LAPORAN PERAH TAK TAHU PUNYA SIAPA
BAB I
PENDAHULUAN
Susu atau bahan penggantinya sangat penting artinya bagi pertumbuhan awal bagi manusia/mamalia serta sangat tinggi nilai gizinya sebagai bahan makanan bagi orang dewasa terutama bagi orang-orang lanjut usia.
Jumlah konsumsi susu yang disarankan 1 guart (0,946 liter) susu perhari dapat mencukupi semua kebutuhan protein untuk anak-anak sampai umur 6 tahun dan lebih dari 60 % kebutuhan bagi anak-anak yang sedang tumbuh sampai umur 14 tahun. Umur 14-20 tahun jumlah susu tersebut mampu menyediakan setengah dari kebutuhan protein harian, sedangkan bagi wanita yang sedang menyusui mampu menyediakan sebanyak 44 % kebutuhan protein (Prihadi S, 1997).
Oleh karena itu, peranan sapi perah
mempunyai andil yang besar dalam pemenuhan gizi manusia terutama bagi tubuh.
Sehubungan dengan itu, maka Ilmu Ternak Perah terus dikembangkan dengan
penelitian. Selain itu teknologi peralatan pemerahan juga perlu terus
dikembangkan. Saat ini teknologi alat pemerahan sudah mengalami kemajuan dengan
munculnya mesin perah sehingga dapat meringankan pekerjaan petugas peternakan
sapi perah. Tetapi saat ini peternakan sapi perah di Indonesia kebanyakan masih
menggunakan tenaga manusia karena mesin perah relatif mahal. Dalam peternakan
sapi perah baik yang menggunakan teknologi modern maupun yang masih menggunakan
cara tradisional akan dapat berhasil dengan baik apabila usaha tersebut dijalankan
dengan manajemen yang baik dan benar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengenalan Bangsa-Bangsa Ternak Perah
Pengenalan
Bangsa Sapi Perah. Bangsa sapi perah yang ada sekarang ini berasal
dari daerah subtropis dan dari daerah tropis. Bangsa sapi perah yang berasal
dari daerah subtropis dan daerah tropis baik rata-rata besarnya sapi, tingginya
produksi susu, ketahanan terhadap cuaca panas, ketahanan terhadap
penyakit/parasit dan lain-lain sangat berbeda (Soetarno, 2003).
Sapi adalah termasuk jenis Bos. Sapi perah yang ada sekarang ini
adalah Bos Taurus (sapi Eropa) yang
berasal dari daerah subtropis, dan Bos
Indicus (sapi berponok di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta sapi
hasil persilangan keturunan Bos Taurus
dengan Bos Indicus (Soetarno, 2003).
Klasifikasi
ternak sapi yakni: Kingdom: Animalia,
Phylum: Chordata, Class: Mammalia, Sub Class: Placentalia, Ordo: Ungulata, Sub Ordo: Artiodactylia,
Rumpun: Colondontia, Familia: Bovidae, Genus: Bos Sub Genus: Taurina,
Species: Bos Tauru. (Reksohadiprojo,
1984).
Pemilihan sapi perah didasarkan pada tipe dan
kualitas breeding stock yang
tersedia, kondisi iklim, bentuk pemasaran susu, hijauan yang tersedia, ukuran dan kekuatan pedet yang baru lahir,
pencapaian umur dewasa kelamin, popularitas dari bangsa sapi yang bersangkutan
dan selera peternak (Williamson dan Payne, 1993).
Bangsa Sapi Perah Dari Daerah Sub Tropis
Breed sapi perah yang berasal dari daerah subtropis
berasal dari Bos Taurus (sapi Eropa)
yang terkenal dan banyak diternakkan ada lima bangsa, yaitu Holstein, Brown
Swiss, Ayrshire, Guernsey dan Jersey. Temperatur ideal: 30-60 ºF (-1-15,6 ºC)
dengan kelembaban udara rendah (± 40-70 %)
(Soetarno, 2003).
Friesian Holstein. Bangsa sapi perah Holstein berasal dari Propinsi
Friesland (Belanda). Di Belanda sapi tersebut disebut Holstein Friesian, di
Amerika disebut Holstein. Di Indonesia sapi tersebut disebut Fries Holland atau
Friesian Holstein (FH). Nenek moyang sapi Holstein adalah sapi hitam dan sapi
putih, yaitu sapi Batavia dan sapi Friesian (Soetarno, 2003). Ciri-ciri FH ini
adalah kepala panjang, sempit dan lurus, paha lurus dan bahu ramping yang
dikehendaki. Sapi Holstein betina biasanya tenang dan jinak, tetapi yang jantan
(bull) umumnya ganas. Warna standar
sapi Holstein adalah belang hitam putih (black
and white) yang berbatas dengan tegas. Imbangan warna putih dan hitam
jumlahnya tidak mengikut. Bulu kipas ekor, perut dan kaki dari lutut dan tumit
kebawah serta dahi berwarna putih (ada kalanya berbentuk segitiga). Sapi
Holstein ada kalanya juga yang berwarna merah dan putih, tetapi warna ini belum
tentu diwariskan kepada anaknya (Soetarno, 2003).
Pada dahi terdapat warna putih dengan batas jelas,
tidak tahan panas, pertumbuhan lambat, berat dewasa jantan 1800 pounds, yang
betina 1400–1600 pounds (Diggins dan Bundy, 1979). Sapi Holstein memproduksi
susu cukup tinggi tetapi kadar lemaknya rendah (Blakely et al., 1991). Sapi muda (dara) Holstein umur 15 bulan apabila
beratnya 800–850 pounds (362–385 Kg) ada tanda minta kawin, maka sudah dapat dikawinkan,
dan diharapkan beranak pertama umur 24 bulan (Soetarno, 2003). Produksi sapi perah di Indonesia dengan
pengembangan dipusatkan pada peningkatan populasi dan mutu genetiknya mencapai
6905 Kg selama 305 hari laktasi dengan dua kali pemerahan (Siregar, 1995).
Brown Swiss. Bangsa sapi Brown Swiss dikembangkan di lereng-lereng pegunungan
Switzerland (Swiss) dan pada musim semi merumput di kaki gunung sampai lereng
yang paling tinggi. Warna sapi bervariasi mulai dari coklat muda sampai coklat
gelap. Berat sapi betina dewasa 544–635 Kg dan sapi jantan beratnya 1600–2400
pounds (Soetarno, 2003). Hidung dan bulu ekor kebanyakan berwarna hitam.
Produksi susunya 4000–4500 liter dalam satu masa laktasi (Muljana, 1985).
Ukuran badannya besar serta lemak badannya yang berwarna putih menjadikannya
sapi yang disukai untuk produksi daging (Blakely et al., 1991).
Ayrshire. Bangsa sapi ini berasal dari Country (Shire) di daerah Ayr, yaitu bagian
barat daya Skotlandia. Warna sapi perah Ayrshire bervariasi dari merah dan
putih sampai warna mahoni dan warna merahnya amat terang atau hampir hitam
(Soetarno, 2003). Cirinya tanduk panjang keatas lurus dengan kepala, cepat
dewasa kelamin. Produksi susu 5000 Kg/tahun, berat induk 540 Kg (Blakely et al., 1991). Lemak susu berkadar 4,12
% ambing besar berat jantan 800–1150 Kg (Syarief dan Soemoprastowo, 1984).
Guernsey. Bangsa sapi dikembangkan di pulau Guernsey (Inggris) yang terletak di salah
satu pulau-pulau antara Perancis dan Inggris. Warna sapi dari kuning terang
sampai hampir merah dengan tanda warna putih pada dahi, kaki, rambut kipas ekor
dan lipatan antara paha dan perut. Kulit berwarna kuning (Soetarno, 2003).
Tanduk mencuat ke depan dan menjurus sedikit ke atas dan berukuran sedang. Sapi
ini mempunyai sifat tenang dan agak cepat dewasa. Berat badan untuk sapi jantan
700 Kg dan betina 475 Kg. Produksi susu 2750 liter dalam satu masa laktasi
(Muljana, 1985).
Jersey. Bangsa sapi ini dikembangkan di Pulau Jersey (Inggris) yang terletak hanya
22 mil dari pulau Guernsey. Dikembangkan untuk tujuan utama lemak susu untuk
mentega dan tidak disukai untuk produksi daging (Soetarno, 2003). Ciri-cirinya
berwarna coklat dengan atau tanpa putih, agak nervous, cepat masak kelamin,
produksi susu 4000 Kg/tahun (Blakely et
al., 1991). Berat jantan 600–800 Kg, betina 400–450 Kg, kadar lemak susu
5,2 % sehingga baik untuk pembuatan mentega (Sindhuredjo, 1960). Kulit berwarna
oranye, tanduk jantan kekuningan dengan ujung tanduk yang lebih tua
(Sosroamidjoyo et al., 1990).
Selain kelima bangsa sapi perah diatas masih
banyak, tetapi popularitas, populasi dan jumlah produksi susunya relatif lebih
kecil antara lain Red Danish berkembang di Denmark, Dutch Belted berkembang di
Belanda. Selain itu dikenal sapi tipe dual
purpose yang dapat menghasilkan susu cukup banyak dan cepat serta mudah
digemukkan yakni Milking Shorthorn dan Red Poll (Soetarno, 2003).
Bangsa Sapi Perah Dari Daerah Tropis
Breed sapi perah yang berasal dari daerah tropis yaitu
berasal dari Bos Indicus (sapi
berpunuk Asia) banyak diternakkan di India dan Pakistan. Breed tersebut antara lain sapi Sahiwal, Red Sindhi, Gir, Onggole,
Hissar, Kankray, Hallikar dan lain-lain (Soetarno, 2003).
Sahiwal. Bangsa sapi Sahiwal termasuk bangsa sapi Zebu dan terbaik di India. Warnanya kelabu kemerah-merahan atau coklat (Soetarno, 2003). Sapi ini berasal dari distrik Punjab, Pakistan, tubuh agak panjang dan dalam, tanduk sangat pendek (Sosroamidjoyo et al., 1990). Bulunya halus dan ambingnya baik (Anonimus, 1985). Berat badan dewasa jantan 500–600 Kg, dewasa betina 450 Kg, produksi susu sekitar 1300 Kg/tahun dengan kadar lemak 4–6 % (Pane, 1986). Gelambir besar, bertanduk pendek, pada betina longgar pangkalnya dan tebal, pusarnya longgar dan menggantung (Reksohadiprodjo, 1984).
Red Sindhi. Sapi ini berasal dari distrik Karachi, Hyderabat,
dan Hohistan yang kering dan panas 50–107º F dengan warna merah tua (Soetarno,
2003). Ciri spesifiknya berbentuk kokoh, kuat dan berat, gelambir lebar,
berkaki pendek dan kuat, bulunya lembut, ukurannya lebih kecil daripada sapi
Sahiwal (Muljana, 1985). Ambing menggantung dengan puting besar, berat jantan
450–500 Kg, betina 300–350 Kg, produksi susu 1200–1500 liter/laktasi, kadar
lemak susu 5 % (Sindhuredjo, 1960).
Gir. Tempat asalnya sapi ini di Semenanjung Kathiawar
dekat Bombay (India Barat). Warnanya sedikit bercak-bercak coklat atau hitam,
tetapi ada juga yang kuning, merah sampai hitam (Soetarno, 2003). Berat
rata-rata sapi jantan 600 Kg dan berat sapi betina 400 Kg, dengan produksi susu
rata-rata 2000 liter/tahun dengan kadar lemak 4,5–5 % (Anonimus, 1983). Sapi
ini bertanduk pendek tumpul, tumbuh ke samping dan belakang pangkal tebal,
kelesa jantan tumbuh baik dan tegak, kulit longgar, fleksibel, halus dan
berambut pendek mengkilap, telinga agak panjang menggantung dan kepala panjang
(Reksohadiprodjo, 1984).
Onggole. Tempat asal distrik Onggole Madras. Warna sapi
Onggole putih, tetapi pada pantatnya (hump),
leher dan kepala pada yang jantan berwarna kelabu gelap. Besarnya sapi, berat
sapi betina dewasa 450–500 Kg, sedang yang jantan 600–650 Kg. Sapi ini
produksinya menurut laporan jauh dibawah Sahiwal dan Red Sindhi yaitu rata-rata
3030 pound selama periode laktasi 313 hari, calving
intervalnya rata-rata 479 hari
(Soetarno, 2003). Kepala panjang, telinga panjang menggantung, bertanduk pendek
tumpul, kalesa jantan tegak, gelambir besar dan berlipat-lipat
(Reksohadiprodjo, 1984).
Bangsa-Bangsa Sapi Perah Persilangan
Breed baru sapi perah berasal dari persilangan Bos Taurus dengan Bos Indicus yang telah
diciptakan/direkayasa di Australia (Soetarno, 2003).
Australian Milking Zebu (AMZ). Sapi ini merupakan persilangan sapi Jersey betina
dengan sapi Red Sindhi atau Sahiwal. Dari persilangan ini diambil keturunan
yang ketiga dan dikembangkan yang merupakan sapi AMZ (Hardjosubroto, 1980).
Warna sapi ini coklat kuning sampai kemerahan, dengan berat betina dewasa
350–400 Kg dan pejantan 500-550 Kg, produksi susunya mencapai 1425–4150
liter/laktasi dengan kadar lemak 4,9 % (Soetarno, 2003).
Australian Friesian Sahiwal (AFS). Sapi ini hasil persilangan pejantan Sahiwal dengan
sapi Friesian. Warna umum hitam, coklat dan merah. Bulu halus dan mengkilap.
Bentuk tubuh mirip sapi perah tapi memiliki punuk kecil, telinga besar, kaki
lebih kuat dari sapi FH. Berat sapi pejantan 650 Kg dan betina 580 Kg
(Hardjosubroto, 1980).
Australian Illawara Shorthorn (AIS).
Sapi ini berada di distrik
Illawara, New South Wales. Berasal dari campuran Bos Taurus, Milking
Shorthorn, Ayrshire dan Devon. Berwarna merah mulus, kadang berbintik atau berbercak
putih pada dada dan flank. Produksi
susu mencapai 3484 liter/laktasi. Berat pejantan dewasa 800 Kg, betina 500–600
Kg (Hardjosubroto, 1980).
Bangsa Sapi Perah Di Indonesia
Breed atau bangsa sapi perah yang asli berasal dari
Indonesia tidak ada. Sapi perah di Indonesia berasal dari impor dan persilangan
sapi impor dengan sapi lokal (Soetarno, 2003).
Friesian Holland. Sapi ini ada sejak zaman penjajahan Belanda (±
1891) yang diternakkan di Lembang dan Cisarua. Disamping itu di Klaten terdapat
tempat pembibitannya (Soetarno, 2003).
Grati. Terbentuknya breed
sapi ini diawali tahun 1891–1892 (zaman pemerintah Hindia Belanda). Berasal
dari perkawinan sapi pejantan FH dengan sapi betina lokal atau Madura untuk grading up. Produksi susu rata-rata 15
liter/hari. Sapi perah ini mendapat pengakuan internasional sebagai breed sapi perah baru di Indonesia
(Soetarno, 2003).
Peranakan FH. Sapi ini merupakan hasil persilangan sapi FH
dengan sapi lokal dengan pengaruh FH lebih besar. Bercirikan seperti FH hanya
cacat warna dan produksi susu serta ukuran tubuh relatif lebih kecil (Soetarno,
2003).
Sapi Hissar. Sapi ini terdapat di Sumatera Timur, mulai masuk
1885. Semula diternakkan di perkebunan dan dipelihara oleh orang-orang India.
Sapi ini banyak yang sudah dipotong atau pindah karena kurang diminati
(Soetarno, 2003). Produksi susu 3 liter/hari, rendahnya produksi ini karena
pengaruh genetik dan mulai disilangkan dengan FH (Soetarno, 1995).
Selain sapi
diatas masih ada sapi peranakan Red Danish di Madura dan sapi Onggole sebagai
sapi kerja atau potong.
Pengenalan
Bangsa-Bangsa Kambing Perah. Ternak
kambing memberikan nilai ekonomi yaitu selain daging, kulit juga dapat sebagai
sumber devisa negara. Beberapa kambing menghasilkan susu dengan kualitas lebih
tinggi daripada susu sapi (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Di Negara-negara
tropis meskipun banyak jenis kambing namun masih sedikit sekali perhatian
terhadap seleksi atau breeding dalam
usaha memperoleh satu performance
yang baik (Prihadi, 1997).
Susu dan daging
kambing memiliki arti penting daripada ternak lain. Kurang lebih 74 % produksi
daging kambing diseluruh dunia dihasilkan oleh negara tropis dan subtropis.
Sedangkan 67 % proporsi produksi susu kambing di seluruh dunia berasal dari
daerah tropis (Davendra et al.,
1994).
Klasifikasi
ternak kambing yakni: Kingdom: Animalia,
Phylum: Chordata, Sub Phylum: Vertebrata, Class: Mammalia, Sub Class: Thera,
Ordo: Pelavo, Sub Ordo: Bovidae, Genus: Capra, Species: Capra hircus,
Capra prisca, Capra falconeri (Williamson and Payne, 1993)
Kambing sekarang
ini merupakan domestikasi manusia yang diturunkan dari tiga jenis kambing liar
yakni : Capra hircus di daerah
sekitar perbatasan Turki-Pakistan, Capra
prisca di daerah sepanjang Balkan, dan Capra
falconeri di daerah sepanjang Kashmir, India (Murtidjo, 1993).
Bangsa Kambing Perah Daerah Sub
Tropis
Toggenburg. Kambing ini berasal dari lembah Toggenburg, Swiss.
Kambing jantan dan betina tidak memiliki tanduk, bertelinga besar, dan berdiri
tegak serta ambing sangat besar. Berat tubuh rata-rata dewasa 60 Kg (Murtidjo,
1993). Ukuran tubuh besar, warna coklat kekuningan atau coklat dengan garis dan
bercak berwarna krem atau coklat, leher panjang dan ramping dengan produksi
susu 1-3 Kg/hari (Davendra et al.,
1994).
Saanen. Kambing ini berasal dari lembah Saanen, Swiss.
Pejantan dan betina tidak bertanduk, warna bulu putih dengan bercak hitam pada
hidung, telinga dan ambing, dahi lebar, telinga sedang dan tegak dengan posisi
kaki lurus kuat dan kepala seimbang. Berat tubuh jantan 80–120 Kg, berat betina
50–90 Kg dengan produksi susu 4–4,5 liter/hari (Davendra et al., 1994).
Alpine. Kambing ini berasal dari pegunungan Alpine,
Perancis. Warna bulu bervariasi antara putih, abu-abu dan coklat, berbadan
besar, telinga pendek, berat betina dewasa 55 Kg dan tidak kesulitan dalam
melahirkan. (Blakely et al., 1991)
Kambing ini tidak cocok hidup di daerah dengan kelembaban tinggi dengan
produksi susu 4,5 Kg/hari (Davendra et
al., 1994).
Bangsa Kambing Perah Daerah Tropis
Etawah. Kambing ini berasal dari India di distrik Etawah.
Kambing ini bercirikan dengan bulu berwarna variasi kebanyakan belang bercak
hitam atau putih dan campuran ketiganya, ambing besar, puting panjang seperti
botol, rambut pendek kecuali di bagian paha belakang lebih panjang, berat badan
40–70 Kg, hidung melengkung cembung, telinga lebar dan panjang, pejantan
berjenggot dan rahang bawah menonjol (Sarief dan Sumoprastowo, 1984). Produksi
susunya mencapai 1–3 liter/hari (Davendra et
al., 1994).
Beetal. Kambing ini berasal dari India dan Pakistan dengan
ciri: warna bulu hitam, bulu panjang, telinga menggantung, berat badan betina
antara 20–40 Kg, produksi susu 1,3
Kg/hari cocok sebagai pedaging (Sarwono, 1997).
Nubian. Kambing ini berasal dari Afrika. Kambing jantan
dan betina tidak bertanduk, bulu hitam, merah dan putih, serta telinganya
terkulai, kambing jantan berjenggot (Murtidjo, 1993). Produksi susu lebih
sedikit dari kambing berasal dari Swiss, dengan persentase lemak susu tinggi,
dewasa kelamin betina 60 Kg (Blakely et
al., 1991).
Barbari. Kambing ini berasal dari India bagian utara dan
Pakistan Barat. Kambing kecil bertanduk pendek, telinga kecil berdiri, bulu
pendek dengan warna beragam. Berat betina 27–36 Kg, produksi susu 0,7–1,3
Kg/hari dan hasil laktasi sampai 228 Kg selama 256 hari (Davendra et al., 1983).
Bangsa Kambing Perah Persilangan
Anglo Nubian. Kambing ini adalah persilangan antara kambing
Jamnapari dengan Nubian. Susu kambing ini mempunyai kadar lemak yang tinggi
rata-rata 5,6 %, sehingga disebut “Jersey
Cows in the Goat World” (Prihardi, 1997). Cirinya : warnanya beragam dengan
putih dan keabuan, garis muka cembung dan telinga menggantung, kaki panjang,
ambing menggantung jauh dari tanah, adaptasi baik, cocok hidup di daerah tropis
(Davendra et al., 1994).
Jawarandu atau Peranakan Etawah. Kambing ini hasil persilangan antara kambing
Etawah dengan kambing Kacang dengan ciri-ciri: bentuk tubuh dan sifat sama
dengan Etawah, tanduk mengarah kebelakang, ambing besar seperti botol, berat
tubuh 32–37 Kg, produksi susu 1–1,5 liter/hari (Murtidjo, 1993).
Bangsa Kambing Perah di Indonesia
Kambing Kacang. Kambing ini asli dari Malaysia dan Indonesia,
dengan tubuh kecil, kepala ringan, telinga pendek, tegak lurus mengarah keatas
depan, hitam dan coklat atau bercampur, berat tubuh 17–30 Kg, berbulu pendek
kecuali ekor dan dagu pada betina, pejantan panjang disekitar garis leher leher
pundak dan pantat, produksi susu 0,5 liter/hari (Murtidjo, 1993).
Recording
Recording
yang berarti catatan merupakan bagian yang
terpenting dalam tatalaksana (manajemen) pada suatu peternakan sapi perah. Recording sangat diperlukan karena
sebagian besar kejadian di peternakan tidak mungkin diingat oleh peternak
secara keseluruhan akibat keterbatasan ingatan manusia. Salah satu kelemahan
yang paling merugikan peternak sapi perah adalah apabila peternak tidak
mempunyai catatan mengenai segala kejadian pada sapi mereka (Eustice, 1988).
Tujuan pembuatan catatan yaitu untuk
mendapatkan informasi mengenai peternakan yang dikelola seperti riwayat sapi,
kesehatan produksi susu, deteksi birahi, IB, pakan dan sebagainya serta untuk
mengukur penggunaan dana, meningkatkan usaha dan sebagai bahan pertimbangan
pengambilan keputusan (Eustice, 1988).
Catatan produksi susu
Catatan produksi susu dapat berbentuk: catatan
produksi susu harian biasanya dibuat untuk susu gabungan seluruh sapi yang
diperah. Catatan produksi susu harian ini sangat penting karena memuat
informasi yang dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah kemampuan produksi
susu masing-masing sapi dan dapat dipantau puncak produksi susu (peak) yang
dicapai (Soetarno, 1999). Rata-rata produksi susu induk 6720 liter/laktasi
(Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Catatan reproduksi
Catatan reproduksi secara individu untuk
setiap sapi perah meliputi: perkawinan, pemeriksaan beranak, rencana
pengeringan, tanggal kelahiran, lama bunting, jenis kelamin pedet. Perlunya
diadakan catatan reproduksi adalah untuk mengatur pengembangan sapi agar dapat
melahirkan dengan jarak sedang (calving
interval) satu tahun (Soetarno, 1999).
Catatan asal-usul sapi
Catatan asal-usul sapi menunjukkan paling
tidak disebut data-data dari kedua tetuanya (induk dan ayah), namun lebih baik
apabila juga disebutkan data kakek/nenek sapi perah (Siregar, 1992).
Catatan kesehatan sapi perah
Kesehatan sapi perah perlu dilakukan
pengamatan setiap hari baik setiap individu maupun terhadap kawanan ternak, dan
data mengenai diagnosa dan pengobatan serta penanggulangan terhadap
masalah-masalah yang dialami seharusnya dicatat didalam buku catatan kesehatan
untuk membantu memberikan informasi penyakit yang paling banyak terjangkit
dalam kawanan ternak serta mengawasi masalah-masalah kesehatan bagi
masing-masing sapi kawanan tersebut (Siregar, 1992).
Fisiologi Alat Pencernaan
Sistem
pencernaan terdiri atas suatu saluran muskula
membranosa yang terentang dari mulut sampai anus. Fungsinya adalah
memasukkan, menggiling dan mencerna makanan serta mengeluarkan buangannya
berupa padat. Sistem pencernaan mengubah zat hara dalam makanan menjadi senyawa
lebih sederhana, sehingga dapat diserap dan dipergunakan sebagai energi,
membangun senyawa lain untuk metabolisme.
Sistem saluran pencernaan terdiri atas saluran yang dilapisi oleh membran mukosa yang menghubungkan kulit
luar yaitu pada mulut dan anus (Frandson, 1992).
Secara garis
besar saluran pencernaan pada ternak ruminansia dan ruminansia terdiri atas
mulut, oesophagus, lambung, small intestinum, large intestinum, sekum, rectum, anus, dan glandula aksesoria yang terdiri dari glandula saliva, hepar dan pankreas (Soetarno, 1995).
Diagram yang
disederhanakan dari tractus digestivus
ternak ruminansia adalah pakan dari mulut melalui oesophagus dan masuk ke dalam
rumen, dimana bahan tersebut bercampur dengan isi rumen yang telah ada dan difermentasikan oleh organisme rumen.
Sebagian pakan diregurgitasi, di mulut mengalami remastikasi dan reinsalivasi
kemudian ditelan kembali (redeglutisi) masuk kedalam rumen dan retikulum untuk
proses fermentasi lebih lanjut. Sisa pakan mengalir ke omasum dan abomasum.
Akhirnya pakan yang telah tercerna tadi masuk ke intestinum untuk pencernaan lebih lanjut dan absorbsi kedalam
aliran darah dan dikeluarkan sebagai feses (Sosroamidjoyo, 1978).
Bibir sapi agak
kurang pergerakannya dan kurang berfungsi dalam proses pengambilan dan pemasukan
makanan ke dalam mulut (prehension).
Organ yang sangat berperan dalam pengambilan makanan adalah lidah. Lidah sapi
panjang, kuat, mudah digerakkan, permukaan kasar dan mudah dilingkarkan pada
pakan hijauan yang kemudian dimasukkan di antara gigi seri dan bantalan gigi
pada bagian atas dan dipotong (Sosromidjoyo, 1978).
































































