spices, Condiments and Seasoning 2nd Ed. Van Nostrad
           
Reinhold, New York
Hadiwiyoto, S. 1994. Studi Pengolahan Dendeng dengan Oven Pengering
           
Rumah Tangga. Buletin Peternakan. 18:119-126
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono, 1994. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
           
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Purnomo, H. 1996. Dasar-dasar Pengolahan da Pengawetan Daging. PT
           
Grasindo, Jakarta
Potter, N. 1996, Food Science. Published by Van Nostrand Reinhold Co,
           
New    York.
Prayitno,A.H., D.P.A. Saputra, A. Kurniati, H.Widyastuti, R. R.
            Utami,Soeparno dan Rusman. 2012. Pengaruh metode pembuatan
            pengeringan yang berbeda terhadap  karakteristik Fisik ,kimia dan
            sensoris dendeng daging kelinci.Buletin Peternakan. Hal 113-121
Palungkun , R. dan A. Budhiarti. 1995. Bawabg Putih Dataran Randah.
           
P.T.Penebar Swadaya, Jakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Tknologi Daging. Gadjah Mada University
           
Press, Yogyakarta.
Soputan, J. EM. 2004. Dendeng Sapi Sebagai Alternatif Pengawetan
           
Daging. Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah
           
Pascasarjana. IPB .Bogor
Winarno F G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.



ACARA V
PEMBUATAN BAKSO

TINJAUAN PUSTAKA
            Proses pembuatan bakso dalam prosesnya dilakukan pemisahan daging dari jaringan ikat, tujuanya adalah untuk mengurangi kandungan lemak agar saat mengalami proses penghancurkan daging tidak menjadi lembek atau berair. Penggilingan bertujuan agar serabut daging pecah sehingga proteim dapat keluar dan bergabung dengan air garam untuk menghasikan emulsi yang sempurna. Penambahan garam dimaksudkan untuk memberikan tambahan rasa atau flavour (Soeparno, 2005).
            Menurut Berutu (2009) jenis otot daging yang digunakan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap warna bakso. Hal ini disebabkan karena konsentrasi mioglobin dan hemoglobin yang merupakan penentu utama warna daging. Mioglobin berbeda diantara otot merah dan otot putih, umur, spesies, bangsa dan lokasi otot. Oksidasi dan polimerasi lemak dan protein ikut memberikan andil pada warna daging masak. Warna yang merata pada produk menandai baik tidaknya pengolahan.
MATERI DAN METODE
Materi
            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan bakso antara lain timbangan digital untuk menimbang, meat grinder untuk menghaluskan adonan, panci untuk merebus dan kompor untuk memasak dan baskom untuk wadah adonan.
            Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging 250 g, garam 10 gr, merica 10 gr, bawang putih 3 gr, bawang merah goreng 10, misonyal 0,75 gr, tepung tapioka 62,5 gr, air es 37,5 gr.

Metode
            Pembuatan Bakso. Sebanyak 250 gr daging sapi giling ditambah garam 10 gr, merica 10 gr, bawang putih 3 gr, bawang merah goreng 10, misonyal 0,75 gr, tepung tapioka 62,5 gr, air es 37,5 gr dalam mesin pencampur hingga homogen. Adonan dibentuk bulat dan dimasukkan dalam air yang mendidih sampai mengapung.
Uji Sensoris. Produk bakso diuji sensoris sesuai dengan kriteria yang ada yaitu warna, rasa, tekstur, daya terima kemudian dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
            Uji Nilai pH. Daging seberat 10 gram dicacah, ditambah 10 ml aquades, diaduk homogen. Diukur dengan pH meter, dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-rata.
            Uji Keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan alat Penetrometer merek K.I.C dengan beban seberat 10 g. Sampel diletakkan dibawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dikalikan dengan 1/10 mm.     


