Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LAPORAN PERAH TAK TAHU PUNYA SIAPA



BAB I
PENDAHULUAN

Usaha dalam bidang ternak perah berdasarkan pada kemampuan untuk mamalia menghasilkan susu yang mempunyai nilai gizi tinggi bagi manusia. Sapi merupakan produsen susu yang utama di semua negara. Telah berabad-abad orang memelihara dan melakukan seleksi sapi yang mampu memproduksi susu yang jauh melebihi kebutuhan untuk memelihara anak-anaknya, dan kelebihan inilah yang dimanfaatkan oleh manusia.

Susu atau bahan penggantinya sangat penting artinya bagi pertumbuhan awal bagi manusia/mamalia serta sangat tinggi nilai gizinya sebagai bahan makanan bagi orang dewasa terutama bagi orang-orang lanjut usia.

Jumlah konsumsi susu yang disarankan 1 guart (0,946 liter) susu perhari dapat mencukupi semua kebutuhan protein untuk anak-anak sampai umur 6 tahun dan lebih dari 60 % kebutuhan bagi anak-anak yang sedang tumbuh sampai umur 14 tahun. Umur 14-20 tahun jumlah susu tersebut mampu menyediakan setengah dari kebutuhan protein harian, sedangkan bagi wanita yang sedang menyusui mampu menyediakan sebanyak 44 % kebutuhan protein (Prihadi S, 1997).