![]() |
![]() |
![]() |
|||||
![]() |
Retikulum
Usus Besar
Omasum
Gambar 1. Diagram skema bagian-bagian sistem pencernaan
pada ruminansia (Soetarno, 2003)
Mulut digunakan
untuk penggilingan makanan serta mencampurnya dengan saliva, dan berperan dalam mekanisme prehensik serta senjata defensif
atau offensif (Frandson, 1992).
Oesophagus merupakan kelanjutan dari pharinx yaitu
saluran muskular yang merentang dari pharinx
menuju kaudal dari perut. Rumen merupakan kantung muskular yang besar terentang
dari diafragma menuju ke pelvis dan hampir menempati sisi kiri dari rongga
abdominal (Frandson, 1992). Di dalam rumen, makanan yang masih kasar mengalami
fermentasi atas pengaruh bermacam-macam bakteri yang memecahkan selulosa dari
dinding-dinding sel tanaman sehingga zat makanan yang tertutup oleh dinding
selulosa tersebut dapat dikerjakan oleh enzim sehingga makanan menjadi lebih
lunak dan halus (Soetarno, 2003).
Retikulum
merupakan bagian perut yang paling cranival.
Pada bagian dalam diselimuti membran mukosa yang mengandung “interakting ridge” yang membagi
permukaan itu menjadi menyerupai sarang lebah (Frandson, 1992). Retikulum
letaknya berhadapan langsung di depan rumen, satu sama lain tidak terpisah sama
sekali sehingga partikel-partikel makanan bebas melewatinya (Soetarno, 2003).
Omasum merupakan
rongga saferis yang terisi oleh lamina muskular yang turun dari bagian dersum. Membran mukosa yang menutupi lamina ditebari papila-papila pendek dan tumpul untuk
menggiling hijauan. Letak dari omasum berada di sebelah kanan rumen dan
retikulum. Abomasum adalah suatu bagian glandula yang pertama dari sistem
pencernaan pada ruminansia dan terletak ventral dari omasum terentang kaudal
pada sisi kanan dari rumen (Frandson, 1992). Di dalam abomasum, makanan
dicampur dan dihancurkan oleh getah waduk yang mengandung HCl. Zat-zat protein
dari makanan dipecah enzim chymoseine
menjadi protease-protease dan pepton-pepton (Soetarno, 2003).
Usus halus
terbagi menjadi duodenum, jejunum dan illeum. Persambungan dari
ketiga bagian tersebut tidak terdapat batasan yang jelas. Duodenum merupakan
bagian pertama dari usus halus dan sangat dekat dengan dinding tubuh yang
dilanjutkan dengan jejunum dan
berakhir dengan illeum (Frandson,
1992).
Usus besar
terdiri dari secum berupa kantung buntu dan kolon bagian naik, mendatar dan
turun. Pada ruminansia besar, usus besar terdiri dari secum, kolon dan rectum.
Keadaan transversal menyilang dari kanan ke kiri dan berlanjut terus ke arah
kaudal menuju ke rectum dan anus, bagian terminal dari saluran pencernaan
(Frandson, 1992).
Rectum merupakan
bagian usus besar yang relatif halus dan menghubungkan usus besar dan anus
untuk menyimpan feses sementara. Sedangkan anus merupakan batas antara rectum
dan kulit luar sebagai saluran pengeluaran metabolisme
yang akan dibuang (Frandson, 1992).
Fisiologi Kelenjar Susu
Ambing atau
kelenjar susu terdiri dari empat kuarter yang tergantung dalam suatu bangunan
dan menempel pada dinding luar rongga perut pada daerah linguinal.
Masing-masing kuarter berdiri sendiri lengkap dengan saluran susunya dan
dipisahkan oleh dinding yang tebal disebut central
wall (ligamentum suspsorium medialis). Sekaligus salah
satu jaringan penggantungan kelenjar susu (Prihadi, 1997).
Dua kuarter
bagian depan biasanya berukuran sekitar 20 % lebih kecil dari kuarter bagian
belakang (Blakely et al., 1991).
Ambing bagian belakang menghasilkan susu 60 %, sedangkan bagian depan 40 % dari
jumlah susu yang dihasilkan (Prihadi, 1997).
Ambing terdiri
dari bagian-bagian kecil dari jaringan sekretorik yang tersusun dari alveoli.
Sejumlah alveoli bergabung menjadi satu oleh satu saluran dan terbungkus oleh
jaringan ikat membentuk lobulus. Sejumlah lobulus bergabung menjadi satu
membentuk lobus. Susu terbentuk dalam alveolus dan jaringan sekretorik akan
dikeluarkan melalui saluran kapiler menuju kedalam lobulus dan selanjutnya
terkumpul dalam lobus. Dari lobus melalui saluran-saluran yang akhirnya
bergabung menjadi saluran induk dialirkan menuju sistem ambing yang terdapat
diatas puting. Ujung puting sapi hanya mempunyai satu lubang (Syarief dan
Sumoprastowo, 1984).
Kapasitas
sisterna ambing bervariasi antara 100–400 gram susu. Ujung puting sapi hanya
mempunyai satu lubang yang disebut streak
canal, teat meatus atau ductus papillaris. Jaringan penyangga
ambing dibedakan menjadi 7 yaitu : kulit, fascia
superfisial, cordlike tissue, ligamentum suspensatorium lateralis,
bagian dalam ligamentum suspensatorium
lateralis, tendeo subpelvis, dan ligamentum suspensorium medialis
(Frandson, 1992).
Keluarnya air
susu dipengaruhi oleh hormon oxytocin. Hormon ini mempengaruhi sel-sel myoepithelium atau sel-sel epitel otot
dan menyebabkan kontraksi pada sel-sel tersebut. karena kontraksi tersebut maka
ambing kencang dan menurunkan susu. Hormon tersebut dikeluarkan kedalam
peredaran darah apabila ada rangsangan-rangsangan yang diterima oleh hewan dari
petugas perah (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Rate of milking seekor sapi sebagian tergantung pada besar teat meatus. Sapi yang mempunyai aliran cepat pada pemerahan
biasanya mempunyai teat meatus dengan
diameter yang besar. Teats cistein,
satu rongga dalam puting susu dapat menampung susu kira-kira 10-30 cc susu
tergantung besar kecilnya puting. Pada teats
cistein terdapat lipatan-lipatan yang kadang ada yang berupa membran
lengkap terbentang melintang dalam puting, sehingga puting menjadi buntu dan
susu tidak dapat keluar (Prihadi, 1997).
Puting memiliki
variasi bentuk, ada yang berbentuk silinder, kerucut, pensil dan ada pula yang
panjang maupun pendek. Puting yang normal memiliki warna yang bersih (tanpa
warna hitam) (Prihadi, 1997). Puting susu kambing bersatu atau bergantung pada
ambing bentuk simetris dan cukup besar ukurannya. Ambing besar rasanya lembut bila
dipegang dan mudah dilipat-lipat. Bulu yang tumbuh yaitu lembut dan halus. Di
bawah ambing ada urat pembuluh darah dan kulit ambing mengisut (Sarwono, 1997).
Perkandangan
Kandang sapi perah adalah tempat sapi dapat
beristirahat dengan tenang memberi perlindungan bagi sapi maupun pekerjanya,
terhindar dari air hujan, angin kencang dan teriknya sinar matahari. Dengan
perkataan lain, kandang harus dapat mengeliminer segala faktor luar yang dapat
menimbulkan gangguan sapi perah yang ada di dalamnya. Di samping faktor luar
tadi, hal-hal lainnya yang menyangkut pembuatan kandang perlu pula diperhatikan
(Siregar, 1995).
Kandang berfungsi sebagai tempat tinggal sapi dan pekerja
peternak-peternak yang mengurus sapi setiap hari. Saran pokok yang langsung
maupun tidak langsung turut menentukan berhasil tidaknya usaha sapi perah,
tempat yang memberi kenyamanan dari alam misalnya hujan, angin dan udara dingin
sehingga merupakan tempat pengawasan kesehatan ternak sapi perah (Syarief dan
Sumoprastowo, 1984).
Penempatan kandang disesuaikan dengan arus
angin, hal ini untuk mengantisipasi terjadinya kontaminasi dan penularan
penyakit, untuk itu tata letak kandang yang ditempati ternak muda yang ditempat
ternak yang telah dewasa (bagian hilir) dan jarak antara bangunan sejenis 5-10
m, dan jarak antar bangunan tidak sejenis 10-15 m (Siregar, 1995).
Lantai harus rata, kasar dan tidak tembus
air, cepat kering dan dapat tahan lama, untuk kemiringan lantai maka tiap
panjang 1 m turun 1 cm. Letak lantai harus miring kira-kira 10-15 derajat
kearah selokan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984) ditambahkan oleh Siregar (1995)
bahwa kemiringan lantai kandang 1 cm per 2 m2 (0,50).
Pengenalan Alat
Saat ini telah tercipta alat-alat
peternakan yang sangat membantu tugas-tugas peternak. Dengan alat tersebut
tugas-tugas peternak menjadi terkurangi dan dapat terselesaikan dengan waktu
yang lebih cepat (Blakely dan Bade, 1985).
Halter
Merupakan alat untuk membantu
pelaksanaan handling, dengan bentuk seperti rantai dan ikat pinggang yang
terbuat dari besi dan kulit. Alat ini dipasangkan dibagian muka ternak seperti pemakaian ikat
pinggang (Blakely dan Bade, 1998).
Branding
Merupakan alat
identifikasi dengan dua macam yaitu cap menggunakan besi panas (hot branding) dan besi beku (freeze branding). Hot branding, dengan cara memanaskan besi kode dan dicap pada tubuh
ternak selama lima detik. Freeze
branding, yakni menggunakan besi
tembaga yang disimpan didalam es kering (N cair) –196 ˚C. Kulit yang akan dicap
dicukur dan besi ditempelkan selama 30 detik (Blakely dan Bade, 1998).
Tatah dan Palu
Merupakan alat untuk pemeliharaan, berguna untuk
memotong kuku (Blakely dan Bade, 1998).
Pemotong Kuku Sapi
Alat
ini digunakan untuk pemeliharaan dengan ukuran relatif besar dan kurang
ekonomis (Blakely dan Bade, 1998).
Neck Chain
Merupakan
alat dari plastik atau logam berupa untaian rantai dan diberi kode dengan
mengalungkan pada ternak (Siregar, 1995).
Tatto Tang
Merupakan alat
identifikasi berupa tang yang pada penjepitnya terdapat jarum atau semacam paku
dengan pola tertentu berupa angka atau huruf. Alat ini dijepitkan pada telinga
dan bekas luka diolesi tinta (Siregar, 1995).
Ankle Strap
Alat identifikasi terbuat
dari kulit yang dipasang dipergelangan kaki ternak (Blakely dan Bade, 1998).
Tatto
Merupakan cara untuk
memberi ciri atau nomor pada sapi melalui penusukan kulit dengan alat seperti
jarum kemudian bekas luka diolesi tinta. Ukuran tinggi huruf atau angka tatto antara 0,6-1,25 cm. Tinta berupa
tinta Cina atau khusus. Tatto dibuat
di daerah yang berwarna terang dan waktu terbaiknya saat beberapa hari setelah
sapi lahir (Siregar, 1995).
Ear Tag Sapi
Alat
identifikasi dengan dipasang di telinga sapi. Bentuk seperti anting dari
logam atau plastik (Blakely dan Bade,
1998).
Ear Tag Kambing
Alat ini sama seperti
pemilikan sapi hanya ukurannya lebih kecil (Blakely dan Bade, 1998).
Ear Tag Tang
Merupakan
alat untuk memasang ear tag. Ear tag
dipasang pada tang lalu dijepitkan pada telinga ternak (Blakely dan Bade,
1998).
Ear Notch Tang
Alat untuk merobek daun
telinga dengan pola tertentu untuk identifikasi (Blakely dan Bade, 1998).
Bordizzo
Merupakan
alat untuk kastrasi. Bentuknya seperti catut untuk menghancurkan pembuluh
saluran air mani, sehingga testis akan mengecil dan tidak menghasilkan sperma
(Sarwono, 1997).
Mistar Ukur
Alat
ini terbuat dari besi untuk mengukur panjang badan absolut, panjang badan
relatif, tinggi gumba dan sebagainya (Blakely dan Bade, 1998).
Pita Ukur
Merupakan alat bantu dalam
penafsiran berat badan yang terbuat dari plastik dengan skala inchi dan cm
(Siregar, 1995).
Mastitis Detector
Alat ini untuk mendeteksi
penyakit mastitis yang berbentuk teropong hitam dengan cara memasukkan sampel
susu dan diamati (Blakely dan Bade, 1998).
Pita Ukur Korelasi
Alat berupa pita yang
terdiri dari ukuran panjang dan berat badan untuk mengukur lingkar dada dan
untuk mengetahui berat badannya. Pita ukur korelasi antara lain Dairy Cow Weighting Tape (DWT) dan Swine Weight Tape (Williamson dan Payne,
1993).
Heat Mount Detector
Alat
yang digunakan untuk mendeteksi birahi yang dipasang di punggung ternak betina
(Williamson dan Payne, 1993).
Timbangan Ternak
Alat yang digunakan untuk
menimbang ternak (Williamson dan Payne, 1993).
Mesin Perah Otomatis
Mesin ini menggunakan suatu tekanan negatif atau
hampa untuk mengeluarkan susu dan mengurut ambing. Pemerahan menggunakan dua
sistem hampa udara yaitu hampa kontinu dan hampa kering (Blakely dan Bade,
1998).
Tail Tag, Flank Tag dan
Brisket Tag
Merupakan alat
identifikasi dengan pemakaian masing-masing berurutan yakni dikenakan pada ekor
sapi, paha sapi dan perut sapi yang berbentuk sabuk (Williamson and Payne,
1993).
Perawatan Ternak Perah
Perawatan pedet
Meskipun banyak peternakan
sapi perah yang memperoleh sapi-sapi untuk peremajaan dengan cara membeli dari
luar, banyak pula petarnak yang membesarkan sendiri pedet-pedetnya yang akan
digunakan untuk maksud itu. Oleh karena itu, perawatan pedet mulai saat lahir
sampai disapih, menjadi suatu bagian yang penting dalam tata laksana peternakan
sapi perah (Blakely dan Bade, 1998).
Agar pedet yang dilahirkan
sehat dan kuat maka 6-8 minggu sebelum kelahiran, pemerahan dihentikan dan 2-3
minggu sebelum kelahiran dilakukan “Challenge
Feeding Program” yaitu sapi diberi tambahan pakan konsentrat untuk
persiapan kelahiran, serta hijauan yang diberikan berkualitas tinggi.
Diharapkan induk setelah melahirkan menghasilkan kolostrum sebagai sumber zat pelindung atau anti bodi serta vitamin
A dan D untuk pedetnya (Soetarno, 1999).
Menurut Soetarno (1999), setelah pedet dilahirkan
dilakukan tindakan sebagai berikut: (1) Pedet dipindahkan ditempat yang aman
dan diberi alas jerami. (2) Segera bersihkan lendir yang ada di hidung dan
mulut pedet. (3) Apabila pedet belum dapat bernafas dapat dibantu nafas bantuan
yaitu dengan menekan pada bingkat dada dan melepaskan lagi berkali-kali, atau
mengangkat/ menggerakkan kaki depan. Adakalanya pernafasan itu terganggu adanya
lendir yang terdapat di dalam mulut dan tenggorokan maka lidah ditarik keluar
dan lendir dikeluarkan dari mulut dan tenggorokan dibersihkan dengan jari
telunjuk. (4) Setelah pedet bernafas, oleskan/masukkan larutan Iodin 7 % ke
dalam potongan tali pusar agar badan pedet tidak kemasukan bibit penyakit
melalui tali pusar. (6) Tahap selanjutnya pedet dipindahkan di kandang pedet
observasi. Waktu memindahkan pedet ke kandang pedet sebaiknya diusahakan agar
induknya tidak mengetahui dimana anaknya ditempatkan, agar induk segera
melupakan anaknya.
Pedet sewaktu lahir tidak
memiliki kekebalan tubuh melawan penyakit, oleh karena itu 30-60 menit setelah
lahir pedet segera diberi minum kolostrum
(Soetarno, 1999). Kolostrum sangat
penting bagi pedet karena: (a) Kolostrum
menjadi imunoglobulin cukup tinggi
berfungsi sebagai antibodi yaitu semacam zat yang dapat memberikan kekebalan
tubuh terhadap penyakit. (b) Kolostrum mengandung
vitamin A dalam jumlah banyak dan sangat dibutuhkan oleh pedet untuk
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. (c) Kolostrum mengandung nutrien yang cukup lengkap dan dalam jumlah
yang cukup tinggi. (d) Mengandung zat Laxantia
atau zat pencahar yang membantu mempermudah pengeluaran kotoran yang
pertama (Ailumlamai, 1999).
Menurut Eustice (1988), menyatakan bahwa pemberian
kolostrum dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu: (1) Nipples Bottle
Feeding, kolostrum dimasukkan kedalam botol khusus yang dilengkapi dengan
dot sehingga seolah-olah pedet menyusu ke induknya. (2) Nipples Pail Feeding, merupakan suatu cara pemberian kolostrum
dengan hanya menggunakan ember yang hanya dilengkapi dengan dot, kelemahannya
bila pedet tetap menyedot bila susu sudah habis maka akan menyebabkan kembung
pada pedet. (3) Pil Feeding (Open Pail), merupakan
suatu metode pemberian kolostrum hanya
dengan menggunakan ember, sehingga pedet memerlukan latihan dengan cara
menyelupkan jari tangan ke dalam mulut pedet agar dihisap. Selama pedet
menghisap jari-jari tangan, secara perlahan jari tangan tadi dibawa ke ember
sehingga mulut pedet sebagian masuk ke dalam ember yang berisi kolostrum. Cukup dilakukan dua kali maka
pedet akan terbiasa minum kolostrum dari ember.
Setelah umur satu minggu pedet dilatih untuk
mengkonsumsi hijauan dan konsentrat yang bertujuan untuk menstimulasikan
perlambungan rumen, pemberian air harus diganti secara rutin dan pada umur ini
juga dapat dilakukan pemberian identifikasi dengan cara ear tag ataupun tatto
(Ailumlamai, 1999).
Perawatan pedet dari umur satu bulan sampai lepas
sapih adalah dengan melakukan dehorning
yang dilakukan ketika pedet berumur dua bulan (Ailumlamai, 1999). Definisi dehorning menurut Ailumlamai (1999)
adalah penghilangan tanduk dalam usaha sapi perah yang bertujuan komersial yang
perlu dilakukan agar sapi tidak merusak kandang dan peralatan, selain itu agar
tidak membahayakan pekerja. Karena ternak yang bertanduk memiliki kecenderungan
untuk berkelahi serta melukai ternak lain.
Perawatan Sapi Dara
Periode pemeliharaan sapi
dara dari saat disapih sampai beranak pertama kali secara alami dibagi menjadi
dua tingkatan, yaitu periode dari saat disapih sampai mulai dikawinkan dan
periode mulai dikawinkan sampai melahirkan pertama (Reksohadiprojo, 1995).
Tujuan dalam memelihara
sapi dara agar dapat mencapai pertumbuhan maksimum dan perkembangan serta
dewasa kelamin awal dengan biaya yang paling rendah. Makanan dari hijauan yang
berkualitas tinggi seperti tunas-tunas leguminosa akan menjamin bahwa mereka
akan tumbuh pada tingkat yang meyakinkan (Blakely dan Bade, 1998). Meskipun
pengaruh dari iklim luar penting, di daerah tropis yang basah, cara pengelolaan
padang penggembalaan masih merupakan faktor utama dalam pertumbuhan sapi
dara (Pane, 1986).
Ailumlamai (1999),
menyatakan bahwa catatan rata-rata pertumbuhan yang dicapai pada periode sapi
dara tidak boleh kurang dari 270 kg untuk bangsa sapi persilangan atau 300 kg
untuk bangsa sapi murni pada perawatan
awal. Apabila telah mencapai 15-18 bulan, maka sapi dara tersebut dapat
dikawinkan. Bila sapi dara dikawinkan terlalu awal, maka akan menyebabkan pedet
yang lahir kurang sehat karena pertumbuhan induk belum sempurna, baik secara
fisik maupun pada sistem reproduksinya. Ditambahkan oleh Pane (1986), sapi dara
yang dikawinkan terlalu dini dapat menurunkan jumlah produksi susu sehingga
kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup anak yang dilahirkan, tetapi jika ditunda,
maka akan meningkatkan biaya pemeliharaan.
Perawatan Sapi Laktasi
Idealnya lama laktasi yang normal adalah 305 hari
dengan 60 hari masa kering. Biasanya masa laktasi menjadi lebih pendek apabila
sapi terlalu cepat dikawinkan lagi setelah kelahiran atau dikeringkan karena
suatu penyakit (Blakely dan Bade, 1998).
Menurut Soetarno (1999),
sapi perah dalam satu masa laktasi memiliki 3 periode yaitu: (a) Periode awal
laktasi yaitu masa yang paling kritis, terjadi pada saat mulai menghasilkan
susu. (b) Periode laktasi tengah mengalami masalah yaitu menurunnya susu dan
tes lemak rendah. (c) Periode akhir laktasi, susu akan makin menurun.
Penurunan produksi setelah
mencapai puncak laktasi kira-kira besarnya 6% tiap bulan. Dengan menurunnya
produksi susu kebutuhan gizi juga menurun dan tentunya pemberiaan pakan sapi
juga harus menyesuaikan agar tidak terjadi pemborosan (Blakely dan Bade, 1998).
Sapi perah setelah
melahirkan biasanya ingin minum. Hendaknya air minum yang diberikan adalah
hangat-hangat kuku. Kira-kira setengah jam setelah melahirkan, susu sudah dapat
keluar. Bila susu belum keluar dapat disuntikkan hormon oxytocin atau meminta pertolongan dokter hewan (Siregar, 1990).
Air susu yang baru keluar
disebut kolostrum yang mengandung
vitamin A, mineral Ca dan P, serta anti bodi yang harus diberikan pada pedet
selama empat hari karena sangat berguna untuk pertumbuhan dan kesehatan yang
baru lahir (Siregar, 1990).
Perawatan Sapi Kering
Kira-kira dua bulan sebelum melahirkan, sapi
dikeringkan atau dihentikan pemerahannya. Tujuannya adalah untuk
mengistirahatkan dan pemulihan kondisi kelenjar susu yang telah diperah selama
laktasi dan untuk pertumbuhan fetus sapi yang dikeringkan dipisahkan dari
kelompok sapi yang baik atau kalau tidak, diberikan pakan dengan pilihan bebas
seperti jerami, silase dengan jumlah yang sesuai kebutuhan. Konsentrat pada
umumnya diberikan bila perlu saja guna mempertahankan komoditi sapi dalam 2
bulan terakhir pada masa kebuntingan. Pada tiga hari menjelang melahirkan sapi
ditempatkan pada suatu kandang ukuran sempit yang sesuai dengan iklim setempat
(Blakely dan Bade, 1998).
Menurut Anonimus (1991),
ada tiga metode pengeringan yang dapat dilakukan yaitu: (1) Pemerahan
berselang. Sapi hanya diperah satu kali sehari kemudian satu kali dua hari,
hari berikutnya tidak diperah dan akhirnya pemerahan dihentikan atau tidak
diperah sama sekali. (2) Pemerahan tidak lengkap. Pemerahan tidak dilakukan
setiap hari dan tidak semua puting diperah. Hal ini dilakukan setiap hari dan
akhirnya tidak dilakukan sama sekali. (3) Pemerahan dihentikan tiba-tiba.
Pengeringan dilakukan secara tiba-tiba dengan penghentian konsentrat dan
pengurangan pemberian hijauan.
Pemberian Pakan
Beberapa tipe
dan kombinasi pakan dari ternak perah akan menghasilkan kesehatan yang baik dan
produksi susu yang tinggi. Pakan yang khusus tidak penting, lebih baik adalah
ada keseimbangan nutrien yang cukup (baik) seperti energi protein, mineral dan
vitamin dalam bentuk yang sesuai dengan membedakan ransum yang baik daripada bagian
yang jelek (Bath et al., 1985).
Sapi perah
merupakan ternak ruminansia maka ransum sapi perah sebaiknya terdiri dari
hijauan, legum dan non legum yang berkualitas baik (dalam kondisi segar atau
jerami) dengan konsentrat yang tinggi kualitas serta palatabilitasnya sebagai
suplemen terhadap hijauan tadi, sehingga dapat dicapai produksi susu yang
maksimum. Meskipun semua nutrien itu penting, hal utama yang memerlukan
perhatian peternak adalah energi (Blakely dan Bade, 1991).
Penyusunan
ransum sapi yang sempurna perlu diperhatikan 3 hal, yaitu ransum harus
mengandung karbohidrat, lemak sebagai sumber energi, maupun protein serta
vitamin maka untuk dapat memenuhi semua kebutuhan itu pakan atau ransum harus
disusun dari bermacam-macam bahan makanan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Selain hijauan
dan konsentrat, garam dapat diberikan bersamaan dengan makanan penguat sebagai
perangsang nafsu makan yang membantu proses pencernaan, serta tidak kalah
pentingnya adalah air, yang diberikan adalah air segar yang bersih dan
disediakan tidak terbatas atau ada libitum (Anonimus, 1985).
Menurut
Anonimus (1985), pakan atau ransum perah disusun menurut berat badan, produksi
dan kadar lemak susu. Pemberian pakan harus memenuhi kebutuhan untuk hidup
pokok dan kebutuhan produksi. Adapun nilai gizi yang diperhitungkan berdasarkan
tabel NRC (1978) adalah meliputi NEL (Mcal), CP (g), Ca (g) dan P (g) yang
semua itu dihitung berdasar bahan kering.
Pakan untuk
sapi perah dibagi 4 periode yaitu: pakan untuk pedet, pakan untuk sapi umur 4-8
bulan, pakan untuk sapi umur 8 bulan sampai dewasa dan pakan sapi dewasa yang
berproduksi (Diggins dan Bundy, 1979).
Pakan pedet
Pedet yang baru lahir biasanya hanya diberi
kesempatan satu kali menyusu pada induknya, kemudian induk tersebut diperah dan
dikumpulkan dengan induk yang berproduksi lainnya. Susu yang dikeluarkan
setelah lahir merupakan makanan utama pada pedet untuk mendapatkan kekebalan
atau antibodi yang berfungsi untuk melindungi pedet dari pengaruh penyakit.
Sapi membutuhkan kolustrum sebanyak 2 kg setelah lahir (Blakely dan Bade,
1998).
Pakan sapi dara
Pakan
untuk sapi umur 4-8 bulan. Sapi umur ini tidak diberi susu
lagi, jumlah rumput yang diberikan sehari kurang lebih 10 kg. Pemberian pakan
penguatan harus dibatasi karena pada umur ini kemampuan mencerna serat kasar
belum sempurna (Anonimus, 1985).
Pakan
untuk sapi umur 8 bulan sampai dewasa. Pada
saat sapi sudah mampu mencerna bahan makanan berserat kasar tinggi, karena daya
cerna sudah sempurna, pemberian pakan hijauan (rumput) sebanyak 20
kg/ekor/hari. Pemberian pakan penguat 2-3 kg/ekor/hari (Henderson dan Reaves,
1963).
Pakan untuk sapi dewasa yang
berproduksi (sapi laktasi)
Pakan sapi-sapi
perah yang berproduksi disusun menurut berat badan sapi, produksi dan kadar
lemak susu. Pakan hijauan merupakan pakan tambahan yang berfungsi sebagai
pelangkap (Anonimus, 1985).
Pakan Sapi Kering
Tujuan selama periode kering adalah memelihara
sapi dalam kondisi baik tetapi tidak membiarkan sapi menjadi gemuk. Sapi kering
menghentikan susu selama 2 bulan dapat dianggap sebagai sapi yang tidak
produktif. Setiap usaha sebaiknya dibuat untuk menentukan jumlahnya secara
minimum, kecuali sistem pengelolaan diambil dimana sapi yang menghasilkan susu
dikeringkan lebih awal tetapi harus dikelola dengan bagus selama periode
keringnya untuk menjamin produktivits yang tinggi pada periode laktasi
berikutnya (Williamson dan Payne, 1993).
Masa kering juga merupakan masa paling
penting bagi sapi perah dalam arti perlu perhatian serius dalam pemberian pakan
dan perawatan yang tepat. Bila tidak dikeringkan sekurang-kurangnya 1,5 bulan
sebelum beranak kembali produksi susu berikutnya akan menurun dan bila sapi
telah bunting 7,5 bulan masih menghasilkan susu (5 liter per hari). Sedangkan
sapi harus dikeringkan maka cara-cara pengeringan sapi perah antara lain
pertama pemerahan berselang yang kedua pemerahan yang tidak lengkap (Soetarno,
1999).
Pemerahan
Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan jumlah
susu maksimal diambilnya. Apabila pemerahan tidak sempurna, sapi induk
cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi totalnya menurun.
Jika periode yang digunakan terlalu panjang untuk menghasilkan susu, biaya
persatuan berat dari hasil susu akan meningkat. Pedoman pertama dari teknik
pemerahan terutama bila memerah sapi dara untuk pertama kalinya adalah mencegah
sapi menjadi gelisah atau ketakutan. Pedoman kedua adalah pemerahan dilakukan
dengan cepat dan sempurna (Payne, 1986).
Pemerahan dapat dilakukan dengan dua macam yaitu dengan
mesin (machine milking) dan dengan
tangan (hand milking). Pemerahan di
Indonesia sebagian besar dilakukan dengan tangan (Sindhuredjo, 1960). Adapun
syarat-syarat pemerahan yaitu pemerah harus kuat dan sehat, tidak menderita
penyakit menular (TBC, kudis dan lain-lain), memiliki kecintaan pada sapi dan
ramah, suka kebersihan, memiliki sifat jujur dalam melakukan pemerahan (Syarief
dan Sumoprastowo, 1984). Syarat-syarat pemerahan guna mendapatkan susu yang
benar-benar bersih dan sehat antara lain dilakukan pemeriksaan terhadap
penyakit menular, kesehatan dan kebersihan para pekerja, kebersihan sapi yang
diperah, kebersihan alat dan tempat yang dipakai untuk memerah, waktu pemerahan
harus tetap, jangan berubah-ubah (Anonimus, 1985).
Pemerahan susu dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu fase
persiapan, fase pemerahan, dan fase penyelesaian (Syarief, 1984).
Fase persiapan
Sebelum diperah sapi harus
dalam keadaan tenang dan harus dicegah adanya kegaduhan di sekitarnya, juga
kebiasaan-kebiasaan yang tidak dilakukan harus dihindarkan, misalnya
penggantian tempat, penggantian pemerah, perubahan waktu pemerahan, karena hal
tersebut dapat menurunkan produksi susu (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Tempat sekitar sapi harus bersih dari kotoran-kotoran
atau sisa makanan yang berbau, sebab susu mudah menyerap bau-bauan sehingga
akan menurunkan kualitas susu (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Bagian di daerah lipatan paha sampai belakang dicuci
untuk mencegah kotoran yang melekat pada bagian-bagian tersebut tidak jatuh ke
dalam susu saat pemerahan. Ujung ekor diikat dengan tali ke salah satu kakinya
untuk menghindarkan pengotoran susu karena sering menggerakkan ekor sewaktu
diperah (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Selanjutnya ambing dicuci dengan air hangat untuk
mengurangi pencemaran bakteri. Untuk merangsang air susu dapat dilakukan dengan
meraba dan memijat ambing (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Fase pemerahan
Pada umumnya sapi diperah 2 kali sehari, yaitu
pagi dan sore hari. Usahakan pemerahan dilakukan pada waktu yang sama setiap
hari. Sebelum memerah hendaknya jari-jari diolesi dengan minyak kelapa atau
vaselin supaya agak licin, sehingga puting tidak lecet/ luka. Selanjutnya
dikatakan, pemerahan dengan tangan dapat dilakukan dengan beberapa cara
(Syarief dan Sumoprastowo, 1984):
Strippen (mengurut puting). Dengan menggunakan cara memegang pangkal
puting susu antara ibu jari dan jari
tangan lainnya, lalu kedua jari tersebut ditekan dan ditarik ke bawah sehingga
susu keluar (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Knevelen. Dengan menggunakan kelima jari tangan puting susu dipegang antara ibu
jari dengan keempat jari lainnya. Puting susu ditekan dengan ibu jari dan
keempat jari lainnya sampai susu keluar (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Whole hand milking. Pemerahan dengan saluran tangan. Dilakukan untuk
puting yang agak panjang. Cara ini adalah cara yang terbaik sebab puting tidak
menjadi panjang (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Fase Penyelesaian
Setelah diperah, tali pengikat ekor dilepas
dan susu dibawa ke kantor susu untuk menghindari agar susu tidak terkontaminasi
oleh bau-bauan atau bakteri (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Hal-hal yang mempengaruhi banyaknya produksi susu
adalah:
Faktor kecepatan
pemerahan. Turunnya
susu dipengaruhi oleh hormon oxitocin
yang dihasilkan oleh glandula pituitary
pars posterior. Pengaruh hormon ini paling efektif + 8 menit. Untuk
itu pemerahan harus pada waktu itu juga. Faktor kebiasaan dan suasana gaduh
akan mempengaruhi jumlah produksi susu.
Faktor pergantian
pemerah. Sapi
perah yang produksinya tinggi, akibat pemerahan dilakukan orang yang berbeda
dapat mengakibatkan stress. Pada umumnya sapi sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan, termasuk pergantian pemerah, faktor frekuensi pemerahan.
Sapi-sapi yang diperah tiga kali sehari produksinya lebih banyak dibandingkan
pemerahan dua kali sehari. Pemerahan dengan interval 8 jam hasilnya akan
mencapai 15-20 % lebih banyak dari dua kali sehari yang hasilnya 25-30 % lebih
banyak dibandingkan yang empat kali sehari (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Ambing susu normal terdiri atas 4 bagian kelenjar
yang terpisah satu sama lain. Pada umumnya setengah kuartir yang belakang lebih
besar daripada setengah kuartir depan, sehingga susu yang dihasilkan juga lebih
banyak dari bagian belakang. Perbandingan produksi susu kuartir depan dan
belakang 40% : 60%. Bagian kiri dan kanan sama saja. Ambing harus cukup besar,
bentuknya bagus, simetris bagian depan dan belakang, terpaut pada dinding
perut, putingnya harus cukup besar untuk memudahkan pemerahan, menggantung
lurus ke bawah dan tidak terlalu berdekatan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Pendugaan Umur
Penafsiran umur
sangat bermanfaat pada saat peternak melakukan seleksi pada ternak guna
dipelihara maupun diperjualbelikan, sehingga peternak dapat mengetahui usia
ternak dan menghindari penipuan. Metode penafsiran umur pada sapi ada dua macam
cara, yakni metode pergantian gigi sapi dan metode pertambahan lingkar tanduk.
Metode gigi sapi mencakup pertumbuhan, pergantian dan keterasahan gigi ternak.
Ada tiga periode yang dialami gigi ternak yaitu adanya gigi susu, pergantian
gigi susu menjadi gigi tetap dan keterasahan gigi (Murtidjo, 1992). Hal ini
dilakukan karena pemunculan setiap pasang gigi seri pada pedet berlangsung
kira-kira pada waktu yang sama, sehingga dapat digunakan dalam indikasi umur
sapi. Penafsiran umur tersebut merupakan suatu perkiraan sebab perbedaan umur
sebanyak 16 bulan mungkin didapat pada sapi dengan melihat gigi pada
perkembangan yang sama. Penilaian harus dibuat untuk variasi selama 6 bulan
(Williamson dan Payne, 1993).
Umur juga
berguna untuk menentukan lamanya sapi perah tersebut digunakan dalam
menghasilkan susu. Penafsiran umur dapat dilakukan dengan berbagai cara antara
lain melalui recording yaitu dengan
catatan kelahiran pada sapi tersebut, wawancara dengan pemilik sapi, mengamati
tali pusar, dengan melihat keterasahan gigi seri susu, melihat cincin tanduk,
mengamati pergantian gigi seri susu menjadi gigi permanen atau mengamati
keterasahan gigi seri permanen (Poespo, 1963).
Pengamatan
dengan tali pusat menunjukkan bila tali pusat telah mulai mengering sapi
berumur antara 4-5 hari, jika telah kering sapi diperkirakn berumur 14 hari,
bila telah putus berumur sekitar 18 hari. Sedangkan penafsiran umur dengan
melihat cincin tanduk, memakai rumus Y = X + Z, dengan Y adalah umur sapi
(tahun), X adalah jumlah cincin tanduk dan Z adalah perkiraan pertama kali
beranak (Poespo, 1963).
Cara untuk
melihat keadaan gigi sapi adalah dengan mendekati sapi lalu pegang tali keluh
dan tali tambat, kemudian tangan dimasukkan melalui bagian mulut yang tidak ada
giginya (diastema), pegang lidah dan
ditarik keluar hingga kelihatan giginya dan diamati gigi tersebut.
Tabel 1.
Penafsiran umur berdasarkan gigi susu
No
|
Gigi yang Tumbuh
|
Penafsiran Umur
|
1
|
Id1
|
7 - 14 hari
|
2
|
Id2 -
Id3
|
14 – 25 hari
|
3
|
Id4
|
25 – 30 hari
|
Tabel
2. Penafsiran umur berdasarkan
tergoresnya gigi seri susu
No
|
Gigi Seri Susu
|
Keadaan
|
Penafsiran Umur
|
1
|
Id1
|
tergores
|
1,5 bulan
|
2
|
Id2
|
tergores
|
2 bulan
|
3
|
Id3
|
tergores
|
2,5 bulan
|
4
|
Id4
|
terasah ¼
|
10 – 12 bulan
|
5
|
Id2 +
Id3
|
terasah ½
|
15 bulan
|
6
|
Id4
|
terasah ½
|
17 bulan
|
Tabel 3. Penafsiran umur
berdasarkan pergantian gigi seri susu menjadi permanen
No
|
Gigi Seri Susu
|
Gigi Seri Permanen
|
Penafsiran Umur
|
1
|
Id1
|
I1
|
1,5 – 2 tahun
|
2
|
Id2
|
I2
|
2 – 2,5 tahun
|
3
|
Id3
|
I3
|
3 – 3,5 tahun
|
4
|
Id4
|
I4
|
3,5 – 4 tahun
|
Tabel 4. Penafsiran umur berdasarkan keterasahan
gigi seri permanen
No
|
Gigi Seri Permanen
|
Keadaan
|
Penafsiran Umur
|
1
|
I4
|
terasah ¼
|
5 tahun
|
2
|
I4
|
terasah 1/3
|
6 tahun
|
3
|
I4
|
terasah ½
|
8 tahun
|
4
|
I4
|
terasah penuh
|
9 tahun
|
Tabel 05. Penafsiran umur
berdasarkan bentuk bidang asah dan keadaan gigi
No
|
Gigi Seri Permanen
|
Keadaan
|
Penafsiran Umur
|
1
|
I4
|
bidang asah cincin
|
10 tahun
|
2
|
I4
|
bidang asah kotak
|
12 tahun
|
3
|
I4
|
bidang asah
lonjong
|
16 tahun
|
4
|
I4
|
Mulai renggang,
renggang sekali, dan tanggal
|
18 tahun
|
(Poespo, 1963)
Gigi tersusun
atas tiga bagian yaitu mahkota, leher dan akar. Bentuk dan besar gigi dari
mahkota atas sampai bawah tidak sama, begitu pula lubang mahkota, leher dan
akar. Perbedaan inilah yang akan menimbulkan bidang gesekan yang berbeda. Hal
ini akan menunjukkan perbedaan umur disamping pertumbuhan gigi itu sendiri
(Sosroamidjoyo, 1978).
Pendugaan
Berat Badan
Tafsiran berat
badan sapi merupakan salah satu cakupan ketrampilan yang menjadi tuntutan bagi
petani peternak. Dengan taksiran yang baik orang bisa mengetahui patokan harga
ataupun pembelian sapi (Murtidjo, 1992).
Pengukuran berat
badan orang lazim dilakukan dengan mistar dan pita ukur. Pengukuran ini
dilakukan dengan mengatur dulu posisi sapi perah dengan tegak sehingga keempat
kakinya terletak dalam bidang datar dalam bentuk empat persegi panjang
(Siregar, 1995). Penafsiran berat badan ini memiliki tujuan perdagangan,
menentukan dosis obat yang tepat dan tujuan menyusun ransum (Gufron, 1976).
Penafsiran berat
badan dilakukan dengan mengukur panjang tubuh/panjang badan absolut dan lingkar
dada pada posisi paralellogram. Pengukuran harus dilakukan ditempat yang datar
untuk melihat ada tidaknya kesalahan dari kedudukan anggota tubuh. Setelah
diperoleh data yang diperlukan lalu digunakan rumus-rumus berikut. Rumus yang
digunakan antara lain metode Scheiffer :
W =