HASIL DAN PEMBAHASAN

            Pembuatan Bakso. Bakso adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain, serta bahan tambahan makanan yang diijinkan (Untoro, 2012). Secara umum bakso tersusun atas tiga komponen utama yaitu daging, bahan pengisi (filler), dan bumbu-bumbu serta beberapa bahan tambahan yang berfungsi sebagai bahan pengikat (Soeparno, 2005)
Berdasarkan praktikum yang dilakukan bakso dibuat menggunakan bahan daging sapi giling segar yang telah halus kemudian ditambahkan bahan-bahan tambahan dan tepung tapioka kemudian dicampur rata dan dibentuk bulat-bulat. Bakso dimasak pada air hingga mendidih kemudian didinginkan. Komposisi bahan yang digunakan tercantum pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Bahan-bahan Pembuatan Bakso
       No.
Bahan
Berat (g)
1.     
Daging sapi
250
2.     
Garam
10
3.     
Merica
3
4.     
Bawang putih
3
5.     
Bawang merah goring
10
6.     
Misonyal
0,75
7.     
Tepung tapioca
62,5
8.     
Air es
37,5
9.     
Total
376,75
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk olahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan dan tidamenimbulkan gangguan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Sebenarnya semua jenis daging dapat Air merupakan komponen yang tersebar dalam bakso. Sebenarnya untuk membuat bakso  semua jenis daging dari bahan karkas dapat digunakan untuk membuat bakso, namun karena perbedaan kandungan lemak dan jaringan ikat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan (Sudrajat,2007).
Garam dapur atau NaCl mempunyai fungsi untuk meningkatkan cita rasa produk bakso, sebagai pelarut protein yaitu miosin sehingga menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan untuk meningkatkan daya mengikat air (Sudrajat,2007).
Merica sebagai bahan tambahan penyedap cita rasa menjadikan cita rasa bakso khas karena adanya merica. Merica dapat memberikan efek pedas dan hanga sehingga produk bakso juga semakin enak (Untoro, 2012). Bawang putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif alicin yang sangat efektif terhadap bakteri, selain itu bawang putih mengandung scordinin, yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995).
            Tepung tapioka. Tepung tapioka merupakan bahan pengisi pada bakso. tujuan penambahan bahan pengikat dan bahanpengisi dalam suatu adonan adalah untuk meningkatkan daya mengikat air, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi juga dapat memperbaiki stabilitas emulsi produk daging. Penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso berdasarkan SNI 01- 3818-1995 maksimum 50% dari berat daging. Peningkatan penggunaan bahan pengisi menyebabkan peningkatan kekerasan bakso (Sudrajat, 2010).
            Misonyal, merupakan bahan pengikat. Menurut sudrajat (2010) Bahan pengikat merupakan bahan bukan daging yang mempunyai kemampuan mengikat air dan sekaligus mengemulsikan lemak. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak.
Penambahan air biasanya dalam bentuk es batu yang berfungsi untuk menstabilkan suhu selama proses chopping dan membantu proses pembentukan emulsi. Penambahan es batu juga bertujuan agar tidak terjadi denaturasi protein dan menyebabkan kejutan temperatur yang berakibat kontraksi mendadak dari serabut otot daging sehingga terjadi kekenyalan khusus (Sudrajat, 2012)
            Berdasarkan praktikum pembuatan bakso telah dilakukan secara benar menurut literatur. Bakso dimasak dengan api kecil pada air panas selama 30 menit hingga air mendidih. Pemasakan pada api kecil dan lama dapat meningkatkan kualitas bakso karena seluruh bagian bakso dapat panas matang merata ( Sudrajat,2007).
            Uji Sensoris. Berdasrarkan praktikum yang dilakukan bakso yang telah matang dilakukan uji sensoris. Pengujian sensoris berdasarkan warna, rasa, tekstur, keempukan dan daya terima. Hasil praktikum dibandingkan dengan kontrol yang merupakan baksol hasil pabrik. Didapatkan hasil pada 5.2.
    No.
Parameter
Hasil praktikum
Kontrol
1.     
Warna
Abu-abu gelap
Abu-abu cerah
2.     
Rasa
Gurih Agak asin
Gurih
3.     
Tekstur
Kasar
Halus
4.     
Keempukan
Empuk
kenyal
5.     
Daya terima
Diterima
diterima
            Berdasarkan hasil uji organoleptik bakso dengan parameter warna adalah abu-abu dan variabel kontrol adalah abu-abu cerah. Bakso hasil praktikum rasanya gurih sedikit asin sedangkan kontrol gurih. Tekstur hasil praktikum kasar sedangkan kontrol halus. Keempukan hasil praktikum empuk sedangkan kontrol kenyal. Daya terima hasil praktikum diterima, kontrol juga diterima.
            Perbedaan warna bakso hasil uji berbeda dengan kontrol. Warna lebih gelap. Faktor yang mempengaruhi adalah daging yang digunakan. Menurut Berutu (2009) jenis otot daging yang digunakan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap warna bakso. Hal ini disebabkan karena konsentrasi mioglobin dan hemoglobin yang merupakan penentu utama warna daging. Mioglobin berbeda diantara otot merah dan otot putih, umur, spesies, bangsa dan lokasi otot. Oksidasi dan polimerasi lemak dan protein ikut memberikan andil pada warna daging masak. Warna yang merata pada produk menandai baik tidaknya pengolahan.
            Rasa yang diperoleh terhadap kontrol lebih asin. Menurut Berutu (2010), disebabkan karena bumbu-bumbu yang digunakan selama prosesing yaitu garam dan bawang putih. Disampung itu air dan lemak merupakan penenetu kesukaan akan bakso, bila air dan lemak meningkat maka keempuka dan jusnya akan meningkat pula.
Tektur hasil praktikum kasar sedangkan kontrol halus. Menurut Berutu (2010), jenis otot mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap tekstur bakso. Tekstur yang kasar karena jaringan ikat yang terdapat pada daging. Tekstur bakso juga dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas daging yang digunakan, metode pengolahan dan bahan-bahan yang ditambahkan. Kandungan lemak, stabilitas emulsi dan kandungan binder akan berpengaruh terhadap tekstru bakso. Adonan stabil emulsinya biasanya akan menghasilan testur yang baik setelah dimasak, tetapi bila emlusinya tidak stabil maka sering dijumpai rongga. Pengolahan yang baik dan pemberian bahan tambahan seperti garam,filler dan binder akan memperbaiki tekstur bakso. 
Keempukan  pada hasil praktikum empuk sedangkan kontrol kenyal. Menurut Berutu (2010), Jenis otot daging mempengaruhi keempukan bakso. Hal ini  menunjukan bahwa keempukan daging juga bergantung pada konsentrasi struktur miofibrol sehingga keempoukan dapat berbeda diantara otot, erat daging, lemak daging dan kandungan kolagen berpengaruh terhadap kekenyalan. Apabila terlalu banyak ikatan silang antar protein maka akan semakin kompak dan mennyebabkan bakso akan semakin kenyal. Penambahan bahwa pengisi juga mempengaruhi tingkat kekenyalan karena berfungsi mengikat air, memperbaiki tekstru dan elastisitas produk karena kandungan amilosa dan amilo pektin.
Derajat keasaman (pH). Sampel seberat 10 g dicincang halus kemudian dicampur dengan 10 ml aquades. Sebelum pengukuran, elektroda pH meter dicuci dengan aquades, pH sampel diukur pada pH netral (7,0), kemudian elektroda pH meter dicuci kembali dengan aquades yang akan digunakan untuk pengukuran pH bakso.Uji pH        Bakso yang telah tertulis pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Uji pH Bakso
No.
Sampel