Oleh karena itu, peranan sapi perah mempunyai andil yang besar dalam pemenuhan gizi manusia terutama bagi tubuh. Sehubungan dengan itu, maka Ilmu Ternak Perah terus dikembangkan dengan penelitian. Selain itu teknologi peralatan pemerahan juga perlu terus dikembangkan. Saat ini teknologi alat pemerahan sudah mengalami kemajuan dengan munculnya mesin perah sehingga dapat meringankan pekerjaan petugas peternakan sapi perah. Tetapi saat ini peternakan sapi perah di Indonesia kebanyakan masih menggunakan tenaga manusia karena mesin perah relatif mahal. Dalam peternakan sapi perah baik yang menggunakan teknologi modern maupun yang masih menggunakan cara tradisional akan dapat berhasil dengan baik apabila usaha tersebut dijalankan dengan manajemen yang baik dan benar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengenalan Bangsa-Bangsa Ternak Perah
            Pengenalan Bangsa Sapi Perah. Bangsa sapi perah yang ada sekarang ini berasal dari daerah subtropis dan dari daerah tropis. Bangsa sapi perah yang berasal dari daerah subtropis dan daerah tropis baik rata-rata besarnya sapi, tingginya produksi susu, ketahanan terhadap cuaca panas, ketahanan terhadap penyakit/parasit dan lain-lain sangat berbeda (Soetarno, 2003).
Sapi adalah termasuk jenis Bos. Sapi perah yang ada sekarang ini adalah Bos Taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah subtropis, dan Bos Indicus (sapi berponok di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta sapi hasil persilangan keturunan Bos Taurus dengan Bos Indicus (Soetarno, 2003).
            Klasifikasi ternak sapi yakni: Kingdom: Animalia, Phylum: Chordata, Class: Mammalia, Sub Class: Placentalia, Ordo: Ungulata, Sub Ordo: Artiodactylia, Rumpun: Colondontia, Familia: Bovidae, Genus: Bos Sub Genus: Taurina, Species: Bos Tauru. (Reksohadiprojo, 1984).
Pemilihan sapi perah didasarkan pada tipe dan kualitas breeding stock yang tersedia, kondisi iklim, bentuk pemasaran susu, hijauan yang tersedia,  ukuran dan kekuatan pedet yang baru lahir, pencapaian umur dewasa kelamin, popularitas dari bangsa sapi yang bersangkutan dan selera peternak (Williamson dan Payne, 1993).
Bangsa Sapi Perah Dari Daerah Sub Tropis
            Breed sapi perah yang berasal dari daerah subtropis berasal dari Bos Taurus (sapi Eropa) yang terkenal dan banyak diternakkan ada lima bangsa, yaitu Holstein, Brown Swiss, Ayrshire, Guernsey dan Jersey. Temperatur ideal: 30-60 ºF (-1-15,6 ºC) dengan kelembaban udara rendah (± 40-70 %) (Soetarno, 2003).
Friesian Holstein. Bangsa sapi perah Holstein berasal dari Propinsi Friesland (Belanda). Di Belanda sapi tersebut disebut Holstein Friesian, di Amerika disebut Holstein. Di Indonesia sapi tersebut disebut Fries Holland atau Friesian Holstein (FH). Nenek moyang sapi Holstein adalah sapi hitam dan sapi putih, yaitu sapi Batavia dan sapi Friesian (Soetarno, 2003). Ciri-ciri FH ini adalah kepala panjang, sempit dan lurus, paha lurus dan bahu ramping yang dikehendaki. Sapi Holstein betina biasanya tenang dan jinak, tetapi yang jantan (bull) umumnya ganas. Warna standar sapi Holstein adalah belang hitam putih (black and white) yang berbatas dengan tegas. Imbangan warna putih dan hitam jumlahnya tidak mengikut. Bulu kipas ekor, perut dan kaki dari lutut dan tumit kebawah serta dahi berwarna putih (ada kalanya berbentuk segitiga). Sapi Holstein ada kalanya juga yang berwarna merah dan putih, tetapi warna ini belum tentu diwariskan kepada anaknya (Soetarno, 2003).
Pada dahi terdapat warna putih dengan batas jelas, tidak tahan panas, pertumbuhan lambat, berat dewasa jantan 1800 pounds, yang betina 1400–1600 pounds (Diggins dan Bundy, 1979). Sapi Holstein memproduksi susu cukup tinggi tetapi kadar lemaknya rendah (Blakely et al., 1991). Sapi muda (dara) Holstein umur 15 bulan apabila beratnya 800–850 pounds (362–385 Kg) ada tanda minta kawin, maka sudah dapat dikawinkan, dan diharapkan beranak pertama umur 24 bulan (Soetarno, 2003).  Produksi sapi perah di Indonesia dengan pengembangan dipusatkan pada peningkatan populasi dan mutu genetiknya mencapai 6905 Kg selama 305 hari laktasi dengan dua kali pemerahan (Siregar, 1995).
Brown Swiss. Bangsa sapi Brown Swiss dikembangkan di lereng-lereng pegunungan Switzerland (Swiss) dan pada musim semi merumput di kaki gunung sampai lereng yang paling tinggi. Warna sapi bervariasi mulai dari coklat muda sampai coklat gelap. Berat sapi betina dewasa 544–635 Kg dan sapi jantan beratnya 1600–2400 pounds (Soetarno, 2003). Hidung dan bulu ekor kebanyakan berwarna hitam. Produksi susunya 4000–4500 liter dalam satu masa laktasi (Muljana, 1985). Ukuran badannya besar serta lemak badannya yang berwarna putih menjadikannya sapi yang disukai untuk produksi daging (Blakely et al., 1991).
Ayrshire. Bangsa sapi ini berasal dari Country (Shire) di daerah Ayr, yaitu bagian barat daya Skotlandia. Warna sapi perah Ayrshire bervariasi dari merah dan putih sampai warna mahoni dan warna merahnya amat terang atau hampir hitam (Soetarno, 2003). Cirinya tanduk panjang keatas lurus dengan kepala, cepat dewasa kelamin. Produksi susu 5000 Kg/tahun, berat induk 540 Kg (Blakely et al., 1991). Lemak susu berkadar 4,12 % ambing besar berat jantan 800–1150 Kg (Syarief dan Soemoprastowo, 1984).
Guernsey. Bangsa sapi dikembangkan di pulau Guernsey (Inggris) yang terletak di salah satu pulau-pulau antara Perancis dan Inggris. Warna sapi dari kuning terang sampai hampir merah dengan tanda warna putih pada dahi, kaki, rambut kipas ekor dan lipatan antara paha dan perut. Kulit berwarna kuning (Soetarno, 2003). Tanduk mencuat ke depan dan menjurus sedikit ke atas dan berukuran sedang. Sapi ini mempunyai sifat tenang dan agak cepat dewasa. Berat badan untuk sapi jantan 700 Kg dan betina 475 Kg. Produksi susu 2750 liter dalam satu masa laktasi (Muljana, 1985).
Jersey. Bangsa sapi ini dikembangkan di Pulau Jersey (Inggris) yang terletak hanya 22 mil dari pulau Guernsey. Dikembangkan untuk tujuan utama lemak susu untuk mentega dan tidak disukai untuk produksi daging (Soetarno, 2003). Ciri-cirinya berwarna coklat dengan atau tanpa putih, agak nervous, cepat masak kelamin, produksi susu 4000 Kg/tahun (Blakely et al., 1991). Berat jantan 600–800 Kg, betina 400–450 Kg, kadar lemak susu 5,2 % sehingga baik untuk pembuatan mentega (Sindhuredjo, 1960). Kulit berwarna oranye, tanduk jantan kekuningan dengan ujung tanduk yang lebih tua (Sosroamidjoyo et al., 1990).
Selain kelima bangsa sapi perah diatas masih banyak, tetapi popularitas, populasi dan jumlah produksi susunya relatif lebih kecil antara lain Red Danish berkembang di Denmark, Dutch Belted berkembang di Belanda. Selain itu dikenal sapi tipe dual purpose yang dapat menghasilkan susu cukup banyak dan cepat serta mudah digemukkan yakni Milking Shorthorn dan Red Poll (Soetarno, 2003).
Bangsa Sapi Perah Dari Daerah Tropis
            Breed sapi perah yang berasal dari daerah tropis yaitu berasal dari Bos Indicus (sapi berpunuk Asia) banyak diternakkan di India dan Pakistan. Breed tersebut antara lain sapi Sahiwal, Red Sindhi, Gir, Onggole, Hissar, Kankray, Hallikar dan lain-lain (Soetarno, 2003).

Sahiwal. Bangsa sapi Sahiwal termasuk bangsa sapi Zebu dan terbaik di India. Warnanya kelabu kemerah-merahan atau coklat (Soetarno, 2003). Sapi ini berasal dari distrik Punjab, Pakistan, tubuh agak panjang dan dalam, tanduk sangat pendek (Sosroamidjoyo et al., 1990). Bulunya halus dan ambingnya baik (Anonimus, 1985). Berat badan dewasa jantan 500–600 Kg, dewasa betina 450 Kg, produksi susu sekitar 1300 Kg/tahun dengan kadar lemak 4–6 % (Pane, 1986). Gelambir besar, bertanduk pendek, pada betina longgar pangkalnya dan tebal, pusarnya longgar dan menggantung (Reksohadiprodjo, 1984).