Dengan W adalah
berat badan (pounds), L adalah panjang badan (inchi), dan G adalah lingkar dada
(inchi).
Rumus ini jarang
kesalahannya melebihi 10 % dari berat badan sesungguhnya (Gufron, 1976). Rumus
Scheiffer lalu oleh Lambourne dijabarkan :
W = 

Dengan W adalah
berat badan (Kg), G adalah lingkar dada (cm),
dan L adalah panjang badan (cm).
Besarnya
persentase kesalahan metode Lambourne adalah kurang lebih 5 % (Williamson dan
Payne, 1993).
Rumus yang
relevan atau mendekati kebenaran dibanding yang lain adalah rumus Schrool,
karena perhitungan dengan rumus Schrool lebih mendekati kebenaran. Berdasarkan
pengalaman di lapangan hasil pengukuran lebih besar sekitar 1,5 % - 32,6 % dari
berat badan sebenarnya. Rumus Schrool yakni :
W = 

Dengan W adalah
berat badan (Kg) adalah G adalah lingkar dada (cm) (Siregar, 1995).
Rumus ini
memiliki kesalahan penafsiran tidak lebih dari atau sama dengan 22,3 %
(Williamson dan Payne, 1993).
Korelasi adalah
hubungan antara variabel satu dengan yang lain, sedangkan yang termasuk ukuran
tubuh antara lain panjang badan dan lingkar dada. Ukuran lingkar dada atau
bulat rusuk adalah ukuran langsung melalui belakang olecranon ulnae antara hasta ketiga dan keempat tepat dibelakang angulus scapulae atau keliling dari dada
yang diukur dengan melingkarkan pita ukur pada bagian dada dibelakang bahu
(Lasley, 1981).
Selain
menggunakan ketiga rumus diatas, penafsiran berat badan dapat pula dengan pengamatan visual yakni
memperkirakan dengan diamati. Cara lain dengan menggunakan Dairy Cow Weighting Tape (DWT) yakni melingkarkan pada sternum 3-4 dan angka yang ditunjuk pada
pita ukur tersebut menunjukkan berat badan. Selain itu dengan penimbangan
ditimbangan ternak/neraca. Besar atau kecil, stasioner atau portabel, timbangan
merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam teknik-teknik pengukuran (Blakely
et al., 1998).
Besarnya
persentase kesalahan dapat diketahui dengan rumus :
% kesalahan = 