pH
I
II
III
Rata-rata
1.
Kelompok 23
6,5
6,7
6,6
6,6
2
Kelompok 24
6,3
6,4
6,3
6,31







            Menurut Berutu (2010) pH normal bakso antara 6,01 hingga 6,7. Faktor yang mempengaruhi pH bakso adalah jenis daging yang digunakan. Menurut Soeparno (2005) menyatakan, faktor ekstrinstik seperti temperatur, kelembaban dan stres, serta faktor intrinstik seperti spesies, bangsa, jenis kelamin, individu ternak, macam otot daging, aktivitas otot, dan aktivitas enzim-enzim glikolisis dapat mem-pengaruhi pH otot postmortem.
            Keempukan (tenderness). Berdasarkan  praktikum uji keempukan mengguna-kan alat penetrometer. Pengukuran keempukan dilakukan dengan meletak-kan sampel bakso dibawah jarum penetrometer, kemudian dilakukan pengukuran pada tiga tempat yang berbeda. Besarnya pergerakan pemberat ma-suk dalam sampel dapat dilihat pada pergeseran skala. Hasil pengukuran di rerata (satuan 1/10 mm) dan dibagi nilai keempukan. Hasil uji keempukan tercantum pada tabel 3.
Tabel 5.4 Uji keempukan
No.
Sampel
Keempukan
I
II
III
Rata-rata
1.
Kelompok 23
6
11.1
7,6
8,23
2.
Kelompok 24
9,5
12
7,5
9,66
Pada uji kualitas fisik bakso, bakso diuji dengan parameter keempukan dari 3 sisi bakso  rata-rata 8,23. Sementara variabel kontrol memiliki keempukan rata-rata 9,2 mm. Menurut Berutu (2010) kempukan daging rata-rata normal 12 hingga 14. Keempukan daging hasil uji kedua kelompok dibawah rata-rata. Menurut Soeparno (2005) keempukan suatu bakso sangat dipengaruhi oleh struktur daging bakso yang digunakan dan komponen air dalam bakso.  Penambahan air ini juga berfungsi untuk meningkatkan keempukan, jus daging dan menggantikan pengganti air yang hilang pada saat prosesing.





Kesimpulan
Bakso hasil praktikum dibuat dari bahan daging dan bumbu-bumbu tambahan seperti garam, merica, bawang putih , bawang merah goreng, misonyal, tepung tapioka dan air es. Hasil uji organoleptik bakso berwarna gelap, rasa gurih asin, tekstur kasar, keempukan empu dan memiliki daya terima. Keempukan daging dibawah rata-rata normal yaitu 8,23 dan 9,6, ph bakso dalam kisaran normal. Faktor yang mepengaruhi kualitas bakso adalah daging yang digunakan, bahan-bahan tambahan dan proses pengolahan.


