UJI KUALITAS DAGING
LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING
Disusun oleh:
Janu Herjanto
12/331833/PT/06287
Asisten
: Fitria Dwi Anggraini
LABORATORIUM PANGAN HASIL
TERNAK
BAGIAN TEKNOLOGI HASIL
TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
ACARA
III
UJI KUALITAS DAGING
MATERI DAN METODE
Materi
Materi yang
digunakan dalam praktikum ini berupa alat dan bahan. Alat yang
digunakan percobaan ini adalah meat
colour fan, water bath, dua plat kaca, kertas saring,
beban 35 kg, oven, warner-bratzler shear
force dan timbangan analitik, mesin vakum press, ph meter digital. Bahan
yang digunakan percobaan ini adalah daging sapi
dan aquadest.
Metode
Uji Warna
Warna dari daging dicocokkan dengan meat
colour fan, lalu ditulis skalanya.
Uji Nilai pH
Daging seberat 10 gram dicacah, ditambah 10 ml aquades, diaduk homogen.
Diukur dengan pH meter, dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya
dirata-rata.
Uji Daya Ikat Air
Daging seberat 0,3 gram diletakkan diantara dua plat kaca, dialasi dengan
kertas saring, diberi beban 35 kg selama 5 menit. Area basah yang terbentuk
dihitung (luas area basah). Untuk sampel kadar air total digunakan 1 gram
daging sebagai berat awal, dioven selama semalam. Berat akhir ditimbang.
Kadar Air Total
Sampel dioven selama 105oC (8-24 jam) dan ditimbang berat akhir.
Uji Keempukan
Sampel daging dari uji susut masak dipotong searah serat dan dengan ukuran
tabal 0,67 cm dan tabal 1,5 cm. Sampel
diletakkan pada alat warner–bratzler
shear force. Pengujian dilakukan ditiga bagian kemudian hasilnya
dirata-rata.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan
diketahui bahwa parameter spesifik yang menentukan kualitas daging meliputi
warna daging, Ph daging, daya ikat air (DIA), susut masak, dan keempukan.
Warna Daging.
Pengukuran warna daging menggunakan indikator meat color standart, dalam
setiap warna yang ada dalam meat color standart mempunyai skala
tertentu warna. Berdasarkan pengukuran didapat skor warna daging yaitu 8
dengan warna merah gelap. Penilaian warna daging dilakukan dengan melihat warna
permukaan otot dengan bantuan cahaya senter dan mencocokanya dengan standar
warna. Nilai skor warna ditentukan berdasakran skor standar warna yang paling
sesuai dengan warna daging. Standar warna daging terdiri atas sembilan skor
mulai dari warna merah muda hingga merah tua. (BSN, 2008). Menurut
Soeparno (2005) Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi warna tristimulus. Warna
daging sapi yang baru biasanya berwarna ungu gelap. Warna tersebut berubah
menjadi terang (merah ceri) jika daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan
warna ungu menjadi terang tersebut bersifat reversibel (dapat balik). Daging yang
terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan
berubah menjadi coklat. Faktor-faktor yang menjadi penentu utama warna daging
adalah konsentrasi pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan,
spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, pH dan oksigen.
Menurut Lawrie (2003) warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe
otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penentu utama
warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging mioglobin. Tipe molekul moiglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi
kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyau peranan besar dalam
menentukan warna daging.
Perbedaan warna permukaan daging, disebabkan oleh status kimia
molekul mioglobin. Bentuk kimia warna
daging segar yang diinginkan oleh konsumen adalah merah terang oksimioglobin.
Bentuk daging sapi yang baik adalah berwarna merah terang, mengkilap tidak
pucat dan tidak kotor. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang
menentukan daging segar. Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat
berbagai reaksi kimia bila terkena udara,
pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang mengeluarkan warna
merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen
metmioglobin yang berwarna coklat (Soeparno, 2005).
Nilai pH Daging
Berdasarkan
praktikum yang dilakukan diketahui rata-rata daging yang diukur kelompok
pertama yaitu 6,8 dan kelompok kedua 6,3. Diketahui bahwa ph daging dalam
kondisi normal dan daging masih segar. Menurut Soeparno (2005) pH otot saat
penyembelihan adalah 7,0. pH akan mengalami penurunan karena terbentuknya asam
laktat, sehingga pH pada daging akan menjadi lebih rendah. Kondisi normal pH
akhir daging pH
ultimat normal daging diukur 24 jam dari waktu
penyembelihan adalah sekitar 5,4 sampai 5,8 yang sesuai dengan titik
isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Stres
sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu,
spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim
yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi
pH daging.
Menurut Lawrie (2003),
pH sesaat setelah dipotong berkisar antara 6,5-7,0 dan mencapai penurunan
terendah sampai pada 5,5-5,6. Hal tersebut disebabkan karena glikogen sebagai
sumber energi otot akan mengalami proses
glikolisis setelah hewan dipotong dan secara enzimatis akan menghasilkan asam
laktat sehingga pH daging menurun
Susut Masak Daging
Uji
susut masak pada daging pertama berat awal 25,2 gram berat akhir 16.3 gram
dengan susut masak sebesar 35,31%. Daging kedua sebesar 25,1 gram berat akhir
15,4 dengan susut masak 38,64%. Diketahui bahwa daging dalam kondisi normal menurut Lawrie (2003) nilai
susut masak daging yang normal adalah 1,5 sampai 54,5%. Menurut Soeparno (2003) Penggunaan pemanas
menyebabkan semakin berubah struktur dan komposisi protein, lemak dan air dalam
daging karena banyak cairan daging yang hilang. daging dalam jumlah susut masak rendah
mempunyai kualitas yang lebih baik karena kehilangan nutrisi saat pemasakan
akan lebih sedikit. Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer
serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran
dan berat sampel daging dan penampang melintang daging.