Red Sindhi. Sapi ini berasal dari distrik Karachi, Hyderabat, dan Hohistan yang kering dan panas 50–107º F dengan warna merah tua (Soetarno, 2003). Ciri spesifiknya berbentuk kokoh, kuat dan berat, gelambir lebar, berkaki pendek dan kuat, bulunya lembut, ukurannya lebih kecil daripada sapi Sahiwal (Muljana, 1985). Ambing menggantung dengan puting besar, berat jantan 450–500 Kg, betina 300–350 Kg, produksi susu 1200–1500 liter/laktasi, kadar lemak susu 5 % (Sindhuredjo, 1960).
Gir. Tempat asalnya sapi ini di Semenanjung Kathiawar dekat Bombay (India Barat). Warnanya sedikit bercak-bercak coklat atau hitam, tetapi ada juga yang kuning, merah sampai hitam (Soetarno, 2003). Berat rata-rata sapi jantan 600 Kg dan berat sapi betina 400 Kg, dengan produksi susu rata-rata 2000 liter/tahun dengan kadar lemak 4,5–5 % (Anonimus, 1983). Sapi ini bertanduk pendek tumpul, tumbuh ke samping dan belakang pangkal tebal, kelesa jantan tumbuh baik dan tegak, kulit longgar, fleksibel, halus dan berambut pendek mengkilap, telinga agak panjang menggantung dan kepala panjang (Reksohadiprodjo, 1984).
Onggole. Tempat asal distrik Onggole Madras. Warna sapi Onggole putih, tetapi pada pantatnya (hump), leher dan kepala pada yang jantan berwarna kelabu gelap. Besarnya sapi, berat sapi betina dewasa 450–500 Kg, sedang yang jantan 600–650 Kg. Sapi ini produksinya menurut laporan jauh dibawah Sahiwal dan Red Sindhi yaitu rata-rata 3030 pound selama periode laktasi 313 hari, calving intervalnya rata-rata 479 hari (Soetarno, 2003). Kepala panjang, telinga panjang menggantung, bertanduk pendek tumpul, kalesa jantan tegak, gelambir besar dan berlipat-lipat (Reksohadiprodjo, 1984).


Bangsa-Bangsa Sapi Perah Persilangan
            Breed baru sapi perah berasal dari persilangan Bos Taurus dengan Bos Indicus yang telah diciptakan/direkayasa di Australia (Soetarno, 2003).
Australian Milking Zebu (AMZ). Sapi ini merupakan persilangan sapi Jersey betina dengan sapi Red Sindhi atau Sahiwal. Dari persilangan ini diambil keturunan yang ketiga dan dikembangkan yang merupakan sapi AMZ (Hardjosubroto, 1980). Warna sapi ini coklat kuning sampai kemerahan, dengan berat betina dewasa 350–400 Kg dan pejantan 500-550 Kg, produksi susunya mencapai 1425–4150 liter/laktasi dengan kadar lemak 4,9 % (Soetarno, 2003).
Australian Friesian Sahiwal (AFS). Sapi ini hasil persilangan pejantan Sahiwal dengan sapi Friesian. Warna umum hitam, coklat dan merah. Bulu halus dan mengkilap. Bentuk tubuh mirip sapi perah tapi memiliki punuk kecil, telinga besar, kaki lebih kuat dari sapi FH. Berat sapi pejantan 650 Kg dan betina 580 Kg (Hardjosubroto, 1980).
Australian Illawara Shorthorn (AIS). Sapi ini berada di distrik Illawara, New South Wales. Berasal dari campuran Bos Taurus, Milking Shorthorn, Ayrshire dan Devon. Berwarna merah mulus, kadang berbintik atau berbercak putih pada dada dan flank. Produksi susu mencapai 3484 liter/laktasi. Berat pejantan dewasa 800 Kg, betina 500–600 Kg (Hardjosubroto, 1980).
Bangsa Sapi Perah Di Indonesia
            Breed atau bangsa sapi perah yang asli berasal dari Indonesia tidak ada. Sapi perah di Indonesia berasal dari impor dan persilangan sapi impor dengan sapi lokal (Soetarno, 2003).
Friesian Holland. Sapi ini ada sejak zaman penjajahan Belanda (± 1891) yang diternakkan di Lembang dan Cisarua. Disamping itu di Klaten terdapat tempat pembibitannya (Soetarno, 2003).
Grati. Terbentuknya breed sapi ini diawali tahun 1891–1892 (zaman pemerintah Hindia Belanda). Berasal dari perkawinan sapi pejantan FH dengan sapi betina lokal atau Madura untuk grading up. Produksi susu rata-rata 15 liter/hari. Sapi perah ini mendapat pengakuan internasional sebagai breed sapi perah baru di Indonesia (Soetarno, 2003).
Peranakan FH. Sapi ini merupakan hasil persilangan sapi FH dengan sapi lokal dengan pengaruh FH lebih besar. Bercirikan seperti FH hanya cacat warna dan produksi susu serta ukuran tubuh relatif lebih kecil (Soetarno, 2003).
Sapi Hissar. Sapi ini terdapat di Sumatera Timur, mulai masuk 1885. Semula diternakkan di perkebunan dan dipelihara oleh orang-orang India. Sapi ini banyak yang sudah dipotong atau pindah karena kurang diminati (Soetarno, 2003). Produksi susu 3 liter/hari, rendahnya produksi ini karena pengaruh genetik dan mulai disilangkan dengan FH (Soetarno, 1995).
Selain sapi diatas masih ada sapi peranakan Red Danish di Madura dan sapi Onggole sebagai sapi kerja atau potong.