DAFTAR PUSTAKA

Berutu, K.M., E. Suryanto dan R. Utomo. 2010. Kualitas bakso daging sapi peranakan ongole yang diberi pakan tongkol jadung dan undergrade protein dalam complete feed. Buletin Peternakan
Palungkun, R dan A . Budhiarti. 1995. Bawang putih dataran rendah. P.T. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soeparno, R. A. 2005. Ilmu Daging Edisi ke-5. Penterjemah Amminudin Parrakasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Sudrajat, G. 2007. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging sapi dan
            kerbau dengan penamabahan keranggenan dan khitosan. Institut
            pertanian bogor.
Untoro, N. S. Kusrahayu dan B.E Setiani. 2012. Kadar air,  kekenyalan,
            kadar lemak, dan citarasa bakso aing sapi dengan penambahan
            ikan bandeng presto.( Channor channos forsk ). Animal Agricultural
            journal.


ACARA VI
PEMBUATAN SOSIS

TINJAUAN PUSTAKA
              Prinsip pembuatan sosis yaitu Secara teknik, pembuatan sosis terdiri dari beberapa langkah, yaitu kominusi untuk mengurangi ukuran lemak dan daging (pemotongan, penggilingan dan pencacahan), pencampuran dengan bahan lain, pemasukan adonan kedalam selongsong, pengikatan sosis hingga dicapai panjang yang diinginkan, dan terakhir adalah pengemasan. Sosis yang baik memenuhi standar menurut uji organoleptik, uji fisik dan uji daya terima. Sosis yang baik memeliki komposisi yang sama pada semua produk serta memiliki ketahan preservasi tinggi (Putri,2012).         
              Menurut Wahyuni (2012), tekstur daging olahan sangat dipengaruhi oleh macam daging, metode pengolahan, dan bahan-bahan yang ditambahkan. Metode pengolahan dan bahan-bahan yang digunakan menentukan kualitas tekstur sosis. Sosis pabrik biasanya digiling secara benar-benar halus dengan alat khusus. Penggilingan seara halu akan amempengaruhi tekstur sosis Dibandingkan dengan praktikum yang dilakukan penggilingan adonan sosis tidak benar-benar halus oleh karena hasil yang diperoleh berbeda

MATERI DAN METODE
Materi
              Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pembuatan sosis antara lain timbangan digital untuk menimbang daging dan bahan lain, mesin pencampur untuk menghomogenkan adonan, baskom sebagai wadah pembuatan adonan, chopper sebagai alat untuk memasukan bahan kedalam chasing plastik, kompor untuk memanaskan, panci sebagai wadah memasak, dan gunting untuk memotong chasing plastik.
              Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pembuatan sosis antara lain daging sapi giling 250 g, garam 5,5 gr, minyak 0,5 sdm, bawang putih 1,5 gr, ketumbar 1,5 gr, gula 5 gr, susu skim 8,25 gr, tepung tapiola 40 gr, air es 37,5
Metode
              Pembuatan Sosis. Sebanyak 250 gr daging sapi giling dimasukan dalam baskom ditambah garam 5,5 gr, minyak 0,5 sdm, bawang putih 1,5 gr, ketumbar 1,5 gr, gula 5 gr, susu skim 8,25 gr, tepung tapiola 40 gr, air es 37,5. Semua bahan dimasukan dalam mesin pencampur setelah itu tercampur rata adonan dimasukan kedalam chopping (peremasan). Pembentukan sosis dilakukan dengan cara stuffing kedalam chasing plastik. Sosis yang telah terbentuk dalam chasing plastik direbus selama 30 menit, lalu didinginkan kemudian ditiriskan dan diuji.
Uji Sensoris. Produk sosis diuji sensoris sesuai dengan kriteria yang ada yaitu warna, rasa, tekstur, daya terima kemudian dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
              Uji Nilai pH. Daging sosis seberat 10 gram dicacah, ditambah 10 ml aquades, diaduk homogen. Diukur dengan pH meter, dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-rata.
              Uji Keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan alat Penetro meter merek K.I.C dengan beban seberat 10 g. Sampel diletakkan dibawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dikalikan dengan 1/10 mm.     