Berat sebenarnya
dapat diketahui dengan penimbangan langsung. Persentase kesalahan karena faktor
posisi ternak yang tidak paralelogram atau yang lainnya.
Handling dan Exercise
Handling
Handling merupakan usaha penanganan
ternak semudah mungkin guna memperlancar segala aktivitas yang dilakukan
peternak. Handling dilakukan untuk mencegah gerakan yang mengakibatkan ternak
kaget (Siregar, 1995). Agar sapi lebih jinak maka dapat dipasang tali keluh.
Tali keluh dimasukkan menembus hidungnya dan kemudian diikatkan pada tali
leher. Apabila sapi tanpa tali keluh, maka untuk mempermudah penanganan sapi
bisa dipasangkan halter pada
kepalanya (King, 1978).
Handling harus dilakukan dengan baik
sehingga ternak tidak mengalami cidera. Tindakan kasar akan mengakibatkan
ternak berontak atau beringas selain itu ternak mengalami ketakutan (Sarwono,
1997).
Khusus untuk handling sapi, jangan
berdiri di samping kaki belakang agar tidak tersepak. Sapi pejantan yang
berumur lebih dari 1 tahun seringkali beringas ketika dikeluarkan dari kandang
sehingga perlu diberikan cincin hidung, demikian pula pada sapi yang berumur 10
bulan. Sapi yang tidak dikeluh penguasaan ternak dapat memakai halter (King, 1978).
Pelaksanaan
handling perlu pengalaman dan ketrampilan, oleh karena itu perlu
latihan-latihan saat handling diperlukan ketenangan dan kehati-hatian sehingga
mendorong kepercayaan ternak pada manusia. Kegugupan dan keragu-raguan dapat
menyebabkan ternak takut (Siregar, 1995). Pada laktasi pertama sapi betina akan
menyepak saat diperah dan dicegah dengan meletakkan ekor sapi diantara kaki belakang,
lalu dilingkarkan pada bagian kakinya, atau bisa juga dipasang sabuk pemerahan
(King, 1978).
Exercise
Exercise merupakan kesempatan yang
diberikan kepada ternak untuk memperoleh udara segar atau olahraga cukup
sehingga kesehatan dan kesegaran sapi tetap terjaga, biasanya dilakukan pada
sapi-sapi yang sepanjang harinya hanya dikandangkan (King, 1978). Exercise
memberikan keuntungan yaitu otot-otot memperoleh latihan sehingga memperlancar
peredaran darah, menjaga kesehatan sapi, menjaga bentuk dan posisi kuku sapi
supaya tetap baik. Exercise dilakukan dengan melepas sapi dilapangan selama 1-2
jam, agar bisa bergerak leluasa dan mendapat sinar matahari yang cukup.
Exercise dilakukan setelah sapi dimandikan (Siregar, 1995).
Waktu yang ideal untuk exercise adalah
antara jam 07.00-10.00 karena pada jam-jam tersebut matahari bersinar tidak
terlalu terik sehingga ternak tidak mengalami stress karena panas dan juga
rumput yang dimakan sapi sudah kering dari embun sehingga sapi terbebas dari
cacing yang ada didalam rumput (Eustice, 1988).
Exercise dipagi hari memberikan
manfaat yaitu ternak mendapat sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet
sebagai desinfektan dan mengubah pro vitamin D menjadi vitamin D (Sarwono,
1997). Exercise yang kurang pada sapi bunting akan menyebabkan gangguan
pengeluaran foetus saat melahirkan. Gangguan ini disebut prolapsis uterus atau retentio
secundinarum. Penyakit setelah
melahirkan akan mengganggu produksi susu dan mengurangi kesuburan (Toelihere,
1987).
Pengukuran
Data Fisiologis dan Lingkungan
Pulsus. Pulsus (denyut
jantung) terjadi karena adanya aktivitas jantung dalam memompa darah ke seluruh
jaringan jantung merupakan dua pompa yang menerima darah ke dalam bilik-bilik atrial dan kemudian memompakan darah
tersebut dari ventrikel menuju ke
jaringan dan kemudian kembali lagi (Frandson, 1992).
Pada ternak besar, pulsus
dapat dirasakan pada arteri fosial yang terdapat di sekitar ramus
horizontal dari mandibula, atau dapat juga dirasakan pada arteri caudal atau koksigeal tengah dari permukaan ventral
ekor. Arteri femorah pada sisi medial
paha mudah diraba pada anjing, kucing, domba dan kambing (Frandson, 1992).
Menurut Blakely dan Bade (1985) frekuensi denyut
jantung berkisar antara 60-70 permenit.
Temperatur Rectal. Temperatur rectal tubuh ternak merupakan salah
satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesehatan ternak pada
suatu saat. Temperatur di atas atau di bawah kisaran suhu tubuh normal
menunjukkan adanya kelainan pada ternak (ternak dalam kondisi kurang sehat).
Temperatur rectal pada siang hari umumnya lebih tinggi daripada pagi hari. Hal
ini disebabkan oleh mekanisme thermoregulatory ada hubungannya dengan mekanisme
pengontrolan tidur dan keadaan terjaga (Frandson, 1992).
Temperatur rectal normal adalah antara rata-rata 38o
C sampai dengan 39o C
(Blakely dan Bade, 1985).
Respirasi. Fungsi utama dari sistem respirasi adalah untuk menyediakan oksigen untuk
darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Pada dasarnya respirasi
terdiri atas dua proses penting yaitu proses inspirasi yang merupakan
perbesaran thorax dari paru-paru disertai masuknya udara, dan proses ekspirasi
yang merupakan penurunan dari ukuran dada disertai keluarnya udara (Frandson,
1992).
Menurut Frandson (1992), rata-rata frekuensi
respirasi tiap menit dalam keadaan istirahat untuk sapi adalah 20
respirasi/menit dan untuk sapi perah 30 respirasi/menit.
Temperatur
dan kelembaban lingkungan. Kisaran
temperatur yang cocok untuk sapi Holstein adalah 10-75o F untuk
daerah subtropik. Jika temperatur naik di atas 80o F untuk tipe
subtropik dan 90o F untuk tipe tropik maka mekanisme thermoregulasi
akan mulai terganggu. Kebutuhan air akan naik pada sapi laktasi dengan
meningkatnya suhu lingkungan sampai suhu 29,4o C (Williamson dan
Payne, 1993).
Menurut Williamson dan Payne (1993), temperatur
lingkungan yang sesuai untuk sapi di daerah sub tropis adalah –1o C
dan untuk sapi perah di daerah tropis 10-27o C. Apabila temperatur
lingkungan naik di atas 27o C (untuk daerah subtropik) dan 35o
C (tropik) maka mekanisme thermoregulasi akan terganggu.
BAB III
MATERI DAN METODE
Materi
Materi yang digunakan
adalah dua sapi perah dengan nomor A-21 dan B-55, pita ukur, mistar ukur,
timbangan berat badan, ember, gelas ukur, timbangan pakan, vaseline, skap,
termometer rectal, pengukur kelembaban dan suhu, halter, ear tag gang, neck chain, ankle strep, brisket tag, flank tag,
tail tag, tattoo tank, branding, ear notch tang, tali keluh, bordizzo tank, tatah kuku, palu, DWT,
puting buatan, ear tag, pencacah
pakan, sikat dan gayung, rumput gajah, Pennisetum purpureum, konsentrat
dan air.
Metode
Pengenalan Bangsa-Bangsa Sapi Perah
Pada pengenalan bangsa-bangsa sapi perah dilakukan
dengan mengamati ciri-ciri fisik sapi
perah yang ada di laboratorium ternak perah meliputi komposisi warna, batas
antara warna gelap dan terang, warna bulu kipas ekor, warna bagian kaki ke
bawah, tipikal sapi, warna di dahi dan performan ambing.
Penafsiran Berat Badan
Penafsiran berat badan dilakukan secara visual dengan
mengukur panjang badan dan lingkar dada.
Kemudian melakukan penafsiran berat badan dengan menggunakan rumus Schrool,
Lambourne dan Scheifer. Sapi ditimbang dengan timbangan sapi. Setelah itu
dibandingkan kedua sistem pengukuran berat badan dengan pengukuran berat badan
sesungguhnya. Cara pengukuran dengan visual adalah dengan mengamati sapi
kemudian diperkirakan berapa berat badan dari
sapi tersebut. Sedangkan cara pengukuran dengan rumus adalah sapi
diletakkan dengan posisi parallelogram. Lingkar dada sapi diukur dengan
menggunakan pita ukur pada rusuk nomor 3-4, kemudian panjang badan diukur
dengan menggunakan mistar pengukur panjang badan (dari tulang bahu sampai
tulang duduk) dan diperkirakan berat badan sapi tersebut dengan menggunakan
rumus penafsiran berat badan (Lambourne, schrool dan scheifer).
Penafsiran Umur
Penafsiran umur dilakukan dengan membuka mulut sapi
kemudian dilihat keadaan gigi serinya dan diperkirakan umur sapi tersebut.
Caranya dengan memasukkan telapak tangan ke mulut sapi melalui diastema kemudian memegang lidah sapi
dan dikeluarkan. Sedangkan cara memperkirakan umur adalah dengan melihat
pergantian dan keterasahan gigi seri sapi. Kemudian dicocokkan dengan teori
penafsiran umur.
Handling dan Exercise
Handling dilakukan dengan penguasaan sapi perah serta
menggunkan alat bantu yang berupa halter. Setiap praktikan mempraktekkan
memasang halter pada sapi kemudian sapi dibawa berkeliling dengan memegang
halter dan tali keluh sapi.
Pengenalan Alat
Pengenalan alat dilkukan dengan asisten mengenalkan
alat-alat yang ada mengenai nama, fungsi dan cara penggunaan. Praktikan
mengamati dan menggambar alat-alat yang telah diterangkan tersebut.
Fisiologi Alat Pencernaan
Dilakukan dengan
cara mengamati alat pencernaan yang mudah diamati yaitu mulut, mengamati
tekstur lidah kemudian dibandingkan dengan pakan yang diberikan. Selain itu
juga diamati lama remastikasi dan berapa kali sapi tersebut mengunyah makanan
selama remastikasi, regurgitasi dan redeglutisi.
Fisiologi Kelenjar Susu
Dilakukan dengan mengamati bentuk puting ambing sapi,
jumlah puting, mengukur panjang vena
subcuraneus abdominalis pada sapi, pertautan ambing pada sapi dan mengamati
anomaly ambing pada sapi.
Perawatan Sapi Perah
Perawatan pada sapi perah dilakukan dengan perawatan
secara langsung, meliputi pemberian pakan, memandikan sapi laktasi yaitu dengan
cara sapi dimandikan dan disikat secara berkala untuk menghilangkan kotoran,
debu dan rambut yang rontok sebelum diperah, membersihkan kandang, tempat
pakan, tempat minum dan saluran air.
Proses Pemerahan
Proses pemerahan yang pertama adalah persiapan yaitu
dengan mencuci ambing terlebih dahulu serta menyiapkan alat-alat yang akan
digunakan. Pancaran pertama susu ditampung di strip cup dan diamati untuk mendeteksi bila sapi terkena mastitis.
Apabila puting tidak licin maka diberi vaseline terlebih dahulu. Proses yang
kedua merupakan pelaksanaan pemerahan, yaitu ambing mulai diperah dengan
menggunakan tangan selama 7 menit. Pemerahan diusahakan sampai apuh. Proses yang
terakhir yaitu penyelesaian, yaitu dengan mencuci ambing dan lantai sampai
bersih dengan air. Susu ditakar dan dicatat. Alat-alat harus dibersihkan dengan
baik dan dikeringkan dengan meletakkan telungkup.
Pencatatan (Recording)
Pencatatan dilakukan
mengenai asal-usul sapi antara lain nomor telinga, tanggal lahir, jenis
kelamin, berat badan, bangsa, tanggal beranak, catatan kelahiran, catatan
kesehatan, catatan perkawinan, catatan produksi susu dan catatan pakan.
Perkandangan
Dilakukan dengan melihat keadaan kandang yang ada,
mengamati dan menggambar semua kandang yang ada dari samping, depan dan atas
beserta instrumen pendukungnya. Kemudian melakukan pengukuran pada tiap-tiap
kandang, meliputi tinggi kandang, lebar, panjang, luas tempat makan dan minum,
serta kemiringan kandang dan selokan.
Perhitungan dilakukan pada 3 tempat yang berbeda.
Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat,
diberikan 2 kali sehari pagi dan sore. Konsentrat diberikan dalam keadaan
kering sedangkan hijauan diberikan dalam keadaan segar dan dicacah dengan
ukuran kurang lebih 10-15 cm. Jumlah pakan tergantung kondisi masing-masing
sapi dalam pemberiannya.
Data Fisiologis
Dilakukan dengan mengukur data fisiologis yang meliputi
temperatur rectal, frekuensi respirasi, frekuensi pulsus, temperatur lingkungan
dan kelembaban udara. Temperatur rectal dilakukan dengan memasukkan termometer
yang sudah dinolkan kira-kira sepertiga rectum. Diukur selama 1 menit,
dilakukan 3 kali dan hasilnya dirata-rata. Respirasi dilakukan dengan mengamati
kembang kempisnya perut atau dengan mendekatkan punggung telapak tangan ke
dekat hidung ternak. Dihitung selama 1 menit, dilakukan tiga kali dan hasilnya
dirata-rata. Frekuensi pulsus dilakukan dengan memegang pangkal ekor hingga
terasa denyut arteri caudalis.
Dihitung jumlah denyutan yang terasa selama 1 menit, dilakukan tiga kali dan
hasilnya dirata-rata. Sedangkan temperatur lingkungan dan kelembaban lingkungan
dilakukan dengan mengamati termometer kandang. Kesemuanya itu dilakukan tiap 2
jam sekali.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengenalan Bangsa – bangsa Sapi Perah
Pengenalan bangsa-bangsa
sapi perah dilakukan dengan cara mengamati fisik sapi secara visual
Tabel 6. Penampakan luar
sapi perah
Penampakan luar |
Sapi A-21
|
Sapi B-55
|
Komposisi warna
|
Terang Gelap
|
Gelap Terang
|
Batas warna
gelap/terang
|
Samar-samar
|
Samar-samar
|
Putih
|
Putih
|
|
Warna bagian kaki ke
bawah
|
Putih
|
Putih
|
Tipikal
|
Jinak
|
Jinak
|
Bentuk segitiga dahi
|
Tidak
|
Segitiga
|
Performen ambing
|
Besar
|
Besar
|
Sapi
perah yang digunakan pada saat praktikum ada dua ekor sapi perah laktasi yaitu
sapi nomor A-21 dan nomor B-55. Dari hasil pengamatan diperoleh ciri penampakan
luar tubuhnya yaitu: 1) Untuk sapi A-21
warna kulit belang terang–gelap (putih-hitam) dengan komposisi warna putih
lebih banyak daripada warna hitam. Batas warna hitam dengan warna putih
tersebut tidak jelas atau samar-samar, warna bulu kipas ekor putih, warna bulu
pada lutut kebawah putih, mempunyai performan ambing yang besar. Pada dahinya tidak
terdapat segitiga berwarna putih. 2) Untuk sapi B-55 berwarna belang
gelap-terang (hitam-putih) dengan batas warna samar-samar. Warna bulu kipas
ekor putih, warna bagian lutut kebawah putih, mempunyai ambing yang cukup
besar. Terdapat segitiga di dahinya. Dari kedua sapi tersebut mempunyai tanduk
dan bertipikal jinak.
Dari
ciri-ciri diatas maka dapat diketahui bahwa sapi-sapi ini termasuk sapi FH
(Fries Holand), ini sesuai dengan Harjosubroto (1994) bahwa sapi FH mempunyai
ciri-ciri komposisi warna hitam putih, batas warna gelap terang pada bulu dan
kulitnya tampak samar-samar seperti bayangan, warna bulu kipas ekornya putih,
warna bagian kaki kebawah putih, mempunyai temperamen jinak, mempunyai bentuk
segitiga putih di dahinya dan mempunyai performen ambing yang besar. Jika
terdapat perbedaan eksterior dengan sumber literature yang ada, hal itu
disebabkan adanya cacat pada ternak tersebut.
Pencatatan
(Recording)
Untuk memperoleh berbagai informasi tentang
peternakan, maka dilakukan recording
(pencatatan) mengenai asal-usul sapi, catatan reproduksi, catatan produksi susu
dan catatan kesehatan sapi.
Untuk melakukan berbagai catatan, sapi perah harus
diberi identifikasi. Identifikasi yang digunakan oleh sapi pada saat praktikum
adalah identifikasi tipe temporer. Identifikasi itu berupa pemberian tindik
pada telinga.
Catatan asal-usul sapi adalah catatan yang
menunjukkan data-data dari kedua tetuanya, dari kakek/nenek sapi, tanggal
lahir, jenis kelamin, bangsa, tanggal beranak dan berat badan (Soetarno, 2003).
Pada praktikum ini tidak ada data mengenai tetua maupun kakek/nenek dari sapi
yang digunakan. Sapi yang digunakan. Sapi yang digunakan pada praktikum ini
sapi dengan nomor telinga/ nama yaitu sapi A-21 dan B-55. Sapi A-21 dan B-55
merupakan sapi PFH.Jenis kelamin kedua sapi adalah betina. Berat badan sapi
A-21 adalah 440 kg dan berat badan Sapi B-55 480 kg.
Catatan reproduksi secara individu untuk setiap
sapi perah meliputi per kawinan, pemeriksaan kebuntingan, perkiraan beranak,
rencana pengeringan, tang gal kelahiran, lama bunting, lama kering dan jenis
kelamin pedet (Soetarno, 2003). Pada praktikum ini melakukan pencatatan tentang catatan
reproduksi pada Sapi A-21 dan B-55.
Fisiologi Alat Pencernaan
Dari pengamatan fisiologis
alat pencernaan, didapat data seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Fisiologi
pencernaan sapi perah
Alat prehension
|
Lidah
|
Tekstur lidah
|
Kasar
|
Jenis pakan
|
Hijauan dan konsentrat
|
Pakan yang diberikan untuk
sapi pada praktikum ini adalah konsentrat dan hijauan. Pakan ini dikonsumsi
oleh sapi dimulai dengan mengambil pakan tersebut dengan lidah dan
memasukkannya kedalam mulut. Untuk konsentrat diambil dengan menjilat dan untuk
hijauan segar diambil dengan melingkarkan lidah pada hijauan. Lidah sapi
mempunyai ciri–ciri panjang, kuat, bertekstur kasar, mudah ditekuk dan mudah
digerakkan. Lidah merupakan alat prehension atau alat untuk mengambil pakan
pada sapi (Bath, 1985).
Pakan
masuk dalam mulut sapi maka akan bercampur dengan ludah atau saliva, saliva
diperlukan untuk mempermudah pengunyahan dan penelanan. Selain itu saliva mampu
memecah maltosa dan dextrosa yang mudah larut (Soetarno,
1999).
Setelah
pengunyahan, pakan masuk kedalam oesophagus
dan selanjutnya menuju rumen. Sebagai hewan ruminansia, sapi perah
mempunyai empat bagian lambung yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum.
Keadaan ini membedakan dari hewan lain yang hanya memiliki lambung tungggal
yaitu tidak dapat memanfaatkan atau mencerna serat kasar (Soetarno, 1999).
Pakan
yang masuk kedalam rumen ada sebagian yang dimuntahkan kedalam mulut atau
dikenal dengan regurgitasi untuk dikunyah kembali (remastikasi). Di dalam mulut
bercampur kembali dengan saliva dan kemudian ditelan kembali (redeglutisi).
Setelah masuk rumen dan retikulum dan telah difermentasi akan masuk kedalam
omasum dan abomasum untuk proses pencernaan lebih lanjut. Dan selanjutnya
penceranaan berlangsung di saluran pencernaan selanjutnya dan pakan yang tidak
tercerna dibuang dalam bentuk feses.
Fisiologi Kelenjar Susu
Variabel
|
Sapi A-21
|
Sapi B-55
|
Bentuk puting
|
Botol
|
Botol
|
Jumlah puting
|
4 buah
|
4 buah
|
Panjang vena subcutaneus abdominalis
(kanan/kiri)
|
50/538 cm
|
50/61 cm
|
Kelenjar
|
Kelenjar
|
|
Pertautan ambing
|
Agak kencang
|
Kendor
|
Sapi perah dalam praktikum ini
mempunyai bentuk puting silindris dan berjumlah empat buah. Konsistensi ambing
pada sapi perah ini adalah ambing kelenjar. Ini dapat diketahui dari teksturnya
yang lunak. Tekstur lunak ini dikarenakan jaringan penyusunnya adalah jaringan
sekretorik (Blekely dan Bade, 1991).