            Pengenalan Bangsa-Bangsa Kambing Perah. Ternak kambing memberikan nilai ekonomi yaitu selain daging, kulit juga dapat sebagai sumber devisa negara. Beberapa kambing menghasilkan susu dengan kualitas lebih tinggi daripada susu sapi (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Di Negara-negara tropis meskipun banyak jenis kambing namun masih sedikit sekali perhatian terhadap seleksi atau breeding dalam usaha memperoleh satu performance yang baik (Prihadi, 1997).
Susu dan daging kambing memiliki arti penting daripada ternak lain. Kurang lebih 74 % produksi daging kambing diseluruh dunia dihasilkan oleh negara tropis dan subtropis. Sedangkan 67 % proporsi produksi susu kambing di seluruh dunia berasal dari daerah tropis (Davendra et al., 1994).
Klasifikasi ternak kambing yakni: Kingdom: Animalia, Phylum: Chordata, Sub Phylum: Vertebrata, Class: Mammalia, Sub Class: Thera, Ordo: Pelavo, Sub Ordo: Bovidae, Genus: Capra, Species: Capra hircus, Capra prisca, Capra falconeri (Williamson and Payne, 1993)
Kambing sekarang ini merupakan domestikasi manusia yang diturunkan dari tiga jenis kambing liar yakni : Capra hircus di daerah sekitar perbatasan Turki-Pakistan, Capra prisca di daerah sepanjang Balkan, dan Capra falconeri di daerah sepanjang  Kashmir, India (Murtidjo, 1993).


Bangsa Kambing Perah Daerah Sub Tropis
Toggenburg. Kambing ini berasal dari lembah Toggenburg, Swiss. Kambing jantan dan betina tidak memiliki tanduk, bertelinga besar, dan berdiri tegak serta ambing sangat besar. Berat tubuh rata-rata dewasa 60 Kg (Murtidjo, 1993). Ukuran tubuh besar, warna coklat kekuningan atau coklat dengan garis dan bercak berwarna krem atau coklat, leher panjang dan ramping dengan produksi susu 1-3 Kg/hari (Davendra et al., 1994).
Saanen. Kambing ini berasal dari lembah Saanen, Swiss. Pejantan dan betina tidak bertanduk, warna bulu putih dengan bercak hitam pada hidung, telinga dan ambing, dahi lebar, telinga sedang dan tegak dengan posisi kaki lurus kuat dan kepala seimbang. Berat tubuh jantan 80–120 Kg, berat betina 50–90 Kg dengan produksi susu 4–4,5 liter/hari (Davendra et al., 1994).
Alpine. Kambing ini berasal dari pegunungan Alpine, Perancis. Warna bulu bervariasi antara putih, abu-abu dan coklat, berbadan besar, telinga pendek, berat betina dewasa 55 Kg dan tidak kesulitan dalam melahirkan. (Blakely et al., 1991) Kambing ini tidak cocok hidup di daerah dengan kelembaban tinggi dengan produksi susu 4,5 Kg/hari (Davendra et al., 1994).
Bangsa Kambing Perah Daerah Tropis
Etawah. Kambing ini berasal dari India di distrik Etawah. Kambing ini bercirikan dengan bulu berwarna variasi kebanyakan belang bercak hitam atau putih dan campuran ketiganya, ambing besar, puting panjang seperti botol, rambut pendek kecuali di bagian paha belakang lebih panjang, berat badan 40–70 Kg, hidung melengkung cembung, telinga lebar dan panjang, pejantan berjenggot dan rahang bawah menonjol (Sarief dan Sumoprastowo, 1984). Produksi susunya mencapai 1–3 liter/hari (Davendra et al., 1994).
Beetal. Kambing ini berasal dari India dan Pakistan dengan ciri: warna bulu hitam, bulu panjang, telinga menggantung, berat badan betina antara  20–40 Kg, produksi susu 1,3 Kg/hari cocok sebagai pedaging (Sarwono, 1997).
Nubian. Kambing ini berasal dari Afrika. Kambing jantan dan betina tidak bertanduk, bulu hitam, merah dan putih, serta telinganya terkulai, kambing jantan berjenggot (Murtidjo, 1993). Produksi susu lebih sedikit dari kambing berasal dari Swiss, dengan persentase lemak susu tinggi, dewasa kelamin betina 60 Kg (Blakely et al., 1991). 
Barbari. Kambing ini berasal dari India bagian utara dan Pakistan Barat. Kambing kecil bertanduk pendek, telinga kecil berdiri, bulu pendek dengan warna beragam. Berat betina 27–36 Kg, produksi susu 0,7–1,3 Kg/hari dan hasil laktasi sampai 228 Kg selama 256 hari (Davendra et al., 1983).
Bangsa Kambing Perah Persilangan
Anglo Nubian. Kambing ini adalah persilangan antara kambing Jamnapari dengan Nubian. Susu kambing ini mempunyai kadar lemak yang tinggi rata-rata 5,6 %, sehingga disebut “Jersey Cows in the Goat World” (Prihardi, 1997). Cirinya : warnanya beragam dengan putih dan keabuan, garis muka cembung dan telinga menggantung, kaki panjang, ambing menggantung jauh dari tanah, adaptasi baik, cocok hidup di daerah tropis (Davendra et al., 1994).
Jawarandu atau Peranakan Etawah. Kambing ini hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing Kacang dengan ciri-ciri: bentuk tubuh dan sifat sama dengan Etawah, tanduk mengarah kebelakang, ambing besar seperti botol, berat tubuh 32–37 Kg, produksi susu 1–1,5 liter/hari (Murtidjo, 1993).
Bangsa Kambing Perah di Indonesia
Kambing Kacang. Kambing ini asli dari Malaysia dan Indonesia, dengan tubuh kecil, kepala ringan, telinga pendek, tegak lurus mengarah keatas depan, hitam dan coklat atau bercampur, berat tubuh 17–30 Kg, berbulu pendek kecuali ekor dan dagu pada betina, pejantan panjang disekitar garis leher leher pundak dan pantat, produksi susu 0,5 liter/hari (Murtidjo, 1993).

