Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING RPH GIWANGAN



LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING

 Disusun oleh:
Janu Herjanto
12/331833/PT/06287
Kelompok : XXIV
Asisten :  Fitria Dwi Anggraini

 LABORATORIUM PANGAN HASIL TERNAK
BAGIAN TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

ACARA II
PEMOTONGAN

Materi dan Metode
Materi
            Alalat dan bahan yang digunakan pada praktikum pemotongan adalah lembar kerja, stopwacth dan alat tulis untuk mencatat hasil praktikum.

Metode
           
            Praktikan mengikuti kegiatan dirumah pototng hewan (RPH) mengamati serta mencatat ha-hal yang dilakukan pada saat pemotongan  ternak. Fasilitas dan persyaratan RPH diamati serta proses pemeriksaan ternak secara anemortem dan postmortem. Termasuk proses pengulitan, pemotongan serta limbah diamati dicatat dalam kertas kerja.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah RPH Giwangan. Rumah potong hewan giwangan awalnya berada dimancasan. Sejak 3 mei 2008 pindah kegiwangan karena pemukiman semaki dimancasan. Rumah potong hewan giwangan memiliki beberapa ruangan antara ain ruang pengistirahatan, ruang pemotongan, ruang pelayuan, parting, kantor administrasi dan kantor utama. RPH giwangan juga memiliki tangki air untuk persediaan air selama proses pemotongan serta tempat pembuangan rumen dan pembuangan limbah.
            Berdirinya rumah potong hewan (RPH) harus memiliki persyaratan. Berdirinya RPH syaratnya antara lain syarat lokasi bangunan, peralatan, prasarana tambahan dan sumberdaya manusia. Lokasi RPH yang baik adalah jauh dari pemukiman dan dekat dengan jalan raya agar akses transportasi mudah. Menurut peraturan menteri menteri putaran republik Indonesia nomor 13/Permentan/05.140/1/2010. Tentang persyaratan RPH. Lokasi RPH harus sesuai dengan Lokasi RPH harus sesuai dengan dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.

            Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang antara lain tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan. letaknya lebih rendah dari pemukiman. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi. Tidak berada dekat industri logam dan kimia. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong. (Permetan, 2010).
            Dilihat dari lokasi RPH giwangan berada didaerah giwangan. Berdasarkan dengan pasar buah yang dukungan merupakan pasar hewan. Berdasarkan peraturan pemerintah lokasi RPH sebenarnya sudah cukup strategis yaitu dekat dengan jalan raya. Lokasi kurang strategis karena dekat dengan pasar dan jarak dengan perumahan relatif dekat. Menurut Mudhiarti (2006) Penyakit hewan yang dapat ditularkan pada manusia melalui makanan masih merupakan masalah yang besar di hampir semua negara termasuk negara maju yang dapat dikatakan telah mempunyai sistem jaminan keamanan pangan. Jarak RPH harusnya diatur sedemikian rupa agar tidak membahayakan manusia disekitarnya.
            Persyaratan berdirinya RPH antara lain persyaratan sarana pendukung. Menurut peraturan pemerintah (2010), RPH RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang. Meliputi akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair. Berdasarkan pengamatan RPH giwangan memenuhi persyaratan prasaran tambahan. Penggunaan sumber air di RPH berasal dari air tanah yang disedot menggunakan pompa air dan ditampung di tangki air.
            Persyaratan tata letak desain dan Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi menurut Pemertan (2010), kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging. Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi bangunan utama, area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat hewan, kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif, kandang isolasi, ruang pelayuan berpendingin (chilling room), area pemuatan (loading) karkas/daging, kantor  administrasi dan kantor dokter wewan, kantin dan mushola, ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator, sarana penanganan limbah, rumah jaga. Berdasarkan pengamatan fasilitas di RPH giwangan telah memenuhi syarat kecuail ruang pelayuan dengna pendingin , namun sedang dibangun.
            Persyaratan daerah kotor dan daerah bersih menurut Pemertan (2010), daerah kotor meliputi area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area pengeluaran darah, area penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut), ruang untuk jeroan hijau, ruang untuk jeroan merah, ruang untuk kepala dan kaki, ruang untuk kulit; dan pengeluaran (loading) jeroan. Daerah bersih meliputi area untuk pemeriksaan post-mortem, penimbangan karkas, pengeluaran (loading) karkas/daging. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif dan mudah dibersihkan serta mudah dirawat. Seluruh peralatan yang digunakan untuk pemotongan tidak boleh terbuat dari bahan-bahan yang bersifat toksik. Dibandingkan dengan RPH giwangan teah memenuhi persyaratan.
            Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahu pemotongan yang dilakukan pada pagi hari. Hasil egamatan proses pemotongan ternak sebagai tercantum tabel  1.  Proses pemotongan dilakukan secara langsung setelah ternak dinyatakan sehat. Disembeli pada bagian leher dengan memutus 4 saluran yaitu arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus dan tenggorokan, kemudian pemisahan kepala dan tubuh kemudian pengulitan dan pengeluaran isi perut dan pemotongan karkas dan penimbangan berat karkas kemudian diparting.
Tabel 1. Hasil pengamatan pemotongan di RPH.        
  kriteria
Hasil pengamatan
Bangsa Sapi