Dari
pengamatan, bentuk ambing dari kedua
sapi A-21 dan B-55 nampak seperti kantung segi empat yang mengantung dan
terdapat lekukan yang memisahkan bagian kiri dan kanan. Lekukan ini terletak di
tengah-tengah ambing, sebagaimana dinyatakan oleh Prihadi (1997) ambing terbagi
menjadi dua bagian kiri dan kanan yang terpisahkan oleh satu lekukan yang
memanjang yang disebut intermammary
groove.
Pertautan
ambing dari kedua sapi mempunyai pertautan kuat. Darah dari masing-masing
belahan ambing melalui dua vena yaitu vena
pudenda eksterna dan vena abdominalis
subcutaneus atau sering disebut dengan vena susu (Prihadi, 1997). Dari pengamatan
dalam praktikum, panjang vena subcutaneus
abdominalis diperoleh untuk sapi
B-55 yaitu sebelah kiri 38 cm dan sebelah kanan 50 cm. Jafi panjang
keseluruhannya adalah 88 cm. Sedangkan untuk sapi A-21 diperoleh sebelah kiri
61 cm dan sebelah kanan 50 cm. Jadi panjang keseluruhannya yaitu 111 cm Vena
tersebut memanjang disepanjang abdomen dan berkelok-kelok. Menurut Blakely dan
Bade (1991) pembuluh vena subcutaneus
abdominalis yang panjang dan bekelok-kelok menunjukkan kondisi produksi
susu suatu ternak, artinya semakin panjang semakin baik.
Perkandangan
Jenis kandang yang ada di Laboratorium Ilmu Ternak
Perah ada tiga yaitu kandang laktasi tunggal, kandang laktasi ganda dan kandang
pedet. Fungsi kandang di daerah tropis adalah untuk melindungi sapi dari
derasnya air hujan, kencangnya angin, panasnya sinar matahari serta keamanan
dari gangguan binatang buas dan pencurian (Soetarno, 2003).
Jenis kandang di Laboratorium Ilmu Ternak Perah
adalah kandang tambat dimana sebagian besar waktu sapi ditambat di kandang. Di
dalam kandang terdapat tempat pakan dan tempat minum yang peralatan airnya
otomatis. Untuk mempermudah membersihkan kandang dan memperlancar air juga
kotoran sapi melewati selokan maka terdapat kemiringan lantai dan kemiringan
selokan.
Ukuran kandang, kemiringan lantai dan kemiringan
selokan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 15. Kemiringan lantai kandang
Kemiringan lantai
|
Kandang laktasi tunggal
|
Kandang laktasi ganda
|
Kandang beranak
|
Kandang pedet
|
Kanan
|
50-49=1%
|
48-47=1 %
|
70-69=1%
|
41-40=1%
|
Tengah
|
51-50=1 %
|
45-44=1%
|
69-68=1%
|
40-39=1%
|
Kiri
|
50-49=1%
|
41-40=1%
|
69-68=1 %
|
40-39=1%
|
Tabel 16. Kemiringan selokan
Kemiringan selokan
|
Kandang laktasi tunggal
|
Kandang laktasi ganda
|
Kandang beranak
|
Kandang pedet
|
Kanan
|
76-75=1%
|
13-12=1%
|
54-53=1%
|
41-40=1%
|
Tengah
|
64-63=1%
|
13-12=1 %
|
55-54=1%
|
41-40=%
|
Kiri
|
64-63=1%
|
41-40=1%
|
54-53=1%
|
40-39=1%
|
Kandang laktasi tunggal
Yang diukur pada kandang laktasi tunggal adalah panjang kandang, lebar
kandang, tinggi sekat, panjang tempat pakan, panjang tempat minum, lebar tempat
minum dan tinggi tempat minum yang ukurannya dapat dilihat pada tabel.
Tabel 14. Ukuran
kandang laktasi tunggal
Parameter
|
Kandang laktasi
tunggal (cm)
|
Panjang kandang
|
2130
|
Lebar kandang
|
400
|
Panjang sekat
|
179
|
Tinggi sekat
|
95
|
Panjang tempat pakan
|
85
|
Lebar tempat pakan
|
59
|
Tinggi tempat pakan
|
48
|
Panjang tempat minum
|
59
|
Lebar tempat minum
|
59
|
Tinggi tempat minum
|
43
|
Ukuran kandang jika
dibandingkan dengan literatur ternyata berbeda. Menurut Soetarno (2003),
panjang kandang adalah 15 m dan lebar kandang adalah 2,5-3,5 m. Sedangkan
ukuran kandang yang digunakan pada saat praktikum panjangnya adalah 2130 cm dan
lebarnya adalah 400 cm (4,00 m). Walau ada perbedaan dengan literatur, kandang
laktasi tunggal telah memberi cukup ruang bagi sapi untuk bergerak dan tidur.
Untuk memisahkan sapi-sapi, pada kandang diberi sekat yang ukuran panjangnya
adalah 179 cm (1,79 m) dan tingginya 95 cm (0,95 m). Menurut Soetarno (2003),
ukuran panjang dan tinggi sekat yaitu 1,25 m dan 1 m. Keuntungan bila kandang sapi diberi sekat yaitu sapi tidak
akan saling berebut makanan, sapi dapat tidur lebih tenang, sapi tidak akan
saling menginjak, sapi tidak saling mengotori dan jika timbul suatu penyakit
tidak akan cepat menular ke sapi lain (Soetarno, 2003). Tempat pakan dan tempat
minum letaknya berdempet. Pakan hijauan dan konsentrat letaknya menjadi satu.
Air keluar secara otomatis. Ukuran tempat pakan dan tempat minum dibuat agar
sapi dapat dengan mudah mengambilnya.
Untuk mempermudah membersihkan kandang dan
memperlancar aliran air dan kotoran sapi diselokkan, pada kandang ada kemiringan.
Kemiringan lantai pada kandang laktasi tunggal pada bagian kanan 0,5 %, tengah
1,5 % dan kiri 0,5 %. Menurut Soetarno (2003) kemiringan lantai adalah 2 %.
Kemiringan selokan pada kandang yaitu sebelah kanan 3,5 %, tengah 1 % dan kiri
1 %. Sedangkan kemiringan selokan menurut Soetarno (2003) yaitu 0,5 %. Sehingga
terdapat perbedaan yang besar mengenai kemiringan lantai dan kemiringan selokan
antara hasil pengukuran dan literatur. Walaupun ada perbedaan tetapi kemiringan
lantai pada kandang dan kemiringan selokan dapat mengalirkan air dan kotoran
dengan cepat.
Bahan yang digunakan untuk membuat lantai adalah
semen. Tujuannya supaya lantai mudah dibersihkan karena kandang yang porous
mudah menjadi sarang segala macam kuman penyakit. Sedangkan bahan yang digunakan
untuk atap adalah genting. Atap tidak menggunakan seng atau asbes karena pada
siang hari terlalu panas. Atap juga tidak menggunakan rapak atau alang-alang
karena mudah rusak dan terbakar. Ventilasi dan pertukaran udara di dalam
kandang dapat menjamin masuknya udara segar dan udara kotor juga dapat keluar
dari kandang. Ini disebabkan karena kandang sapi dibuat terbuka.
Kandang laktasi ganda
Kandang laktasi ganda dibuat karena lebih ekonomis yaitu dapat
mengandangkan ternak lebih dari 16-20 ekor sapi (Williamson dan Payne, 1993).
Menurut Williamson dan Payne (1993), kandang ganda dapat dirancang sehingga
sapi dapat menghadap ke depan ke arah pusat tempat makanan atau sapi menghadap
ke belakang dengan tempat makanan pada kedua sisi bangunan.
Kemiringan lantai pada kandang menurut Soetarno (
2003) adalah 2 % dan kemiringan selokan adalah 0,5 %.
Pada praktikum ini, posisi sapi yang ada pada
kandang laktasi ganda adalah saling
membelakangi dengan tempat makanan pada kedua sisi bangunan. Di tengah-tengah kandang
ada selokan yang membagi kandang. Fungsi selokan adalah untuk mengalirkan air
dan kotoran. Pada kandang laktasi ganda juga terdapat sekat-sekat yang
memisahkan sapi.
Parameter
|
Kandang laktasi ganda
(cm)
|
Panjang kandang
|
1000
|
Lebar kandang
|
800
|
Panjang tempat pakan
|
85
|
Tinggi tempat pakan
|
48
|
Panjang tempat minum
|
59
|
Lebar tempat pakan
|
59
|
Lebar tempat minum
|
59
|
Tinggi tempat minum
|
43
|
Kandang pedet
Menurut Soetarno (2003), syarat-syarat kandang pedet adalah sirkulasi udara
dan cahaya matahari cukup, kandang dibuat agar mudah dibersihkan, kandang
sebaiknya dibuat individu dan pada lantai
diberi alas jerami atau rumput kering yang bersih. Pada praktikum ini, 2
ekor pedet ditempatkan dalam satu kandang.
Menurut
Soetarno (1999), untuk menghindari hair
ball maka pada saat pemberian susu,
masing-masing pedet ditali agar tidak saling menyundul setelah diberi susu.
Namun pada saat praktikum pedet tidak ditali saat pemberian susu.
Agar kandang mudah dibersihkan maka pada lantai
dan selokan ada kemiringannya. Kemiringan
selokan pada kandang pedet sebelah kanan adalah 2 %, tengah 2 % dan kiri 1 %. Kemiringan selokan besar
untuk menjaga agar kandang tetap kering. Sedangkan kemiringan lantai pada
kandang pedet yaitu sebelah kanan 2 %, tengah 1 % dan kiri 1 %. Lantai dibuat
miring supaya kandang mudah dibersihkan dan tetap dalam keadaan kering. Menurut
Soetarno (2003), tinggi sekat adalah 125 cm sedangkan tinggi sekat pada
praktikum adalah 290 cm. Semakin tinggi sekat akan semakin baik bagi pedet.
Parameter
|
Kandang pedet (cm)
|
Panjang kandang
|
290
|
Lebar kandang
|
230
|
Panjang tempat pakan
|
185
|
Lebar tempat pakan
|
40
|
Panjang tempat minum
|
85
|
Lebar tempat minum
|
40
|
Tinggi sekat
|
175
|
Kandang
Beranak
Parameter
|
Kandang beranak (cm)
|
Panjang kandang
|
600
|
Lebar kandang
|
290
|
Tinggi kandang
|
175
|
Yang diukur pada kandang beranak adalah panjang
kandang, lebar kandang dan tinggi kandang. Untuk memepermudah membersihkan
kandang dan memperlancar aliran air dan kotoran sapi diselokan, pada kandang
ada kemiringan. Kemiringan pada lantai kandang beranak sebelah kanan 1 %,
sebelah tengah 2 % dan kiri 2 %. Bahan yang digunakan untuk membuat lantai
adalah semen. Tujuannya supaya lantai mudah dibersihkan karena kandang yang
porous mudah menjadi sarang segala macam kuman penyakit.
Kandang karantina
Parameter
|
Kandang karantina (cm)
|
Panjang kandang
|
600
|
Lebar kandang
|
450
|
Panjang tempat pakan
|
150
|
Panjang tempat minum
|
150
|
Di
kandang karantina ini tidak ada sekat dan sifatnya tunggal. Maksudnya yaitu dalam satu kandang
karantina hanya ada 1 ekor hewan ternak. Terdapat tempat pakan dan tempat minum
yang alirannya mengalir secara otomatis. Kandang karantina ini cukup luas
dibanding kandang laktasi. Hal itu dapat dilihat dari ukuran kandang yang
diperoleh pada saat praktikum, yaitu panjang kandang 600 cm dan lebar kandang
450 cm.
Kandang
karantina kurang cocok untuk sapinya sebab kemiringan lantainya kurang memenuhi
syarat. Sehingga akan menimbulkan sumber segala penyakit yang dikarenakan urine
dan faeses bercampur tanpa ada aliran yang lancar. Disamping itu, meskipun ada tempat pakan dan
tempat minum tapi ukurannya tidak memenuhi syarat sehingga pakan yang diberikan
berada disana-sini dan tidak terletak pada tempat pakan. Disamping itu tempat
minumnya juga tidak memenuhi syarat karena terlalu rendah letaknya, sehingga
hal itu akan semakin mempersulit posisi sapi untuk minum.
Pengenalan Alat
Dalam praktikum perawatan
sapi perah ini diperkenalkan macam-macam alat yang digunakan untuk menunjang
kerja para peternak sapi perah. Alat-alat tersebut meliputi alat identifikasi
baik temporer ataupun permanen, alat bantu handling, alat bantu pengukuran
berat badan, alat untuk kastrasi, pemotongan kuku serta alat untuk dehorning. .
Alat identifikasi
Ear
tag tang. Alat
itu berfungsi untuk menempelkan atau memasang ear tag dengan ukuran tertentu
(Williamson dan Payne, 1993).
Neck
chain. Alat
ini dilengkapi kode nomor sapi yang berguna sebagai ciri kepemilikan.
Angkle
strap. Merupakan gelang kaki
plastik yang bernomor.
Brisket
tag. Alat identifikasi berupa sabuk yang dikenakan pada paha sapi.
Flank
tag. Adalah
alat identifikasi berupa rantai atau kulit yang dikaitkan pada ekor.
Tatto
tang.Alat
ini berfungsi untuk mengidentifikasi ternak pada bagian telinga dengan kombinasi huruf atau angka
(Williamson dan Payne, 1993)..
Branding.
Merupakan alat untuk
identifikasi pada anak atau induk sapi. Ada dua macam alat branding ini yaitu hot branding
dan freeze branding. Hot branding adalah pemberian cap besi
panas, cap besi harus benar-benar panas, lalu ditempelkan pada tubuh ternak
selama lima detik. Freeze branding
menggunakan besi tembaga yang disimpan dalam es kering atau Nitrogen cair.
Kulit yang akan dicap dicukur terlebih dahulu dan dicuci dengan alkohol sebelum
dicap. Cap ditempelkan selama tiga puluh detik (Blakely dan Bade, 1991).
Ear
notch tang. Alat
ini berfungsi untuk mengidentifikasi dengan cara merobek daun telinga dengan
kode dan ukuran tertentu (Williamson dan Payne, 1993).
Alat bantu handling
Alat bantu handling adalah halter, alat
ini terbuat dari kulit dan rantai yang berfungsi sebagai tali keluh, terdapat
beberapa pegangan untuk menghandling sapi perah (Williamson dan Payne, 1993).
Alat ini digunakan untuk mempermudah dalam mengendalikan sapi serta alat ini
sebagai pengganti tali keluh.
Alat bantu pengukuran berat badan sapi
Mistar ukur. Yaitu mistar yang dapat digeser untuk menyesuaikan
panjang badan.
Pita DWT. Alat ini merupakan pita untuk mengukur lingkar
dada dan disana langsung terdapat skala berat badan sapi yang sebanding dengan
lingkar dada sapi.
Pita ukur. Alat ini juga untuk mengukur lingkar dada sapi.
Dalam praktikum hanya digunakan pita
ukur.
Alat kastrasi
Bordizzo tang. Alat ini digunakan untuk merentangkan cincin karet dan dipasangkan pada skrotum diatas testikel. Di bawah cincin itu aliran darah terputus hingga testikel itu tidak berfungsi.
Alat Dehorning
Pada sapi yang masih muda dilakukan dehorning dengan metode chemicallia. Bahan kimia yang digunakan adalah soda api (caustic soda). Prinsipnya adalah mengoleskan disekitar pangkal tanduk sehingga dapat mematikan pertumbuhan sel dan perkenbangan tanduk. Cara ini untuk pedet yang berumur kurang dari satu minggu. Alat yang kedua adalah electric dehorner yang digunakan pada pedet yang berumur kurang dari tiga bulan. Prinsipnya adalah penggunaan arus listrik untuk memanaskan cincin besi dan kemudian ditekankan pada pangkal tanduk. Dengan panas yang tinggi maka akan dapat merusak sel tanduk dan mencegah tumbuhnya tanduk. Alat ini dilengkapi dengan kontrol temperatur sekitar 1000o F (537o C) dan dalam waktu 10 detik sudah dapat merusak sel-sel tanduk (Soetarno, 1999).
Perawatan
Ternak Perah
Perawatan pedet
Pada
praktikum ini, praktikan melakukan perawatan pedet mulai dari pembersihan
kandang, pemberian pakan dan pemberian susu. Kandang pedet harus bersih dan
dibuat individu, sirkulasi udara dan cahaya matahari cukup sehingga kandang
akan tetap kering dan tidak lembab sehingga tidak mengganggu kesehatan pedet
yang ada di dalamnya.
Pemberian
pakan dilakukan dua kali sehari dan pemberian susu sekali dalam sehari.
Pemberian susu dilakukan dengan ember, hal ini dilakukan karena pedet telah
dapat minum dalam ember yang sebelumnya telah dilatih. Dalam praktikum ini
pemberian pakan untuk pedet tidak dilakukan.
Pembersihan
kandang dilakukan praktikan sekali sehari. Kandang dibersihkan dengan
menyingkirkan kotoran-kotoran dan menyiramnya dengan air hingga bersih. Air
yang masih menggenang disapu hingga sedikit kering. Hal ini penting untuk
menjaga agar kandang tidak terlalu lembab sehingga akan mencegah perkembangan
bakteri atau bibit penyakit yang dapat mengganggu kesehatan pedet.
Kandang
pedet dilaboratorium perah yang digunakan praktikan merupakan kandang
individual yaitu satu kandang untuk satu pedet. Menurut Soetarno (1999) syarat
kandang yang baik adalah : 1). Kandang dibuat individual, 2). Sirkulasi udara
dan cahaya matahari cukup hingga lantai kandang tetap kering, 3).kandang mudah
dibersihkan dan mudah mengontrol kesehatan pedet. Dari pengamatan pada saat praktikum,
kandang pedet telah memenuhi syarat-syarat di atas.
Perawatan
pedet harus benar-benar diperhatikan karena kematian sapi perah selama masih
pedet hingga umur tiga bulan mencapai 20 %. Dan perawatan harus optimal
sehingga dihasilkan sapi dara yang bagus yang siap dikawinkan pada umur dan
berat sesuai persyaratan yang telah direncanakan (Soetarno, 1999).
Perawatan
sapi laktasi
Pada praktikum perawatan sapi perah
ini dilakukan perawatan kepada sapi laktasi yang meliputi membersihkan kandang,
pemberian pakan, memandikan sapi sebelum diperah. Perawatan sapi kali pertama
dilakukan pembersihan kandang. Kandang dibersihkan dengan menyingkirkan
kotoran-kotoran api yang tercecer di lantai dengan menyoroknya kesaluran
pembuangan yang terdapat ditepi kandang. Untuk menghilangkan sisa–sisa kotoran
maka lantai diguyur dengan air dan disapu dengan sapu lidi untuk mencegah
tergenangnya air di dalam kandang. Untuk mencegah meluapnya saluran pembuangan,
maka praktikan mencoba untuk menyisir genangan tersebut hingga dapat mengalir
ke penampungan kotoran. Selanjutnya adalah memandikan sapi sebelum pemerahan
susu dilakukan. Sapi dimandikan dan disikat sampai bersih sehingga tidak ada
kotoran yang menempel pada tubuh sapi. Pembersihan juga dilakukan pada ambing
dan puting.
Pembersihan
kandang dan memandikan sapi bertujuan untuk menjaga kesehatan sapi yang ada di
dalamnya serta untuk mencegah terserapnya aroma tidak sedap oleh susu, karena
susu mempunyai sifat mudah menyerap bau–bauan di sekitarnya.
Sapi
perah yang digunakan dalam praktikum adalah sapi perah A-21 dan sapi B-55.
Kedua sapi ini berada dalam masa-masa laktasi.
Pemberian
pakan sapi laktasi pada praktikum
dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan
adalah berupa hijauan dan konsentrat. Konsentrat diberikan sebelum hijauan.
Konsentrat yang diberikan sebanyak satu ember dan hijauannya satu ikat untuk
masing-masing adalah 5 kg. Sedangkan
masing-masing sapi diberi hijauan 25 kg dalam sehari. Konsentrat didahulukan
karena konsentrat dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme rumen yang nantinya
akan digunakan dalam fermentasi rumen (Soetarno, 1999).
Sapi perah sangat
membutuhkan serat kasar untuk pemeliharaaan fermentasi rumen yang berpengaruh
pada proses produksi susu (kadar lemak susu). Kebutuhan serat kasar ini
terpenuhi oleh hijauan, maka dalam pakannya diperhatikan imbangan antara
hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan setiap sapi terdiri dari 5 ikat
rumput gajah. Rumput gajah dipotong kecil-kecil agar sapi mudah untuk mengunyahnya.
Pemberian
Pakan
Pakan pada sapi perah
berbeda-beda menurut tingkat umurnya. Karena setiap tingkat umur memiliki
perbedaan dalam kemampuan mencerna pakan maupun kebutuhan.
Pakan
pedet
Pakan yang diberikan kepada pedet pada praktikum
ini tidak ada. Hanya sebatas diberi susu.
Hijauan yang diberikan pada pedet sebagai latihan.
Hijauan yang diberikan itu tidak sebanyak sapi dewasa. Menurut Williamson dan
Payne (1993) saluran pencenaan sapi muda berbeda dari sapi dewasa. Pemberian