Recording
Recording yang berarti catatan merupakan bagian yang terpenting dalam tatalaksana (manajemen) pada suatu peternakan sapi perah. Recording sangat diperlukan karena sebagian besar kejadian di peternakan tidak mungkin diingat oleh peternak secara keseluruhan akibat keterbatasan ingatan manusia. Salah satu kelemahan yang paling merugikan peternak sapi perah adalah apabila peternak tidak mempunyai catatan mengenai segala kejadian pada sapi mereka (Eustice, 1988).
Tujuan pembuatan catatan yaitu untuk mendapatkan informasi mengenai peternakan yang dikelola seperti riwayat sapi, kesehatan produksi susu, deteksi birahi, IB, pakan dan sebagainya serta untuk mengukur penggunaan dana, meningkatkan usaha dan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan (Eustice, 1988).
Catatan produksi susu
Catatan produksi susu dapat berbentuk: catatan produksi susu harian biasanya dibuat untuk susu gabungan seluruh sapi yang diperah. Catatan produksi susu harian ini sangat penting karena memuat informasi yang dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah kemampuan produksi susu masing-masing sapi dan dapat dipantau puncak produksi susu (peak) yang dicapai (Soetarno, 1999). Rata-rata produksi susu induk 6720 liter/laktasi (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Catatan reproduksi
Catatan reproduksi secara individu untuk setiap sapi perah meliputi: perkawinan, pemeriksaan beranak, rencana pengeringan, tanggal kelahiran, lama bunting, jenis kelamin pedet. Perlunya diadakan catatan reproduksi adalah untuk mengatur pengembangan sapi agar dapat melahirkan dengan jarak sedang (calving interval) satu tahun (Soetarno, 1999).
Catatan asal-usul sapi
Catatan asal-usul sapi menunjukkan paling tidak disebut data-data dari kedua tetuanya (induk dan ayah), namun lebih baik apabila juga disebutkan data kakek/nenek sapi perah (Siregar, 1992).
Catatan kesehatan sapi perah
Kesehatan sapi perah perlu dilakukan pengamatan setiap hari baik setiap individu maupun terhadap kawanan ternak, dan data mengenai diagnosa dan pengobatan serta penanggulangan terhadap masalah-masalah yang dialami seharusnya dicatat didalam buku catatan kesehatan untuk membantu memberikan informasi penyakit yang paling banyak terjangkit dalam kawanan ternak serta mengawasi masalah-masalah kesehatan bagi masing-masing sapi kawanan tersebut (Siregar, 1992).

Fisiologi Alat  Pencernaan
Sistem pencernaan terdiri atas suatu saluran muskula membranosa yang terentang dari mulut sampai anus. Fungsinya adalah memasukkan, menggiling dan mencerna makanan serta mengeluarkan buangannya berupa padat. Sistem pencernaan mengubah zat hara dalam makanan menjadi senyawa lebih sederhana, sehingga dapat diserap dan dipergunakan sebagai energi, membangun senyawa lain untuk metabolisme. Sistem saluran pencernaan terdiri atas saluran yang dilapisi oleh membran mukosa yang menghubungkan kulit luar yaitu pada mulut dan anus (Frandson, 1992).
Secara garis besar saluran pencernaan pada ternak ruminansia dan ruminansia terdiri atas mulut, oesophagus, lambung, small intestinum, large intestinum, sekum, rectum, anus, dan glandula aksesoria yang terdiri dari glandula saliva, hepar dan pankreas (Soetarno, 1995).
Diagram yang disederhanakan dari tractus digestivus ternak ruminansia adalah pakan dari mulut melalui oesophagus dan masuk ke dalam rumen, dimana bahan tersebut bercampur dengan isi rumen yang  telah ada dan difermentasikan oleh organisme rumen. Sebagian pakan diregurgitasi, di mulut mengalami remastikasi dan reinsalivasi kemudian ditelan kembali (redeglutisi) masuk kedalam rumen dan retikulum untuk proses fermentasi lebih lanjut. Sisa pakan mengalir ke omasum dan abomasum. Akhirnya pakan yang telah tercerna tadi masuk ke intestinum untuk pencernaan lebih lanjut dan absorbsi kedalam aliran darah dan dikeluarkan sebagai feses (Sosroamidjoyo, 1978).
Bibir sapi agak kurang pergerakannya dan kurang berfungsi dalam proses pengambilan dan pemasukan makanan ke dalam mulut (prehension). Organ yang sangat berperan dalam pengambilan makanan adalah lidah. Lidah sapi panjang, kuat, mudah digerakkan, permukaan kasar dan mudah dilingkarkan pada pakan hijauan yang kemudian dimasukkan di antara gigi seri dan bantalan gigi pada bagian atas dan dipotong (Sosromidjoyo, 1978).
                                                                                                                   Mulut
     Anus                                           Usus Kecil 
                                                                Abomasum                                                        
                                                                        