Menurut
Lawrie (2003) Pemasakan
akan mendegradasi jaringan ikat yang meliputi aktomiosin, elastin dan kolagen karena proses pemasakan
membuat tenunan pengikat lebih empuk dengan mengubah kolagen menjadi gelatin. bahwa pemasakan menyebabkan
koagulasi pada permukaan daging, pencairan lemak dan hidrolisis jaringan ikat.
Daya Ikat Air Daging
Berdasarkan
praktikum yang dilakukan dieketahui luas area basah 13, Mg H20 129,13 dan KAB
43,04. Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk megikat air atau air yang ditambahkan selama pengaruk
kekuatan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, atau
pengepresan (Soeparno, 2005). Komposisi kimia daging terdiri dari kadar air,
protein dan kadar karbohidrat serta mineral yang ditentukan untuk nutrisi dan
umur ternak saat ternak masih hidup. Kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan
air dalam daging. Air merupakan medium biologis termasuk sebagai medium untuk
mentransformasikan substrat otot . Daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein
daging dan karkas (Soeparno, 2005).
Menurut Soeparno (2005), daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein
daging dan karkas. Protein salah satu fungsinya mengikat air, jika protein
mengalami denaturasi akibat pemanasan atau pemasakan maka kekuatan untuk
mengikat air akan semakin rendah sehigga daya ikat air daging tersebut juga
akan menurun. Daya ikat air diantara otot berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh
beberapa factor perbedaan daya ikat
air diantara otot dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur
dan fungsi otot
Penurunan DIA
dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging
mentah yang belum dibekukan dan drip pada daging mentah beku yang di-thawing atau kerut pada
daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging. DIA
dipengaruhi oleh pH. DIA menurun dari pH
tinggi sekitar 7-10 sampai pada titik isoelektrik protein-protein daging antara
5,0-5,1. Pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging,
terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan mifilamen dan
memberi lebih banyak ruang untuk
molekul-molekul air. Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari
titik isoelektrik protein-protein daging, DIA meningkat (Soeparno,2005).
Keempukan Daging
Pengujian bertujuan untuk mengetahui
tingkat keemopukan daging setelah melalui proses pemasakan. Pada uji ini
digunakan dua sampel daging sapi untuk perbandingan. Sampel daging dari uji
susut masak dipotong searah serat dan dengan
ukuran tebal 0,67 cm dan lebar 1,5 cm. Setelah itu diuji dengan alat Warner-Bratzler shear force (penguji
keempukan daging), uji ini diulang sampai tiga kali dan hasilnya dirata-rata
jadi jika potongan daging agak pendek disiapkan 3 potongan daging tetapi jika cukup
panjang disiapkan satu potong daging sesuai dengan ukuran yang ditentukan. Saat
meletakkan pada alat uji keempukan dipastikan bahwa posisi alat uji tegak lurus
dengan arah serat daging agar hasil yang didapat tepat.Berdasarkan
sampel kelompok pertama rata- rata keempukan daging 4,13 kelompok kedua keempukan rata-rata 3,15. Derajat keempukan daging
dipengaruhi oleh tiga kategori protein urat daging yaitu tenunan pengikat
(kolagen dan elastin), myofibril (aktin dan myosin) dan sarkoplasma (protein
sarkoplasma dan sarkoplasmik reticulum) (Lawrie, 2003). Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak. Berdasarkan
kemudahan untuk dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak.
Penilaian keempukan daging dapat dilakukan secara obyektif dan subyektif.
Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian secara fisik dan kimia,
sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test (Soeparno, 2005).
Tiga faktor yang mempengaruhi proses
keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya lemak, berubahnya
kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga menjadi lebih empuk.
Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak lemak intramuskular akan
memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging untuk mengikat
molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2005).
Lawrie (2003) menyatakan
bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan jus daging (juiciness).
Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini
disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan
molekuler dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur
ternak. Oleh karena itu ternak yang tua akan
cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang
muda. Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang
serabut-serabut kolagen
Kesimpulan
Berdasarkan
pengukuran didapat skor warna daging yaitu 8
dengan warna merah gelap. Faktor-faktor yang menjadi penentu
utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi
oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, pH dan oksigen.
Diketahui bahwa ph daging dalam kondisi normal daging yang masih segar. Susut
masak daging dalam kisaran normal
Daftar Pustaka
BSN. 2008. Mutu karkas dan daging sapi SNI 3932. Badan
Standardisasi
Nasional. Jakarta.
Nasional. Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Lawrie,
R.A. 2003. Ilmu Daging. UI Press. Jakarta
Post a Comment for "UJI KUALITAS DAGING"