Jenis kelamin

Umur sapi

Berat hidup

Lama pemotonga

Lama pengulitan

Lama pengeluaran jeroan
Lama pembelahan karkas

Berat karkas (kg)

Bagian yang diparting

Pemeriksaan

Antemortem

Postmortem

Ada / Tidaknya penyimpanan pada proses pemotongan

Ada / Tidaknya penyakit yang ditemukan.  

            Pengamatan pada pemeriksaan ternak tidak ada  penyakit yang ditemukan Menurut soeparno (2005), pada dasarnya teknik pemotongan ternak ada dua cara atau teknik pemotongan. Teknik pemotongan secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat maka ternak dapat langsung disembelih. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan pada ternak disembelih serta dilakukan pemingsanan. Berdasarkan literatur, pemotongan pada RPH giwangan dilakukan secara langsung . Berdasarkan literatur pemotongan pada RPH giwangan dilakukan secara langsung.        
Maksud pemingsanan ternak adalah memudahkan pemotongan agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari perlakuan kasar, agar kualitas karkas dan kulit baik. Pengingsanan dapat dilakukan dengan beberapa cara saah satunya adalah menggunakan stunning gun, pembiusan dan menggunakan listrik (Blackely dan Bade, 1998).         
Perlakuan ternak sebelum dipotong menurut Soeparno (2005), ada dua cara yaitu dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Pemuasaan yaitu agar memperoleh bobot tubuh kosong BTK, yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi isi saluran pencernaan, saluran kencing dan empedu, perlakuan dipuasakan bertujuan agar penyembelihan terutama pada ternak yang agresif atau liat. Berdasarkan praktikum diketahui bahwa ternak diistirahatkan ditempat sebelum penyembelihan.
            Sapi yang dipotong merupakan sapi simpo yaitu hasil persilangan antara simmental dan PO. Berjenis kelamin betina dengan umur 6 tahun. Berat hidup sapi 264 kg. Menurut Blakely dan Bade (1998), karkas yang diperoleh kira-kira sebesar 60% berat hidup seekor sapi. Pemotongan di RPH mendapatkan karkas sebesar 132 Kg atau sekitar 50% berat badan hidup. Menurut Soeparno (2005) faktor yang mempengaruhi komposisis karkas antaralain genetik, jenis kelamin, hormon, kastrasi, fisiologis, umur bentuk tubuh serta nutrient atau pakan.
            Proses pemotongan pada RPH dengan cara meggiring sapi menuju killing box kemudian kedua kaki diikat dan sapi dijatuhkan. Sapi direbahkan menghadap kilbat kepala berada di selatan dan ekor menghadap ke utara. Modin atau juru potong memotong pada 4 saluran yaitu arteri karotis, vena jugularis, oeshopagus, dan kerongkongan. Pemotongan dilakukan setelah itu dilakukan uji reflek untuk mengetahui ternak sudah mati atau belum. Test reflek pada mata, kaki dan ekor.