                    Coecum                                                           
                                                                                 
                    Rumen














 
                                                                                          Retikulum 
Usus Besar                                                           Omasum
Gambar 1. Diagram skema bagian-bagian sistem pencernaan pada ruminansia (Soetarno, 2003)

Mulut digunakan untuk penggilingan makanan serta mencampurnya dengan saliva, dan berperan dalam mekanisme prehensik serta senjata defensif atau offensif (Frandson, 1992).
Oesophagus merupakan kelanjutan dari pharinx yaitu saluran muskular yang merentang dari pharinx menuju kaudal dari perut. Rumen merupakan kantung muskular yang besar terentang dari diafragma menuju ke pelvis dan hampir menempati sisi kiri dari rongga abdominal (Frandson, 1992). Di dalam rumen, makanan yang masih kasar mengalami fermentasi atas pengaruh bermacam-macam bakteri yang memecahkan selulosa dari dinding-dinding sel tanaman sehingga zat makanan yang tertutup oleh dinding selulosa tersebut dapat dikerjakan oleh enzim sehingga makanan menjadi lebih lunak dan halus (Soetarno, 2003).
Retikulum merupakan bagian perut yang paling cranival. Pada bagian dalam diselimuti membran mukosa yang mengandung “interakting ridge” yang membagi permukaan itu menjadi menyerupai sarang lebah (Frandson, 1992). Retikulum letaknya berhadapan langsung di depan rumen, satu sama lain tidak terpisah sama sekali sehingga partikel-partikel makanan bebas melewatinya (Soetarno, 2003).
Omasum merupakan rongga saferis yang terisi oleh lamina muskular yang turun dari bagian dersum. Membran mukosa yang menutupi lamina ditebari  papila-papila pendek dan tumpul untuk menggiling hijauan. Letak dari omasum berada di sebelah kanan rumen dan retikulum. Abomasum adalah suatu bagian glandula yang pertama dari sistem pencernaan pada ruminansia dan terletak ventral dari omasum terentang kaudal pada sisi kanan dari rumen (Frandson, 1992). Di dalam abomasum, makanan dicampur dan dihancurkan oleh getah waduk yang mengandung HCl. Zat-zat protein dari makanan dipecah enzim chymoseine menjadi protease-protease dan pepton-pepton  (Soetarno, 2003).
Usus halus terbagi menjadi duodenum, jejunum dan illeum.   Persambungan dari ketiga bagian tersebut tidak terdapat batasan yang jelas. Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus dan sangat dekat dengan dinding tubuh yang dilanjutkan dengan jejunum dan berakhir dengan illeum (Frandson, 1992).
Usus besar terdiri dari secum berupa kantung buntu dan kolon bagian naik, mendatar dan turun. Pada ruminansia besar, usus besar terdiri dari secum, kolon dan rectum. Keadaan transversal menyilang dari kanan ke kiri dan berlanjut terus ke arah kaudal menuju ke rectum dan anus, bagian terminal dari saluran pencernaan (Frandson, 1992).
Rectum merupakan bagian usus besar yang relatif halus dan menghubungkan usus besar dan anus untuk menyimpan feses sementara. Sedangkan anus merupakan batas antara rectum dan kulit luar sebagai saluran pengeluaran metabolisme yang akan dibuang (Frandson, 1992).