hijauan bermutu tinggi dilakukan sebagai latihan karena pada pedet rumino
retikulum belum cukup berkembang dan belum mampu mencerna hijauan (Prihadi,
1997). Menurut Soetarno (2003), pemberian hijauan secara bebas supaya rumen
tumbuh sempurna.
Konsentrat yang diberikan pada pedet sekitar 2 kg.
Ini sesuai dengan Timan (2003) bahwa konsentrat yang diberikan tidak lebih dari
2 kg/ekor/hari agar pedet mau makan rumput sebanyak-banyaknya dan pedet tidak
menjadi gemuk.
Susu diberikan kepada pedet dengan menggunakan
ember karena pedet tidak minum susu secara langsung dari induknya. Menurut
Blakely dan Bade (1991), pedet yang baru lahir hanya diberi kesempatan satu
kali saja untuk menyusu induknya.
Pakan sapi laktasi
Jumlah pakan yang diberikan pada sapi A-21 dan
sapi B-55 dalam praktikum dapat dilihat
pada tabel berikut
Tabel 13. Pemberian
pakan
No Sapi
|
Berat badan (kg)
|
Pakan yang diberikan (kg/segar)
|
Sisa (kg)
|
|||
Hijauan (kg/hari)
|
Konsentrat (kg/hari)
|
|||||
Pagi
|
Sore
|
Pagi
|
Sore
|
|||
A 21
|
480
|
25
|
25
|
5
|
5
|
-
|
B 55
|
440
|
25
|
25
|
5
|
5
|
-
|
Pakan bagi sapi perah merupakan sumber energi
utama guna memproduksi susu. Nutrisi yang dibutuhkan oleh sapi laktasi
tergantung dari (1) kondisi berat badan sapi, (2) produksi susu, (3) kadar
lemak susu, (4) tanggal beranak atau lama laktasi, (5) lama kebuntingan dan (6)
jenis dan komposisi makanan (Soetarno, 2003).
Jumlah hijauan yang diberikan dalam waktu sehari
pada sapi A-21 sebanyak 25 kg dan pada sapi B-55 sebanyak 25 kg. Sedangkan jumlah konsentrat
yang diberikan kepada kedua sapi adalah sama yaitu 10 kg.
Jumlah hijauan yang diberikan pada sapi B-55 bila
dilihat dari berat badannya sudah cukup. Pada umunya sapi perah membutuhkan
hijauan minimal 10 % dari berat badannya. Sehingga sapi B-55 seharusnya diberi
hijauan minimal sebanyak 48 kg/hari sedangkan pada praktikum ini sapi B-55
diberi hijauan 50 kg/hari. Jumlah
konsentrat yang diberikan adalah 10 kg/hari sehingga kebutuhan minimal akan
konsentrat telah terpenuhi, karena kebutuhan minimal sapi perah akan konsentrat
adalah 1-2 % dari berat badan yaitu sekitar 5 kg.
Pada sapi A-21 baik jumlah hijauan maupun
konsentrat yang diberikan telah memenuhi
kebutuhan minimal. Biasanya hijauan diberikan 10 % berat badan (dalam hal ini
sapi A-21 adalah 44 kg/hari) dan konsentratnya 1-2 % (4,5 kg/hari) sedangkan
pada waktu praktikum pakan yang diberikan berupa 50 kg hijauan dan 10 kg
konsentrat per hari.
Pakan yang diberikan pada saat praktikum sudah
memenuhi syarat kebutuhan sapi perah sebagaimana yang diungkapkan oleh Soetarno
(2003) di atas.
Hijauan
yang diberikan kepada sapi perah dalam jumlah banyak karena dibutuhkan untuk
pemeliharaan fermentasi dalam rumen guna memproduksi susu. Konsentrat yang
diberikan sebagai bahan pakan tambahan untuk memberikan energi (Blakely dan
Bade, 1991).Pada praktikum ini konsentrat diberikan sebelum hijauan karena jika langsung diberi hijauan, ternak
tidak mau makan konsentrat padahal konsentrat juga dibutuhkan tubuh sebagai
sumber nutrien yang belum tercukupi oleh hijauan. Selain itu, konsentrat diberikan
dahulu untuk merangsang kerja rumen sebelum diberi hijauan.
Pemerahan
Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan
jumlah produsi susu maksimal dari ambing. Apabila pemerahan tidak sempurna sapi
induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi totalnya menjadi menurun.
Jika periode yang digunakan terlalu panjang untuk
menghasilkan susu, biaya persatuan berat dari hasil susu akan meningkat.
Pedoman pertama dari teknik pemerahan terutama bila memerah sapi dara untuk
pertama kalinya adalah mencegah sapi menjadi gelisah atau ketakutan. Pedoman
kedua adalah pemerahan dilakukan dengan cepat dan sempurna (Pane, 1986)
Pemerahan dapat dilakukan dengan dua macam yaitu
dengan mesin (machine milking) dan dengan tangan (hand milking). Pemerahan di
Indonesia sebagian besar dilakukan dengan tangan (Soetarno, 1995).
Pada waktu praktikum dilakukan pemerahan pada sapi
B-48, B-31, B-55 dan A-21. Produksi susu sapi PFH rata-rata 10 liter/hari.
Perbandingan susu yang dihasilkan antara kuartir depan dengan kuartir belakang
adalah 40% : 60% (Soetarno, 2003). Setelah pemerahan selesai dilakukan
pengapuhan. Menurut Soetarno (2003), lama pemerahan diselesaikan dalam waktu 7
menit karena pengaruh sekresi oksitosin sangat
singkat.
Pemerahan yang dilakukan pada praktikum ini adalah
pemerahan secara manual. Peralatan pemerahan pada praktikum pada praktikum ini
adalah ember tempat air, vaselin yang digunakan untuk melicinkan puting, ember
logam tempat penampung susu yang diperah, milk can untuk tempat penampungan
susu hasil pemerahan, gelas ukur dari plastik untuk mengukur banyaknya susu
yang dihasilkan oleh sapi dan tali untuk mengikat kaki belakang sapi dan ekor
sapi. Menurut Siregar (1992), ambing dan puting sapi perah sebelum pemerahan
harus dicuci dulu dengan air hangat lalu diolesi dengan vaselin. Tapi saat
praktkum, ambing dan puting sapi hanya dicuci dengan air biasa lalu diolesi
dengan vaselin. Untuk melakukan pemerahan, tangan pemerah dibersihkan dulu dan
kuku pemerah tidak panjang. Ini sesuai dengan Siregar (1992), tangan pemerah
harus bersih dan kuku tidak boleh panjang karena dapat menimbulkan luka-luka
pada puting sapi. Pada praktikum ini, sebelum pemerahan, lantai kandang
dibersihkan dulu dari segala jenis kotoran dan bau-bau yang tidak sedap karena
sifat susu yang mudah menyerap bau sekitarnya.
Pada praktikum ini pada sapi B-48, produksi
susunya 4,7 liter kwartir depan dan 5,7 kwartir belakang membutuhkan waktu 7
menit untuk kwartir depan dan 5 menit 5 detik untuk kwartir belakang.
Pada sapi B-31, keartir depan dalam sehari
produksinya 4,1 liter
membutuhkan waktu pemerahan selama 5 menit,
sedangkan pada kuartir belakang produksi susunya 4,2 liter membutuhkan waktu 5
menit 45 detik.
Pada sapi B-55, produksi susu sehari kuartir depan
adalah 5,2 liter membutuhkan waktu selama 6 menit 45 detik, dan pada kuartir
belakang menghasilkan 3,1 liter membutuhkan waktu 4 menit 23 detik.
Sapi A-21, produksi susunya pada kuartir depan
dalam sehari adalah 1,55 liter, membutuhkan waktu 4 menit 5 detik. Sedangkan
pada kuartir belakang menghasilkan susu sebesar 3 liter dalam sehari dengan
jumlah waktu pemerahan 4 menit 58 detik.
Dari data diketahui bahwa produksi susu sapi B-48
pada kuartir depan dalam sehari adalah 4700 ml dengan jumlah waktu pemerahan 7
menit. Perbandingan produksi susu antara kuartir depan dan kuartir belakang
pada sapi B48 adalah 45%:55%.
Pada sapi B-31 produksi susunya pada pagi hari
5400 ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah
40,7%:59,3%.
Sedangkan menurut Soetarno (2003). Perbandingan produksi susu antara
kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40% : 60% Pada sore hari produksi
susu sapi B-31 adalah 2900 ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan
kuartir belakang adalah 65,5% : 34,5%. Perbandingan yang tidak seimbang antar
produksi susu kuartir depan dan kuartir belakang ini dikarenakan pada kuartir
belakang, ambing yang berfungsi aktif hanya satu buah ambing, jadi produksi
susu kuartir belakang lebih sedikit daripada produksi susu kuartir depan.
Waktu yang
diperlukan untuk pemerahan adalah 3 menit 45 detik. Waktu yang diperlukan untuk
memerah susu pada pagi hari lebih lama daripada sore hari karena susu yang
diproduksi pada pagi hari lebih banyak dari pada susu yang diproduksi pada sore
hari. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu pembentukan susu. Menurut Soetarno
(1999) interval pemerahan paling baik adalah 12 jam. Produksi susu B-31 dalam 1
hari 10.400 ml/hari yakni sama dengan produksi susu rata-rata sapi FH.
Pada sapi B-55, total p roduksi susu yang
dihasilkan pada pagi hari adalah 5200 ml. Perbandingan produksi susu antara
kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 65,4% : 34,6%.Waktu yang
dibutuhkan untuk pemerahan adalah 8 menit. Perbandingan ini hampr mendekati
teori karena menurut Soetarno (2003) perbandingan produksi susu antara kuartir
depan dengan kuartir belakang adalah 7 menit. Lama tidaknya pemerahan
tergantung dari jumlah susu pada ambing dan juga ketrampilan pemerah. Produksi
susu yang dihasilkan sapi B-55 pada sore hari adalah 3100 ml dan perbandingan
produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 58% : 42%.
Total waktu yang diperlukan untuk pemerahan pada sore hari adalah 4 menit 8
detik. Banyaknya produksi susu pada pagi hari dibandingkan dengan produksi susu
pada sore hari karena disebabkan oleh interval pemerahan, pemerahan pada pagi
hari mempunyai interval pemerahan dengan pemerahan sebelumnya lebih lama
daripada pemerahan sore hari. Susu yang dihasilkan oleh kuartir belakang lebih
banyak dibandingkan dengan susu yang diproduksi oleh kuartir depan karena
ambing kaurtir belakang lebih besar dari ambing kuartir depan. Menurut Soetarno
(1999) besarnya ambing belakang disebabkan karena sel-sel sekretoris kuartir
belakang lebih banyak. Semakin banyak sel-sel sekretoris maka produksi susu
juga semakin banyak. Total produksi susu sapi B-55 dalam 1 hari adalah 8300 ml
dalam sehari dengan durasi waktu 11 menit 8 detik.
Produksi susu sapi A-21 pada pagi hari adalah 3000
ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah
33,3% : 66,7%. Sedangkan menurut Soetarno (2003) perbandingan antara kuartir
depan dengan kuartir belakang adalah 40% :60%. Ini menunjukan bahwa kuartir
belakang lebih besar dari kuartir depan. Waktu yang dipelukan untuk pemerahan
adalah 7 menit 5 detik. Lama pemerahan tersebut sudah sesuai teori sehinga
dalam waktu tersebut hormon oksitosin masih bekerja karena hormon oksitosin
bekerja selama 7 menit (Soetarno, 2003). Produksi susu pada sore hari adalah
1550 ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah
35,5% : 64,5%. Ini sudah sesuai dengan Timan (2003) yaitu perbandingan antara
kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40% : 60%. Waktu yang diperlukan
untuk pemerahan adalah 1 menit 53 detik. Pendeknya waktu pemerahan disebabkan
oleh sedikitnya produksi susu. Total produksi susu sapi A-21 dalam 1 hari adalah 4550 ml. Jumlah ini lebih
sedikit dari B-55 ataupun B-31.
Produksi susu sapi B-48 pada pagi hari adalah 1900
ml. Perbandingan produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah
46,8% : 53,2. Besarnya perbandingan ini disebabkan karena ambing kuaritr
belakang labih besar dari ambing kuartir depan. Waktu yang diperlukan untuk
pemerahan adalah 9 menit. Ini mendekati dengan teori, menurut Soetarno (2003)
hormon oksitosin bekerja selama 7 menit. Produksi susu yang dihasilkan oleh
Sapi B-48 pada sore hari adalah 2500 ml dengan perbandingan kuartir depan dan
kuartir belakang adalah 40%:60%. Hal ini benar-benar sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Soetarno (2003) bahwa perbandingan produksi susu antara
kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40%:60%. Waktu yang dibutuhkan
untuk pemerahan adalah 3 menit 5 detik.
Setelah selesai pemerahan, ambing tidak dicuci
dengan air. Ini tidak sesuai dengan toeri, menurut Siregar (1992) setelah
selasai pemerahan ambing dan puting dicuci kembali dengan air hangat lalu
dicelupkan/disemprot dengan menggunakan biosid.
Pada praktikum ini, ambing dan puting hanya dicuci dengan air bersih bukan air
hangat dan tidak ada penyemprotan dengan biosid.
Setelah itu susu ditakar dan dicatat untuk mengetahui produksi susu/hari.
setelah pemerahan semua sapi selesai, alat untuk menampung susu dicuci dengan
air sampai bersih dan dikeringkan dengan terlungkup.
Catatan
produksi susu
Produksi susu dicatat setiap selesai pemerahan dan
catatan produksi susu selama dipelihara diperoleh dari catatan produksi susu
harian (Soetarno, 2003). Produksi susu sapi B-48 dalam sehari adalah 10.400 ml,
produksi susu sapi B-31 dalam sehari adalah 8300 ml, produksi susu sapi B-55 adalah 8300 ml dan produksi susu sapi A-21 sekitar 4550 ml. Banyak sedikitnya produksi
susu dapat disebabkan oleh bangsa sapi, umur sapi dan masa menyusui. Catatan
produksi susu penting karena menyangkut
masalah penjualan susu atau keuangan (Soetarno, 2003).
Pendugaan Umur
Setelah dilakukan penafsiran umur dengan melihat
keadaan gigi seri maka diperoleh gambaran dari keadaan gigi seri sapi tersebut
seperti pada tabel berikut :
Table 11. Penafsiran
umur
No Sapi
|
Perkiraan Umur
|
Perkiraan umur secara visual
|
Umur sebenarnya
|
|||
Kondisi gigi
|
Umur tafsiran
|
Cincin tanduk
|
Umur tafsiran
|
|||
B-55
|
Id2 à I2
|
2 tahun
|
3
|
3 tahun
|
3,5 tahun
|
3 tahun
|
A-21
|
Id2 à I2
|
2 tahun
|
3
|
3 tahun
|
3 tahun
|
2,5 tahun
|
Untuk mengetahui susunan dan kondisi
gigi seri ternak, caranya adalah dengan membuka mulut sapi perah dengan cara
melewatkan tangan melalui diastema
(bagian mulut yang tidak ditumbuhi gigi) kemudian lidah ditarik keluar. Jika
sudah kelihatan giginya maka diamati. Hal pertama yang diamati adalah perubahan
gigi seri susu menjadi gigi seri permanen. Jika seluruh gigi susu telah berubah
permanen maka yang perlu diamati adalah keterasahan gigi dan bidang keterasahan
gigi.
Pada saat pengamatan
terhadap gigi ternak, diusahakan agar tidak terlalu lama karena hal ini dapat
membuat ternak kesakitan. Ketika memasukkan tangan ke diastema, tali keluh dan
tali tambat harus dipegang dengan maksud untuk mempermudah handling. Jika sapi
yang diamati tidak memiliki tali keluh, maka perlu dipasang alat bantu handling
yaitu halter.
Perkiraan umur tersebut dimaksudkan untuk
memperkirakan umur sapi yang berguna untuk memperkirakan jumlah produksi susu,
masa laktasi, pubertas ataupun pengaturan pakan yang akan diberikan.
Penafsiran
Berat Badan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,
diperoleh hasil berat badan sebagai berikut :
Tabel 9. Penafsiran
berat badan
Variable
|
Nama sapi B-55
|
Nama Sapi A-21
|
Lingkar dada (cm)
|
188 kg
|
180 cm
|
Panjang badan absolut (cm)
|
137 kg
|
130 cm
|
Berat badan menurut:
|
|
|
Scheiffer
|
1032,98 pounds
|
898,5 pounds
|
Lambourne
|
440,69 kg
|
388,56 kg
|
Schoorl
|
441 kg
|
408,04 kg
|
Perkiraan berat badan visual
|
450 kg
|
350 kg
|
Berat badan tertimbang
|
480 kg
|
440 kg
|
Berat badan sapi praktikum diperoleh
dengan cara perhitungan rumus berat badan dan penafsiran secara visual.
Perhitungan dengan rumus diperoleh dengan memasukkan data vital sapi, yaitu
lingkar dada dan panjang badan. Dalam pengukuran data vital statistik sapi
tersebut menggunakan alat bantu pita ukur untuk menghitung lingkar dada dan
mistar ukur untuk mengukur panjang badan sapi. Pengukuran dilakukan dengan
posisi sapi pada kondisi paralelogram, yaitu dimana kedudukan empat kaki sapi
membentuk bidang empat persegi panjang pada bidang datar.
Lingkar
dada diperoleh dengan melingkarkan pita ukur pada sternum 3-4 yang letaknya
dibelakang kaki depan.
Panjang
badan absolut diukur dengan menggunakan mistar ukur dari sendi bahu sampai
tonjolan tulang duduk. Hasil yang diperoleh adalah 137 cm untuk B-55 dan 130 cm
untuk sapi A-21.
Hasil
dari perhitungan rumus berat badan maupun pengamatan secara visual yang
diperoleh dibandingkan dengan berat badan sesungguhnya yaitu hasil dari
penimbangan maka diperoleh persentase kesalahan dari penafsiran tersebut.
berdasarkan perhitungan diperoleh rata-rata kesalahan penafsiran berat badan
sebesar 4,8 % untuk rumus Scheiffer, 9,94 % untuk rumus Lambourne dan 7,6%
untuk rumus Schrool serta secara visual
diperoleh persentase kesalahan sebesar 13,3%.
Ketidakakuratan
penafsiran berat badan sapi tersebut pada praktikum ini mungkin disebabkan
karena posisi sapi pada saat pengukuran
tidak pada posisi paralelogram sehingga diperoleh data yang tidak tepat. Untuk
memperoleh data vital statistik yang meliputi lingkar dada dan panjang badan
secara tepat menurut Williamson da Payne (1993) yaitu ternak harus pada posisi
paralelogram dimana posisi keempat kaki sapi membentuk empat persegi panjang
pada bidang datar. Dan juga mungkin saat pengukuran dilakukan, sapi tidak
tenang sehingga pengukuran terganggu. Untuk penafsiran secara visual terdapat
kesalahan karena disebabkan praktikan kurang berpengalaman.
Dari
hasil perhitungan persentase kesalahan, maka dapat dilihat bahwa persentase
kesalahan terkecil terdapat pada rumus Scheiffer yaitu sebesar 4,8%. Sedangkan
persentase kesalahan terbesar terdapat pada perkiraan secara visual yaitu
sebesar 13,3%.
Perkiraan berat badan
tersebut dimaksudkan untuk memperkirakan bobot sapi tersebut sehingga ketika
terjun ke lapangan dapat memperkirakan baik mulai harga, jumlah produksi
susunya dan lain sebagainya. Karena berat badan seekor ternak berpengaruh pada
jumlah produksi susu yang dihasilkan. Semakin gemuk sapi tersebut maka produksi
susunya semakin sedikit dan begitu sebaliknya.
Handling
dan Exercise
Handling
Dari hasil praktikum
diperoleh data sebagai berikut :
Table 12. Data handling
No. Sapi
|
Keterangan
|
B-55
|
Jinak
|
A-21
|
Jinak
|
Dari praktikum,
handling sapi dilakukan ketika sapi akan ditimbang di tempat penimbangan. Untuk
handling sapi perlu diperhatikan cara-cara untuk dapat menghandling sapi agar
tidak beringas, langkah pertama yang harus diperhatikan adalah menjaga
ketenangan suasana dan ketenangan sapi. Untuk itu praktikan mengusahakan
kedatangannya diketahui oleh sapi agar sapi tidak kaget dan akhirnya beringas.
Dalam hal ini, alat Bantu yang digunakan adalah tali keluh.
Sapi
dikeluarkan dari kandang, tali tambat telah dilepas. Tali tambat biasanya
panjang, maka untuk memudahkan handling, tali tambat digulung sampai dekat
mulut sapi. Tali keluh dipegang dengan salah satu tangan yang paling kuat.