HASIL DAN PEMBAHASAN

              Sosis adalah tipe produk sapi kominusi yang unik dan biasanya diberi tambahan bumbu atau rempah untuk menambahkan intesitas rasa dan profilnya. Sosis daging didefinisikan sebagai makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu atau bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan kedalam selubung sosis (SNI 01-3820-1995). Selain itu, sosis juga didefenisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging giling dan diberi bumbu serta dibungkus dengan casing sehingga berbentuk silinder yang simetris (Putri, 2009).
              Berdasarkan praktikum yang dilakukan bahan-bahan sosis berupa daging dan bahan baku lain dicampur dan masukan dalam chasing plastik menggunakan chopper. Bahan-bahan yang digunakan tercantum pada tabel 6.1.
   No.
Bahan
Berat (g)
1.     
Dagin sapi
250
2.     
Garam
5,5
3.     
minyak
0,5
4.     
Bawang putih
1,5
5.     
Ketumbar
1,5
6.     
Gula
5
7.     
Susu skim
8,25
8.     
Tepung tapioka
40
9.     
Air es
37,5
10.  
total
349,25
              Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Garam merupakan bahan tambahan bukan daging yang penting pada proses pembuatan sosis. Garam sebagai pemberi rasa, pengawet, melarutkan protein dan menyelimuti lemak serta mengikat air sehingga akan terbentuk emulsi yang stabil. Konsentrasi garam yang digunakan untuk sosis sebanyak 1,5 sampai 2% (Putri, 2009).
              Minyak berfungsi sebagai pemberi rasa lezat mempengaruhi keempukan dan juicnes daging dari produk yang dihasilkan. Ketumbar sebagai pengawet pada sosis karena memiliki sifat antioksidan dan antimikrobia. Bawang putih kualitas yang sama dengan ketumbar. Bawang putih memiliki aktifitas antioksidan lebih tinggi (Putri,2009).
              Bawang putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet bersifat bakteriostatik yang disebaban oleh adanya zat aditif alicin yang sangat efektif terhadap bakteri selain itu bawang putih mengandung scordinin yaitu senyawa aktif komplek thioglisisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budiarti, 1995).
              Guka sebagai bahan tambahan dalam industri sosis yaitu sukrosa dextrosa, laktosa dan gula jagung. Fungsi utama gula dalam curing adalah untuk memofidikasi rasa menurunkan kadar air  yang berperan untuk pertambahan mikroorganisme. Susu skim berperan sebagai bahan pengikat mengandung protein kira-kira 35% sampai 80% kasein dan sisanya adalah B-Laktoglobulin dan laktabumin. Mempunyai kemampuan megemulsikan lemak yang terbatas karena kaseinya berkombinasi dengan sejumlah Ca sehingga tidak mudah larut air (Soeparno,2005).
              Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang dapat mengikat air tetapi mempunyai pengaruh kecil terhadap emulsifikasi Bahan pengisi biasanya yang ditambahkan adalah tepung terigu, jagung, beras dan pati. Tepung pengisi mengandung lemak dalam jumlah relatif tinggi dan protein dalam jumlah relatif rendah sehingga mempunyai kapasistas mengikat air yang besar dan kemampuan mengemulsikan yang rendah (Soeparno,2005).
              Air es merupakan salah satu bahan yang diperlukan pada pembuatan sosis. Jumlah air yang digunakan adalah 20 sampai 30% buat dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es. Penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan pembentukan adonan (Putri,2007).
              Berdasarkan praktikum pembuatan sosis telah dilakukan secara benar, bahan-bahan yang ditambahkan telah sesuai dengan yang ditentukan. Adonan sosis kemudian dimasukan kedalam chasing plastik menggunakan chopper kemudian direbus selama 30 menit kemudian diuji sensorik dan keempukan. Hasil uji tercantum pada tabel 6.2 dan 6.3.
No.
Parameter
Hasil praktikum
Kontrol
1.     
Warna
Coklat
Merah
2.     
Rasa
Gurih asin
Gurih
3.     
Tekstur
Agak halus
Halus
4.     
Keempukan
Empuk
Kenyal
5.     
Daya terima
diterima
Diterima
              Sosis diuji organoleptik atau sensorik dibandingkan dengan sosis buatan pabrik. Parameter yang diujikan antaralain warna, rasa, tekstur, temperatur, keempukan dan daya terima. Warna hasil praktikum lebih coklat sedangkan kontrol berwarna merah. Menurut Wahyuni (2012) sosis yang beredar di pasaran mengandung berbagai zat tambahan yang berfungsi sebagai pengawet dan pewarna. Eritrosin dan merah allura dengan kadar maksimal masing-masing sebesar 300 mg/kg merupakan pewarna makanan yang diizinkan penggunaannya, namun beresiko bagi kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Dibandingkan dengan hasilpraktium berwarna coklat karena tidak ada pemberian at pewarna makanan, sehingga warna yang terbetuk adalah pengaruh dari miofibril dan pigmen daging. Daging segar akan menunjukan warna cerah dibandingkan warna daging yang tidak segar.
              Rasa sosis hasil praktikum berasa agak asin sedangkan kontrol berasa gurih. Menurut Wahyuni (2012), Penambahan bumbu-bumbu serta tercampur dengan rata dan homogen mempengaruhi rasa sosis. Penambahan bumbu dalam jumlah yang sama akan menghasilkan rasa sosis yang relatif sama. Peanambahan garam berlebih dapat menimbulkan rasa asin pada sosis. Rasa gurih dan manis dapat beraal dari gula dan tepung tapioka yang ditambahkan.
              Tekstur sosis hasil praktikum agak halus dibanding kontrol yang sangat halus. Menurut Wahyuni (2012), tekstur daging olahan sangat dipengaruhi oleh macam daging, metode pengolahan, dan bahan-bahan yang ditambahkan. Metode pengolahan dan bahan-bahan yang digunakan menentukan kualitas tekstur sosis. Sosis pabrik biasanya digiling secara benar-benar halus dengan alat khusus. Penggilingan seara halu akan amempengaruhi tekstur sosis. Dibandingkan dengan praktikum yang dilakukan penggilingan adonan sosis tidak benar-benar halus oleh karena hasil yang diperoleh berbeda.
              Keempukan pada hasil sosis secara organoleptik lebih empuk dibandingkan dengan kontrol yang kenyal. Menurut Wahyuni (2012), komposisis bahan filler seperti tepung tapioka dapat mempengaruhi tingkat keempukan atau kekenyalan sosis . Maksimal penambahan bahan filler sebesar 30%. Peningkatan jumlah filler akan meningkatkan kekenyalan. Selain itu juga jenis daging yang digunakan mempengaruhi keempukan. Daging yang memiliki jaringan ikat tinggi berpengaruh terhadap kekenyalan atau keempukan.
              Kedua sosis hasil praktikum dan kontrol memiliki daya terima yang sama yaitu dapat diterima. Menurut Wahyuni (2012), daya terima berdasarkan preferensi kosumen terhadap produk. Faktor daya terima dapat berasal dari rasa, aroma dan warna. Kedua sosis hasil praktikum dapat diterima diliihat dari indikator yang sama.
              Uji nilai PH berdasarkan uji pH sosis dari kedua sosis masing-masing kelompok. Sosis dipotong 10 gr kemudian dicincang halus dan dimasukan dalam gelas ukur kemudian ditambah 10 ml aquades dan diukur menggunakan pH meter. Hasil praktikum tercantum pada tabel 6.3.