Fisiologi Kelenjar Susu
Ambing atau kelenjar susu terdiri dari empat kuarter yang tergantung dalam suatu bangunan dan menempel pada dinding luar rongga perut pada daerah linguinal. Masing-masing kuarter berdiri sendiri lengkap dengan saluran susunya dan dipisahkan oleh dinding yang tebal disebut central wall (ligamentum suspsorium medialis). Sekaligus salah satu jaringan penggantungan kelenjar susu (Prihadi, 1997).
Dua kuarter bagian depan biasanya berukuran sekitar 20 % lebih kecil dari kuarter bagian belakang (Blakely et al., 1991). Ambing bagian belakang menghasilkan susu 60 %, sedangkan bagian depan 40 % dari jumlah susu yang dihasilkan (Prihadi, 1997).
Ambing terdiri dari bagian-bagian kecil dari jaringan sekretorik yang tersusun dari alveoli. Sejumlah alveoli bergabung menjadi satu oleh satu saluran dan terbungkus oleh jaringan ikat membentuk lobulus. Sejumlah lobulus bergabung menjadi satu membentuk lobus. Susu terbentuk dalam alveolus dan jaringan sekretorik akan dikeluarkan melalui saluran kapiler menuju kedalam lobulus dan selanjutnya terkumpul dalam lobus. Dari lobus melalui saluran-saluran yang akhirnya bergabung menjadi saluran induk dialirkan menuju sistem ambing yang terdapat diatas puting. Ujung puting sapi hanya mempunyai satu lubang (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Kapasitas sisterna ambing bervariasi antara 100–400 gram susu. Ujung puting sapi hanya mempunyai satu lubang yang disebut streak canal, teat meatus atau ductus papillaris. Jaringan penyangga ambing dibedakan menjadi 7 yaitu : kulit, fascia superfisial, cordlike tissue, ligamentum suspensatorium lateralis, bagian dalam ligamentum suspensatorium lateralis, tendeo subpelvis, dan ligamentum suspensorium medialis (Frandson, 1992).
Keluarnya air susu dipengaruhi oleh hormon oxytocin. Hormon ini mempengaruhi sel-sel myoepithelium atau sel-sel epitel otot dan menyebabkan kontraksi pada sel-sel tersebut. karena kontraksi tersebut maka ambing kencang dan menurunkan susu. Hormon tersebut dikeluarkan kedalam peredaran darah apabila ada rangsangan-rangsangan yang diterima oleh hewan dari petugas perah (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Rate of milking seekor sapi sebagian tergantung pada besar teat meatus. Sapi yang mempunyai aliran cepat pada pemerahan biasanya mempunyai teat meatus dengan diameter yang besar. Teats cistein, satu rongga dalam puting susu dapat menampung susu kira-kira 10-30 cc susu tergantung besar kecilnya puting. Pada teats cistein terdapat lipatan-lipatan yang kadang ada yang berupa membran lengkap terbentang melintang dalam puting, sehingga puting menjadi buntu dan susu tidak dapat keluar (Prihadi, 1997).
Puting memiliki variasi bentuk, ada yang berbentuk silinder, kerucut, pensil dan ada pula yang panjang maupun pendek. Puting yang normal memiliki warna yang bersih (tanpa warna hitam) (Prihadi, 1997). Puting susu kambing bersatu atau bergantung pada ambing bentuk simetris dan cukup besar ukurannya. Ambing besar rasanya lembut bila dipegang dan mudah dilipat-lipat. Bulu yang tumbuh yaitu lembut dan halus. Di bawah ambing ada urat pembuluh darah dan kulit ambing mengisut (Sarwono, 1997).

Perkandangan
Kandang sapi perah adalah tempat sapi dapat beristirahat dengan tenang memberi perlindungan bagi sapi maupun pekerjanya, terhindar dari air hujan, angin kencang dan teriknya sinar matahari. Dengan perkataan lain, kandang harus dapat mengeliminer segala faktor luar yang dapat menimbulkan gangguan sapi perah yang ada di dalamnya. Di samping faktor luar tadi, hal-hal lainnya yang menyangkut pembuatan kandang perlu pula diperhatikan (Siregar, 1995).
Kandang berfungsi  sebagai tempat tinggal sapi dan pekerja peternak-peternak yang mengurus sapi setiap hari. Saran pokok yang langsung maupun tidak langsung turut menentukan berhasil tidaknya usaha sapi perah, tempat yang memberi kenyamanan dari alam misalnya hujan, angin dan udara dingin sehingga merupakan tempat pengawasan kesehatan ternak sapi perah (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Penempatan kandang disesuaikan dengan arus angin, hal ini untuk mengantisipasi terjadinya kontaminasi dan penularan penyakit, untuk itu tata letak kandang yang ditempati ternak muda yang ditempat ternak yang telah dewasa (bagian hilir) dan jarak antara bangunan sejenis 5-10 m, dan jarak antar bangunan tidak sejenis 10-15 m (Siregar, 1995).
Lantai harus rata, kasar dan tidak tembus air, cepat kering dan dapat tahan lama, untuk kemiringan lantai maka tiap panjang 1 m turun 1 cm. Letak lantai harus miring kira-kira 10-15 derajat kearah selokan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984) ditambahkan oleh Siregar (1995) bahwa kemiringan lantai kandang 1 cm per 2 m2 (0,50).