Dalam handling dilarang untuk berdiri disamping kaki belakang karena untuk
menghindari tertendang oleh sapi.
Sapi
dituntun menuju tempat penimbangan. Bila dalam perjalanan sapi tidak mau
berjalan maka sapi ditepuk pantatnya hingga mau berjalan. Dan jika sapi mencoba
berontak, ditarik tali keluhnya.
Dalam
praktikum sapi yang dihandling umumnya jinak, tetapi praktikan masih mengalami
kesulitan untuk menghandling menuju tempat penimbangan. Namun, ada juga
praktikan yang tidak mengalami kesulitan sedikitpun dalam handling.
Exercise
Sapi
yang dipelihara didalam kandang perlu mendapat exercise selama satu sampai dua
jam setiap harinya (Diggins, 1979). Exercise dilakukan dengan menuntun sapi dan
berjalan-jalan keluar kandang dan menuju tempat penimbangan dan kembali lagi
menuju kandang.
Dalam
pelaksanaan exercise, praktikan tidak mengalami kesulitan. Namun, ada juga
praktikan yang tidak melakukan exercise terhadap sapi. Hal itu dikarenakan
praktikan masih ragu-ragu dan mempunyai perasaan takut untuk melakukannya. Exercise bagi praktikan akan bermanfaat untuk
melatih keberanian terhadap sapi dan untuk sapi bermanfaat untuk mengendorkan
otot-otot yang kaku selama dikandang, melancarkan peredaran darah,
menghindarkan stress dan dapat menambah produksi susu.
Pengukuran
Data Fisiologis dan Lingkungan
Pengukuran data fisiologis yang dilakukan pada
prakikum ini meliputi pengukuran frekuensi pulsus, frekuensi respirasi,
temperatur rectal, temperatur lingkungan dan kelembaban udara. Data-data ini
diambil dari sapi A-21 dan sapi B-55.
Dari data hasil pengamatan status fisiologi sapi perah, didapat data fisiologis
yang meliputi frekuensi respirasi, pulsus, dan temperatu rectal. Pada sapi B-55
didapat data frekuensi respirasi antara 31 sampai 50 kali/menit, frekuensi
pulsusnya antara 67 sampai 81 kali/menit dan temperatur rectal 38-39˚C. sedangkan pada sapi A-21 didapat data frekuensi
respirasi antara 31 sampai 42 kali/menit, frekuensi pulsus 46-76 kali/menit dan
temperatur rektalnya 38-39˚C.
Menurut Frandson (1992) data fisiologis sapi saat
istirahat yang meliputi frekuensi respirasi 20 kali/menit, frekuensi pulsusnya
60-70 kali/menit dan temperatu rectal 38-39˚C. temperatu rectal dari kedua sapi tersebut berada dalam kisaran normal.
Frekuensi respirasi dan pulsus berbeda dengan kisaran normal. Hal ini dapat
disebabkan karena sapi mengalami stress karena terlalu banyak gangguan
disekitarnya. Suhu lingkungan dan aktivitas sapi juga dapat mempengaruhi kedua
status fisiologis tersebut (Frandson, 1992)
Pulsus
Besarnya pulsus atau denyut jantung dipengaruhi
oleh temperatur lingkungan, ketinggian tempat, kelembaban, stress, penyakit dan
lain-lain. Pada praktikum ini didapatkan frekuensi pulsus pada sapi B-55 antara 61-79 kali/menit dan rata-rata dalam 1
hari adalah 73,268 kali/menit. Frekuensi pulsus pada sapi B-55 paling banyak
pada pukul 16.00 yaitu sebanyak 74,3 kali/menit, sedangkan frekuensi pulsus
paling sedikit terjadi pada pukul 12.00 yaitu 67,67 kali/menit. Pada sapi A-21
frekuensi pulsusnya antara 46,67-79 kali/menit dan rata-rata dalam 1 hari adalah
67,268 kali/menit. Frekuensi pulsus yang paling banyak terjadi pada pukul 13.00
yaitu sebanyak 79 kali/menit, sedangkan frekuensi pulsus paling sedikit pada
pukul 06.00 yaitu sebanyak 46,67 kali/menit.
Jika dibandingkan dengan literatur, frekuensi pulsus
kedua sapi diatas kisaran normal. Kisaran normal pulsus sapi antara 50-60
kali/menit (Williamson dan Payne, 1993). Tingginya frekuensi pulsus bisa
disebabkan tingginya temperatur lingkungan. Sapi perah adalah sapi yang cocok
pada temperatur lingkungan yang rendah sehingga pada kondisi lingkungan yang
panas akan meningkatkan laju pulsus. Menurut Wlliamson dan Payne (1993) pada
kondisi lingkungan yang panas laju pulsus akan meningkat karena jantung dipakai
untuk memompa dan mengalirkan lebih banyak darah ke permukaan tubuh yang
selanjutnya membentuk pembebasan panas secara konduksi, konveksi, radiasi dan
evaporasi. Pada pagi hari, frekuensi pulsus kedua sapi masih sedikit karena
temperatur lingkungan masih rendah. Dan ketika temperatur lingkungan tinggi, frekuensi
pulsus menjadi banyak. Perubahan laju pulsus merupakan cara untuk
mempertahankan panas tubuh yang relatif
konstan.
Temperatur
Rectal
Merupakan suatu indeks yang baik untuk mengetahui
kemampuan hewan dalam menjaga keseimbangan temperatur tubuh dan merupakan
parameter yang baik untuk menggambarkan suhu tubuh.
Temperatur rectal sapi B-55 antara 38,13-39,2 ˚C dan rata-ratanya dalam sehari adalah 38,47˚C. Temperatur terendah pada pukul 06.00 dan 12.00
yaitu 38,766˚C dan
temperatur tertinggi pada pukul 12.00, 13.00 dan 14.00 yaitu 39,2 ˚C.
Sedangkan pada sapi A-21 temperatur rectal antara 38,067-39,2˚C dan
rata-ratanya dalam sehari adalah 38,828˚C dimana temperatur terendah
pada pukul 06.00 yaitu 38,067 ˚C dan temperatur tertinggi pada pukul 12.00 yaitu
39,2˚C.
Kisaran normal temperatur rectal pada sapi perah
adalah 38,0-39,0˚C dan rata-ratanya adalah 38,6 ˚C. Jika dibandingkan dengan kisaran normalnya
temperatur rectal kedua sapi adalah normal. Temperatur tubuh yang konstan
merupakan persyaratan utama untuk produksi susu sapi perah (Frandson, 1992).
Respirasi
Frekuensi respirasi bervariasi, tergantung jenis
sapi dan umurnya. Laju respirasi normal pada sapi perah berkisar antara 15-25
kali/menit.
Frekuensi respirasi sapi B-55 antara 31,3-55,33 kali/menit
dan rata-ratanya dalam 1 hari 42,43 kali/menit. Frekuensi respirasi paling
sedikit terjadi pada pukul 06.00 yaitu 31,3 sedangkan frekuensi respirasi
paling banyak terjadi pada pukul 15.00
yaitu 55,33 kali/menit. Pada sapi A-21 frekuensi respirasi antara
31,3-42,3 kali/menit dan rata-ratanya
dalam 1 hari adalah 34,978 kali/menit. Frekuensi respirasi paling sedikit
terjadi pada pukul 13.00 dan 14.00 yaitu sebanyak 31,3 kali/menit sedangkan
frekuensi respirasi paling banyak terjadi pada pukul 12.00 yaitu sebanyak 42,3
kali/menit.
Jika dibandingkan dengan kisaran normalnya,
frekuensi respirasi kedua sapi tersebut
maka dalam keadaan normal.
Temperatur
dan Kelembaban Lingkungan
Temperatur dan kelembaban lingkungan akan
mempengaruhi frekuensi respirasi, frekuensi pulsus dan temperatur rectal. Dari
data diketahui bahwa kalembaban
kandang sekitar 90 %
Pada saat temperatur dan kelembaban tinggi frekuensi pulsus, frekuensi
respirasi dan temperatur rectal cenderung meningkat. Selain mempengaruhi data
fisiologis, temperatur dan kelembaban merupakan unsur lingkungan yang
berpengaruh terhadap produksi ternak (produksi susu). Pada saat temperatur
lingkungan meningkat produksi susu dan konsumsi pakan akan menurun dengan
sendirinya sebagai upaya untuk mengurangi produksi panas tubuh. Kurangnya nafsu
makan merupakan sebab utama penurunan produksi susu selama ternak mengalami
stress panas.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan
bahwa sapi yang digunakan dalam praktikum adalah sapi Fresian Holstein (FH).
Sapi mempunyai alat prehension yaitu
lidah yang teksturnya kasar. Hal ini dipengarauhi oleh jenis dan macam pakan
yang berupa serat kasar. Sapi merupakan hewan poligastrik. Puting sapi
berjumlah 4 buah dan tidak ditemukan puting tambahan (ekstra puting).
Penafsiran berat badan dilakukan
dengan mengukur panjang badan absolut dan lingkar dada. Lalu dikonfirmasi
dengan rumus Scheiffer, Lambourne, dan Schoorl. Presentase kesalahan rata-rata
dengan metode Scheiffer, Lambourne, Schoorl adalah 4,8 %, 9,94 %, dan 7,6%.
Hasil yang paling mendekati sebenarnya adalah penafsiran berat badan dengan
metode Scheiffer. Persentase kesalahan rata-rata penafsiran berat badan secara
visual adalah 13,3%.
Pada penafsiran umur, yaitu dengan melihat
keadaan gigi seri sapi. Umur tafsiran yaitu 2 tahun dan 2 tahun sedang umur
sebenarnya 3 tahun dan 2,5 tahun.
Sanitasi ternak, kandang dan
lingkungan dilakukan dengan baik dan bersih. Sapi A-21 dan B-55 menunjukan
dalam kondisi sehat dan tidak terkena mastitis.
Kandang sapi perah merupakan suatu
pabrik penghasil makanan sehat bagi manusia. Pada praktikum ini, kandang yang
digunakan sudah standar yang ada.
Data fisiologi diperlukan untuk
mengetahui kondisi kesehatan ternak. Pulsus sapi B-55 frekuensinya rata-rata
73,268 kali per menit dan sapi A-21 frekuensi pulsusnya 67,268 kali per menit.
Temperatur rectal sapi B-55 rata-rata 38,47˚C, sedangkan sapi A-21 rata-rata 38,828˚C. Kedua sapi tersebut dalam kodisi normal dan sehat. Respirasi sapi B-55
rata-rata 42,43 kali per menit dan sapi A-21 rata-rata 34,978 kali per menit.
Kelembaban kandang sekitar 90 %.
Produksi susu sapi B-48, B-31, B-55
cukup tinggi sedangkan produksi susu sapi A-21. Produksi susu ambing kuartir
belakang lebih banyak daripada kuartir depan.
Saran
Pada praktikum ini, menurut kami
sudah berjalan dengan baik dan sangat membantu kami dalam memahami mata kuliah
Dasar Ternak Perah. Kami juga sangat menghormati asisten yang ramah – ramah
serta sabar sehingga kami mudah dalam
menyerap bahan – bahan yang ada. Kami berharap pada tahun yang akan datang dapat dilaksanakan menjadi
lebih baik.
RINGKASAN
Praktikum
manajemen ternak perah yang dilakukan memiliki peranan yang sangat penting,
yaitu bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang produksi susu yang
tinggi dan berkualitas. Usaha memanajemen ternak perah yang meliputi pemilihan
bangsa ternak perah yaitu dari bangsa sapi FH yang memiliki produksi susu
tertinggi di Indonesia adalah upaya awal dalam peningkatan produksi susu.
Selanjutnya recording atau pencatatan juga termasuk sebagai pemegang peranan
penting pula karena tanpa adanya recording suatu usaha peternakan sapi perah
tidak dapat melakukan manajemen yang baik dan produksi susu tidak dapat
mencapai target yang maksimal sebagai tujuan
dari peternak itu senderi untuk mengembangkan usahanya. Fisiologi pencernaan
dan kelenjar susu yang sempurna dimana dapat berfungsi secara normal adalah
faktor yang penting pula dalam manajemen ternak perah sebab apabila fisiologi
alat pencernaan dan kelenjar susu tidak berfungsi secara baik maka otomatis
dapat mempengaruhi produksi susu, bahkan bisa dikatakan ternak tidak produktif.
Untuk sistem pengaturan mengenai
perkandangan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di mana syarat yang
baik pengaturan perkandangan adalah adanya ventilasi, cukupnya sinar matahari,
kekeringan, lingkungan, keamanan hewan dan kontruksi kandang terutama
kemiringan lantai dan adanya selokan di mana kemiringan selokan juga harus
diperhatikan pula.
Untuk
menunjang jalannya manajemen ternak perah diperlukan berbagai alat yang harus
disediakan diantaranya alat identifikasi, alat bantu pengukuran berat badan,
dan alat bantu handling. Alat identifikasi meliputi branding, ear tag, ear notch, neck chain, ankle streep,
tatto tang, burdizzo tang, tatto dan
palu. Untuk alat bantu pengukuran berat badan seperti pita DWT (Dairy Cow
Weighting Tape), dan mistar ukur. Sedangkan alat bantu handling berupa halter.
Dalam
pelaksanaan manajemen, faktor penting yang perlu diperhatikan adalah mengenai
perawatan ternak perah sebab perawatan ternak perah bila dilakukan secara benar
dan baik akan mengurangi tingkat timbulnya penyakit yang dapat menyerang
ternak. Selain itu pula dengan perawatan ternak perah yang benar akan
mempengaruhi kualitas susu.
Pemberian pakan juga mempunyai
peranan yang penting pula dimana dengan pemberian pakan secara benar dapat
meningkatkan produksi susu yang maksimal. Pemberian pakan harus disesuaikan
dengan proporsi masing-masing jenis ternak perah atau dengan kata lain
pemberian pakan secara serasi dan seimbang di mana dalam menyusun ransum
berhubungan dengan berat badan sapi serta umur dari sapi tersebut. Sehingga
pendugaan berat badan dan umur harus dilaksanakan guna menunjang terlaksananya
manajemen ternak perah yang baik. Selain itu pula faktor yang perlu
diperhatikan adalah pemerahan dari ternak sapi ternak perah itu sendiri. Dalam
pemerahan hal yang perlu diperhatikan meliputi tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, tahap penyelesaian atau pengapuhan, dan tahap penanganan susu.
Handling
dan exercise berperan penting pula dalam manajemen ternak perah sebab handling
merupakan metode untuk menguasai ternak sehingga ternak akan mudah untuk diberi
perlakuan sesuai dengan tujuan seperti pemerahan dan penafsiran berat badan.
Sedangkan tujuan dari exercise adalah untuk memperkuat perototan, memperlancar
peredaran darah dan mencegah terjadi retensi placenta.
Untuk
pengukuran data fisiologis dan lingkungan perlu dilakukan sebab dapat
mengetahui bagaimana kondisi kesehatan dari ternak dari ternak perah. Sedang
untuk pengukuran lingkungan dimaksudkan
agar dapat diketahui bagaimana kondisi lingkungan, dimana kondisi
lingkungan yang berubah-ubah dapat berpengaruh pula pada kondisi kesehatan dari
ternak itu sendiri. Kemudian dalam pengelolaan manajemen ternak perah
pengamatan tingkah laku juga memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil
produksi yang maksimal karena dengan mengamati tingkah laku ternak bisa
diketahui apakah dalam pemberian dan penangan pakan sesuai dengan jumlah pakan
yang dimakan dengan jumlah yang dikeluarkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aiumlamai. 1999. Dairy Mangement and Animal Health
in Smallholders Dairying in the Tropic. Ed. I. Falvey and Chantalakhana.
ILRI-Nairobi, Kenya
Anonimus. 1983. Program Teknik Dan Kandidat
Pembangunan, Direktorat Jendral
Peternakan. Departemen Pertanian: Jakarta.
Anonimus. 1985. Beternak Sapi Perah. Aksi Agraria
Kanisius, Jakarta.
Anonimus. 1991. Beternak Sapi Perah. Kanisius:
Yogyakarta.
Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker dan R.D.
Appleman. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits Third
Edition. Lea and Febinger, Philadelphia.
Blakely. J and Bade. 1985. Ilmu Peternakan. Gadjah
Mada University Press Yogyakarta.
Blakely. J and Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah
Mada University Press Yogyakarta.
Blakely. J and Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi
Keempat. UGM Press Yogyakarta.
Davendra C. and M. Burn. 1983. Goat Production in
the Tropic. Commonwealth Agriculture Beuraux.
Davendra and Born. 1994. Produksi Kambing di
Daerah Tropis. Universitas Udayana: Bali.
Diggins, R.V.S. and C.E. Bundy. 1979. Dairy
Production. Prentice Hall.Inc Englewood Cliff: New Jersey.
Eustice, R.F. 1988.
Pedoman Pengelolaan Sapi Perah. Nandi Amerta Agung: Salatiga.
Frandson, R.O. 1992. Anatomi dan
Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
Gufron. 1976. Korelasi Antara Berat Badan Hidup
dengan Lingkar Dada, Panjang Badan dan Gumba Sapi 5 Bali Kualitas Eksport Asal
Pulau Lombok NTB. Skripsi Sarjana Peternakan UGM. Yogyakarta.
Hardjosubroto, W., T.
Soetarno, R. Soepardjo, M. Astuti, S. Prihadi, S. Reksohadiprodjo, Soegeng dan
Adiarto. 1980. Program Breeding Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemeliharaan
Ternak Dilapangan. Prasindo: Yogyakarta.
Henderson, H.O. dan P.M. Reaves.
1963. Dairy Cattle. Feeding and Management 5th ed. Wiley Eastern
Put., Ltd., New Delhi.
King. 1978. An Introduction To
Animal Husbandry. Holsted Press Advision of Jhon Wileyson Inc., New York.
Lasley, J.F. 1981. Beef Cattle
Production. Prerentice Hall Inc., New Jersey.
Muljana. W. 1985.
Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Sapi Perah. CV Aneka Ilmu, Semarang.
Murtidjo, BA. 1992. Beternak Sapi
Potong. Penebar Swaday, Jakarta.
Murtidjo, BA. 1993. Beternak Sapi
Potong. Kanisius, Yogyakarta.
NRC. 1978. Nutrient Requirements
of Dairy Cattle. Fifth Revised Ed. NAS. Washington DC.
Pane, I. 1986. Pemuliabiakan
Ternak Sapi. Cetakan Pertama. Penerbit PT. Gramedia Anggota IKAPI, Jakarta.
Poespo, R.S. 1963. Pengetahuan
Tentang Penentuan Umur. Terjemahan De leer tijds Bepaling Bijde Huisairen.
Prihadi. S. 1997. Dasar Ilmu
Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM: Yogyakarta.
Reksohadiprodjo, Soedomo. 1995.
Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Edisi Kedua. BPFE: Yogyakarta.
Reksohadiprodjo, Soedomo. 1984.
Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE: Yogyakarta.
Sarwono, B. 1997. Beternak Kambing
Unggul. Penebar Swadaya: Jakarta.
Sindhuredjo, S. 1960. Pedoman
Perusahaan Pemerahan Susu. Proyek Pengembangan Produksi Ternak Riset.
Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
Siregar, S. 1990. Sapi Perah
Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya: Jakarta.
Siregar, S. 1992. Pemeliharaan
Sapi Perah Laktasi di Daerah Dataran Rendah. Wartaozoa. Vol. 5 No. 1: 1-9.
Siregar, S.M.S. 1995. Sapi Perah,
Jenis Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya: Jakarta.
Soetarno. 1995. Dasar Ternak
Perah. Fakltas Peternakan UGM: Yogyakarta.
Soetarno. 1999. Manajemen Ternak
Perah. Lab Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta.
Soetarno, Timan. 2003. Manajemen
Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan UGM:
Yogyakarta.
Sosroamidjoyo, SM. dan Soeradji.
1978. Peternakan Umum. Edisi Kedua. CV Yasaguna: Jakarta.
Sosroamidjoyo, SM. dan Soeradji.
1990. Peternakan Umum. Cetakan ke-10. CV Yasaguna: Jakarta.
Syarief, M. dan Sumoprastowo
C.D.A. 1984. Ternak Perah. Edisi Kedua. CV Yasaguna: Jakarta.
Toelihere, M.Z. 1987. Ilmu
Kebidanan Pada Ternak Sapi Dan Kerbau. UI Press: Jakarta.
Williamson, G and W.J.A. Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Perhitungan berat badan
Sapi TS02
Diket : Panjang
badan = 148 cm = 58,3 inch
Lingkar
dada = 141 cm = 55,5 inch
Berat
badan real = 325 kg
Berat badan :
a. Metode scheiffer.