Tabel 6.3 Uji pH Sosis
Parameter
Hasil praktikum (cm)
Rata-rata

I
II
III

Kelompok 23
6,2
6,4
6,4
6,3
Kelompok 24
6,5
6,3
6,4
6,4
              Berdasarkan praktikum diketahui bahwa pH sosis rata-rata 6,3 dan 6,4. Menurut wahyuni (2012), pH sosis normal adalah 6,2 hingga 6,4. Hasil pengukuran telah sesuai dengan literatur. pH dipengaruhi oleh jenis daging yang digunakan serta lama penyimpanan produk. Selang waktu pemotongan ternak mempunyai pH ultimat daging. Semakin lama daging digunakan setelah pemotongan maka menurunkan pH. Perbedaan perlakuan, jenis bahan pengikat dan jumah lemak yang ditambahkan mempengaruhi pH normal sosis.
              Uji keempukan sosis berdasarkan praktikum yang dilakukan sosis dipotong menjadi 3 bagian menggunakan alat penetrometer. Berdasarkan pengukuran diketahui keempukan sosis masing-masing kelompok. Data pengukuran tercantum pada tabel 6.4.
Tabel 6.4 Uji keempukan Sosis
Parameter
Hasil praktikum (cm)
Rata-rata

I
II
III

Kelompok 23
14,2
8
12
11,4
Kelompok 24
14
9,4
13,6
12,33
              Menurut Wahyuni (2012), keempukan sosis rata-rata 12 hingga 15. Dibandingkan dengan literatur keempukan sosis krang dari normal untuk kelompok 23 dan kelompok 24. Faktor keempukan daging dipengaruhi oleh struktur daging sosis yang digunakan dan komponen air dalam sosis. Penambahan air menurut soeparno (2005) juga meningkatkan keempukan.
              Binder atau bahan pengikat menurut putri (2012), Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan emulsifikasi lemak, sedangkan bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat dan hanya sedikit mempengaruhi emulsifikasi lemak. Salah satu bahan pengisi yang sering digunakan dalam pengolahan daging adalah tepung tapioka. Tapioka merupakan sumber karbohidrat yang cukup tinggi dengan kandungan karbohidrat 86,9 g dalam 100 g bahan. Komposisi utama tapioka adalah kadar air 12,0% bahan basah, kadar protein 0,15% bahan kering, lemak 0,3% bahan kering, dan abu 0,3% bahan kering.
Extender dan filler. Bahan extenders merupakan bahan bukan daging yang digunakan dalam pembuatan sosis. Bahan ini biasanya disebut  binder atau filler. Bahan-bahan extenders  dimasukkan dalam formulasi sosis dengan tujuan untuk memperbaiki stabilitas daging, memperbaiki kapasitas mengikat air, meningkatkan tekstur dan flavour, mengurangi pengkerutan selama pemasakan, memperbaiki karakteristik potongan, mengurangi biaya formulasi. Binder yang digunakan merupakan bahan selain daging, air, nitrit, garam dan bumbu-bumbu. Umumnya digunakan dalam formulasi sosis dengan ciri mengandung protein tinggi berupa susu skim (Judge et al., 1989) dalam (Putri,2009).
              Prinsip pembuatan sosis yaitu Secara teknik, pembuatan sosis terdiri dari beberapa langkah, yaitu kominusi untuk mengurangi ukuran lemak dan daging (pemotongan, penggilingan dan pencacahan), pencampuran dengan bahan lain, pemasukan adonan kedalam selongsong, pengikatan sosis hingga dicapai panjang yang diinginkan, dan terakhir adalah pengemasan. Sosis yang baik memenuhi standar menurut uji organoleptik, uji fisik dan uji daya terima. Sosis yang baik memeliki komposisi yang sama pada semua produk serta memiliki ketahan preservasi tinggi (Putri,2012).