            Proses selanjutnya adalah pengulitan. Pengulitan dilakukan selama 8 menit 30 detik. Dilanjutkan proses pengeluaran jeroan selama 1 menit 20 detik, kemudian karkas dibelah dua. Saat pengeluaran jeroan dilihat bentukan pada organ-organ vital bagian dalam seperti jantung, hati, paru-paru, ginjal dan lain-lain. Pemeriksaan tersebut untuk mengetahui adanya penyakit pada ternak yang merupakan pemeriksaan antemortem dilakukan oleh dokter hewan.
            Pemeriksaan yang dilakukan pada sapi terbagi menjadi 2 yaitu pemeriksaan antemortem dan postmortem. Menurut Moelyono (1996), pemeriksaan antemortem dengan mengamati sifat yang terlihat , selaput lendir, mata, hidung, kulit dan suhu badan. Saat pengamatan di RPH sapi dinyatakan sehat karena tidak ada tanda-tanda penyakit pada ternak. Menurut Soeparno (2005), pemeriksaan post mortem dilakukan dengan pemeriksaan karkas, limfa, kepala dan organ dalam lainya. Karkas yang dihasilkan ayak dikonsumsi karena tidak ditemukan penyimpangan seperti bekas memar. Organ dalam juga dalam keaan normal. Soeparno (2005) mengatakan bahwa maksud pemeriksaan post mortem untuk melindungi konsumen dari penyakit dan mencegah penularan penyakit. Sedangkan pemeriksaan antemortem untuk mengetahui ternak yang cidera sehingga harus dipotong dan melakukan penanganan yang tepat.
            Penyakit-penyakit pada ternak yang ditemui dan berbahaya antara lain menurut Murdhiati (2006), contohnya adalah penyakit antrak. Penyakit ini berbahaya karena parasitnya yang tidak mudah mati hingga 25 tahun. Apabila RPH memotong ternak yang terjangki antrak maka RPH tersebut harus ditutup. Secara umum yang sering ditemui di RPH adalah penyakit cacaing hati atau bruceolisis. Ternak terkena bruceolisis apabila dipotong maka organ dalam seperti hati tidak boleh dimanfaatkan untuk dimakan.


Kesimpulan

            Rumah ptotong hewan harus memiliki persyarat lokasi bangunan peralatan, prasaran tambahan dan sumber daya manusia. Rumah potong hewan giwangan telah memenuhi persyaratan tersebut. Proses pemotongan hewan dilakukan dengan metode halal yang dimulai dari proses peneyembelihan hingga pemotongan karkas yang membutuhkan waktu total 13 menit 58 detik. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu antemortem dan postmortem berguna untuk perlakuan pada ternak yang dipotong apabila terindikasi penyakit.


Daftar Pustaka

Blakely , J dan D.H Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University press. Yogyakarta.
Moelyono, H.J. 1996. Struktur dan Development Daging Ternak. Litbang. Yogyakarta.
Pemertan. 2010. Peraturan menteri pertanian Republik Indonesia no 13/Pemertan/01.140/1/2010. Jakarta.
Soeparno, R. A. 2005. Ilmu Daging Edisi ke-5. Penterjemah Amminudin Parrakasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Mudhiarti, T.B. dan I. Sendow. 2006. Zoonis yang ditularkan melalui pangan. Journal Agricultural.

Post a Comment for "LAPORAN PRAKTIKUM ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING RPH GIWANGAN"