G
= lingkar dada (inch)

b. Metode lambourne.

G
= lingkar dada (cm)

c. Metode schrool



Prosentase kesalahan
1) Metode scheiffer.

2) Metode lambourne.

3) Metode schrool

Sapi
7674
Diket : panjang
badan = 162 cm = 63,8 inch
Lingkar
dada = 191 cm = 75,2 inch
Berat badan
real = 535 kg
Berat badan :
a. Metode scheiffer.

G
= lingkar dada (inch)

b. Metode lambourne.

G
= lingkar dada (cm)

c. Metode schrool



Prosentase kesalahan
1)
Metode
scheiffer.

2)
Metode
lambourne.

3)
Metode schrool

Lampiran 2.
Perhitungan ransum
]
Diketahui sapi dengan berat badan 475
Kg, masa laktasi I, produksi susu 20 Kg, kadar lemak 4 %. Bahan yang tersedia
meliputi rumput gajah, alang-alang, bungkil kedelai, pollard, dan tepung biji
kacang kapri.
I. Menentukan
totak BK pakan yang mampu terkonsumsi oleh sapi.
4 % FCM = (0,4 x produksi susu) +
15(kadar lemak x produksi susu)
4 % FCM = (0,4 x 20) + 15 (0,04 x 20)
4 % FCM = 8 + 12
4 % FCM = 20


320 + 30 = 100X
X = 3,5
Jadi BK= 3,5 % (BK maksimal untuk
berat badan 475 Kg )
BK pakan = 3,5 % x 475 Kg
= 16,625 Kg
II. Menyusun tabel kebutuhan nutrien sapi sesuai
kebutuhan berdasar berat badan.
Parameter
|
Kebutuhan Nutrien
|
|||
NEL (Mcal)
|
PK (g)
|
Ca (g)
|
P (g)
|
|
Hidup Pokok
|
8,14
|
351
|
19
|
13,5
|
20 %
|
1,628
|
70,2
|
3,8
|
2,7
|
Produksi Susu
|
14,8
|
1800
|
64,2
|
39,4
|
Total
|
24,568
|
2221,2
|
87
|
55,6
|
III. Menentukan imbangan BK hijauan dan BK konsentrat.
Imbangan BK hijauan dan BK konsentrat 60 : 40
» BK hijauan =
60 % x 16,625
= 9,975 Kg
Perbandingan rumput gajah :
alang-alang = 30 : 70
BK rumput gajah = 30 % x 9,975 Kg
= 3,99 Kg
BK alang-alang = 70 % x 9,975 Kg
= 5,985 Kg
»BK konsentrat
= 40 % x 16,625 Kg
= 6,65 Kg
Perbandingan bungkil kedelai : pollard : tepung
biji kacang kapri = 50 : 20 : 30
BK bungkil kedelai = 50 % x 6,65 Kg
= 3,325 Kg
BK pollard = 20 % x 6,65 Kg
= 1,33 Kg
BK tepung biji kacang kapri = 30 % x 6,65 Kg
= 1,995 Kg
Serat kasar minimal 17 % dari berat badan.
Serat kasar yang dibutuhkan = 17 % x 16,625 Kg
= 2,826 Kg


Rumput Gajah 1,13 9,1
18 33,1 0,53 0,29
Alang-alang 1, 24
12,2 23 35.7 0,13 0,09
Bungkil Kedelai 1,79 48 86 5,1 2,01 1,2
Pollard 1,98
18,7 86 7,7 0,10 1,18
Tep. biji kc. Kapri 2,21 26,6
86 7,6 0,15 0,44

IV. Chek kandungan nutrien dari ransum yang telah
tersusun.
Bahan Pakan
|
Kebutuhan Nutrien
|
||||
NEL (Mcal)
|
PK (g)
|
SK (g)
|
Ca (g)
|
P (g)
|
|
Rumput Gajah
|
4,5087
|
363,09
|
1,32069
|
21,147
|
11,571
|
Alang-alang
|
7,4214
|
730,17
|
2,136645
|
7,7805
|
5,3865
|
5,3865
|
5,95175
|
1596
|
0,169575
|
66,8325
|
39,9
|
Pollard
|
2,6334
|
248,71
|
0,10241
|
1,33
|
15,694
|
Tep.Biji kc.Kapri
|
4,40895
|
530,67
|
0,15162
|
2,9925
|
8,778
|
Total
|
24,9242
|
3468,64
|
3,88094*
|
100,0825
|
81,3295
|
*Kebutuhan minimal serat kasar terpenuhi.
V. Tabel imbangan antara kebutuhan dan pemberian.
Parameter
|
Kebutuhan Nutrien
|
|||
NEL (Mcal)
|
PK (g)
|
Ca (g)
|
P (g)
|
|
Kebutuhan
|
24,568
|
2221,2
|
87
|
55,6
|
Pemberian
|
24,9242
|
3468,64
|
100,0825
|
81.3295
|
Koreksi
|
+ 0,3562
|
+ 1247,44
|
+ 13,0825
|
+ 25,7295
|
VI. Ransum dalam bentuk segar.
Bahan Pakan
|
BK (Kg)
|
As fed (Kg)
|
Rumput Gajah
|
3,99
|
100/18 x 3,99 = 22,167
|
Alang-alang
|
5,985
|
100/23 x 5,985 = 26,02
|
Bungkil Kedelai
|
3,325
|
100/86 x 3,325 = 3,86
|
Pollard
|
1,33
|
100/86 x 1,33 = 1,55
|
Tep. Biji kc. Kapri
|
1995
|
100/ 86 x 1,995 = 2,32
|
Post a Comment for "LAPORAN PERAH TAK TAHU PUNYA SIAPA"