KESIMPULAN

              Berdasarkan praktikum diketahui bahan sosis terbuat dari daging sapi dan bahan tambahan seperti garam, minyak, bawang putih ketumbah, gula susu skim, tepung tapioka dan air es. Hasil uji sensoris sosis pada saat praktikum yaitu warna coklat, rasa gurih asin, agak halus teksturnya, empuk dan dapat diterima. Uji pH sosis yaitu 6,3 dan 6,4 dalam kisaran normal. Uji keempukan sampel kelompok 23 dibawah kisaran normal sosis dan kelompok 24 normal.


DAFTAR PUSTAKA

Palungkun dan A budhiarti. 1995. Bawang putih dataran rendah. P.T
              Penerbit  swadaya. Jakarta.
Putri K.D, R. 2009. Karakteristik fisik , kimia dan organoleptip sosis sapi      dengan           perendaman dalam subtrat anti mikrobia lactobacillus sp.      pada penyimpanan suhu dingin istitut pertanian bogor. Bogor
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi daging. Gadjahmada university
              press.Yogyakarta.
Wahyuni, D. Setiyono dan supadmo. 2012. Pengaruh penambahan
              angkak dan Kombinasi filler tepung terigu dan tepung ketela           rambat terhadap kualitas sosis sapi. Buletin Peternakan.


ACARA VII
PENGEMASAN

TINJAUAN PUSTAKA
            Pengemasan merupakan salah satu bagian yang penting dalam keseluruhan proses pengolahan pangan ditingkat produksi. Tahapan proses pengolahan pangan ditingkat industri biasanya diakhiri dengan proses pengemasan. Pengemasan yang tidak baik akan merusak produk yang sudah dihasilkan (Soeparno, 2005).
            Menurut Ali (2008), bahan kemasan yang kontak langsung dengan produk dapat mengakibatkan kontaminasi terhadap produk. Kontaminasi dari bahan pengemas dapat mengakibatkan bahan pangan yang ada dalam kemasan tidak aman dikonsumsi. Penggunaan bahan pengemas perlu dipilih bahan yang baik

MATERI DAN METODE
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pengemasan adalah mesin vacum pack sebagai mesin pengemas.   
           
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pengemasan antara lain plastik polyethelen sebagai bungkus. Sosis dan bakso sebagai bahan yang dikemas.
Metode
Mesin vacum pack disetting esuai kebutuhan produk yang akan dikemas. Produk yang akan dikemas seperti sosis dan bakso dimasukan dalam plastik polyetyhelen. Kemasan yang akan dipacking dimasukan kedalam mesin vacum pack. Mesin disetting pada tekanan maksimum kemudian dipress hingga tekanan kembali normal dan dibuka.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui bahwa pengemasan merupakan tahap akhir proses pengolahan sebelum produk didistribusikan ke konsumen. Menurut Ali (2008), pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan. Memegang peranan penting dalam pengawetan bahan makanan maupun daging. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan bahan pangan yang ada didalamnya. Pengemasan juga berfungsi untuk mempermudah bentuk penyimpanan, distribusi dan pengangkutan.
Praktikum pengemasan yang dilakukan merupakan metode pengemasan vakum pack tanpa udara. Bahan berupa sosis dan bakso dimasukan dalam plastik poliethylen dan diproses hingga udara dalam plastik keluar, kemudian plastik ditutup rapat. Menurut Ali (2008) fungsi utama pengemasan adalah mengawetkan dan melindungi produk yang dikemas. Pengemasan melindungi produk dari kerusakan fisik, kimia dan biologik. Kontaminasi fisik, kimia dan biologik dapat diminimalkan dengan pengemasan yang baik. Pengemasan melindungi produk dari lingkungan luar, uap air dan urdara umumnya kontak langsung dengan bahan pangan dapat mengakibatkan kerusakan.
Bahan pengemas yang digunakan merupakan plastik polyethylen bening dan tembus cahaya. Menurut Ali (2008), bahan kemasan yang kontak langsung dengan produk dapat mengakibatkan kontaminasi terhadap produk. Kontaminasi dari bahan pengemas dapat mengakibatkan bahan pangan yang ada dalam kemasan tidak aman dikonsumsi. Penggunaan bahan pengemas perlu dipilih bahan yang baik.
Jenis plastik yang populer digunakan untuk pengemasan daging yaitu PE (Polyethylen) dan PPC (polyprophylen), karena keduanya selain harganya murah, mudah ditemukan dipasaran, juga memiliki sifat umum hampir sama. Plastik Pe tidak menunjukan perubahan pada suhu maksimum 93oC sampai 121oC dan suhu minimum -46 oC. Namun memiliki permeabilitas yang cukupp tinggi terhadap gas-gas organik sehingga masih dapat teroksidasi apabila disimpan dalam janga waktu lama ( Yanti, dkk, 2008).
Jenis jenis pengemasan menurut Maskumi (2008), pengemasan dengan cara “film tray combination” merupakan cara pengemasan yang biasa digunakan disupermarket. Daging dibungkus dengan alas steroform dan ditutup dengan plastik seal. Cara lain pengemasan daging dengan metode vacum yaitu dengan menghilangkan udara dalam kemasan sehingga daging menjadi tidak teroksidasi mengakibatkan warna daging kurang menarik. Pengemasan oksigen controled system merupakan metode pengemasan dengan membiarkan bungks dapat dimasuki udara namun sangat sedikit. Plastik yang digunakan memiliki permeabilitas terhadap udara. Pertama produk daging dimasukan dalam bungkus permeable kemudian dibungkus kembali dengan bahan impermiable.
Dibandingkan dengna literatur pengepakan pada saat praktikum merupakan metode vacum pack dengan menghilangkan oksigen dalam bungkus. Hal tersebut karena produk yang dipacking berupa bakso dan sosis yang tidak membutuhkan oksidasi oksigen. Menurut Nurdjannah (2010), lama pengemasan vacum pack tidak menyebabkan perubahan bobot susut yang signifikan dibandingkan kemasan non vacum. Hal tersebut telah sesuai dengan praktikum yang dilakukan. Tujuan pengepakan bakso dan sosis agar produk tetap sesuai benetuk rasa serta aroma.
Semakin lama penyimpanan terjadi kerusakan struktur miofibril daging yang diakibatkan karena evaporasi air sebanyak 1 sampai 3 % dapat meminimalisir pertumbuhan mikroorganime. Pengemasan secara vacum dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme dan menekan susut bobot daging. Cara pengemasan vacum tidak mempengaruhi pH daging proses oksidasi terhambar karena tidak ada oksigen dalam ruang sehingga proses penurunan pH daging. Proses oksidasi terhambat karena tidak ada oksigen dalam ruang sehingga proses penurunan pH tidak terjadi (Nurdjannah, 2010).
Pengemasan produk daging yang baik menurut nurdjannah (2010) adalah disesuaikan dengan produk daging yang akan dikemas. Daging segar dapat menggunakan metode non vacum karena dapat mempengaruhi warna daging. Pengemasan pada produk-produk yang tidak membutuhkan perubahan warna dapat meningkatkan kualitas produk. Pengemasan seara vacum memiliki keunggulan dibanding pengemasan non vacum khususnya dalam mencegah pertumbuhan bakteri.


KESIMPULAN

Berdasarkan  praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengepakan bertujuan untuk memperpanjang umur produk. Pengemasan juga mepreservasi produk daging dari pencemaran atau kontaminasi. Pengepakan yang digunakan pada saat praktikum merupakan metode vacum pack dengan menghilangkan udara didalamnya.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Nutritional composition of red meat. http://ro.uow.edu.au
            diakes pada senin 11 november 2013 pukul 23.22 WIB.
Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Edisi ke -5, UI Press. Jakarta.
Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan           Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
           
Direktorat Jenderal Tinggi
Nurwantoro, P. A. V.P.Bintoro,A M.Legowo,A.Purnomoadi. 2012.
           
Pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik
           
daging. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Hal 54-58
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat.       Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Sugiyono. 1996.  Ilmu dan Pangan.  Jurusan Pendidikan Kesejahteraan
           
Keluarga FKPTK IKIP, Yogyakarta
Sunarlim,R., S.Usmiati. 2009. Karakteristik daging kambing dengan
           
perendaman enzim papain. Seminar Nasional Teknologi
           
Peternakan dan Veterine. Hal 499-506.


Post a Comment for "LAPORAN PRAKTIKUM ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING KOMPLIT PAKE TELOR"