 

Pengenalan Alat

Saat ini telah tercipta alat-alat peternakan yang sangat membantu tugas-tugas peternak. Dengan alat tersebut tugas-tugas peternak menjadi terkurangi dan dapat terselesaikan dengan waktu yang lebih cepat (Blakely dan Bade, 1985).
Halter
Merupakan alat untuk membantu pelaksanaan handling, dengan bentuk seperti rantai dan ikat pinggang yang terbuat dari besi dan kulit. Alat ini dipasangkan  dibagian muka ternak seperti pemakaian ikat pinggang (Blakely dan Bade, 1998).
Branding
Merupakan alat identifikasi dengan dua macam yaitu cap menggunakan besi panas (hot branding) dan besi beku (freeze branding). Hot branding, dengan cara memanaskan besi kode dan dicap pada tubuh ternak selama lima detik. Freeze branding,  yakni menggunakan besi tembaga yang disimpan didalam es kering (N cair) –196 ˚C. Kulit yang akan dicap dicukur dan besi ditempelkan selama 30 detik (Blakely dan Bade, 1998).
Tatah dan Palu
Merupakan alat untuk pemeliharaan, berguna untuk memotong kuku (Blakely dan Bade, 1998).
Pemotong Kuku Sapi
            Alat ini digunakan untuk pemeliharaan dengan ukuran relatif besar dan kurang ekonomis (Blakely dan Bade, 1998).
Neck Chain
            Merupakan alat dari plastik atau logam berupa untaian rantai dan diberi kode dengan mengalungkan pada ternak (Siregar, 1995).
Tatto Tang
            Merupakan alat identifikasi berupa tang yang pada penjepitnya terdapat jarum atau semacam paku dengan pola tertentu berupa angka atau huruf. Alat ini dijepitkan pada telinga dan bekas luka diolesi tinta (Siregar, 1995).
Ankle Strap
            Alat identifikasi terbuat dari kulit yang dipasang dipergelangan kaki ternak (Blakely dan Bade, 1998).
Tatto
            Merupakan cara untuk memberi ciri atau nomor pada sapi melalui penusukan kulit dengan alat seperti jarum kemudian bekas luka diolesi tinta. Ukuran tinggi huruf atau angka tatto antara 0,6-1,25 cm. Tinta berupa tinta Cina atau khusus. Tatto dibuat di daerah yang berwarna terang dan waktu terbaiknya saat beberapa hari setelah sapi lahir (Siregar, 1995).
Ear Tag Sapi
            Alat identifikasi dengan dipasang di telinga sapi. Bentuk seperti anting dari logam  atau plastik (Blakely dan Bade, 1998).
Ear Tag Kambing
            Alat ini sama seperti pemilikan sapi hanya ukurannya lebih kecil (Blakely dan Bade, 1998).
Ear Tag Tang
            Merupakan alat untuk memasang ear tag. Ear tag dipasang pada tang lalu dijepitkan pada telinga ternak (Blakely dan Bade, 1998).
Ear Notch Tang
            Alat untuk merobek daun telinga dengan pola tertentu untuk identifikasi (Blakely dan Bade, 1998).
Bordizzo
            Merupakan alat untuk kastrasi. Bentuknya seperti catut untuk menghancurkan pembuluh saluran air mani, sehingga testis akan mengecil dan tidak menghasilkan sperma (Sarwono, 1997).
Mistar Ukur
            Alat ini terbuat dari besi untuk mengukur panjang badan absolut, panjang badan relatif, tinggi gumba dan sebagainya (Blakely dan Bade, 1998).
Pita Ukur
            Merupakan alat bantu dalam penafsiran berat badan yang terbuat dari plastik dengan skala inchi dan cm (Siregar, 1995).
Mastitis Detector
            Alat ini untuk mendeteksi penyakit mastitis yang berbentuk teropong hitam dengan cara memasukkan sampel susu dan diamati (Blakely dan Bade, 1998).
Pita Ukur Korelasi
            Alat berupa pita yang terdiri dari ukuran panjang dan berat badan untuk mengukur lingkar dada dan untuk mengetahui berat badannya. Pita ukur korelasi antara lain Dairy Cow Weighting Tape (DWT) dan Swine Weight Tape (Williamson dan Payne, 1993).
Heat Mount Detector
            Alat yang digunakan untuk mendeteksi birahi yang dipasang di punggung ternak betina (Williamson dan Payne, 1993).          
Timbangan Ternak
            Alat yang digunakan untuk menimbang ternak (Williamson dan Payne, 1993).
Mesin Perah Otomatis
            Mesin ini menggunakan suatu tekanan negatif atau hampa untuk mengeluarkan susu dan mengurut ambing. Pemerahan menggunakan dua sistem hampa udara yaitu hampa kontinu dan hampa kering (Blakely dan Bade, 1998).
Tail Tag, Flank Tag dan Brisket Tag
            Merupakan alat identifikasi dengan pemakaian masing-masing berurutan yakni dikenakan pada ekor sapi, paha sapi dan perut sapi yang berbentuk sabuk (Williamson and Payne, 1993).

Perawatan Ternak Perah
Perawatan pedet
            Meskipun banyak peternakan sapi perah yang memperoleh sapi-sapi untuk peremajaan dengan cara membeli dari luar, banyak pula petarnak yang membesarkan sendiri pedet-pedetnya yang akan digunakan untuk maksud itu. Oleh karena itu, perawatan pedet mulai saat lahir sampai disapih, menjadi suatu bagian yang penting dalam tata laksana peternakan sapi perah (Blakely dan Bade, 1998).
            Agar pedet yang dilahirkan sehat dan kuat maka 6-8 minggu sebelum kelahiran, pemerahan dihentikan dan 2-3 minggu sebelum kelahiran dilakukan “Challenge Feeding Program” yaitu sapi diberi tambahan pakan konsentrat untuk persiapan kelahiran, serta hijauan yang diberikan berkualitas tinggi. Diharapkan induk setelah melahirkan menghasilkan kolostrum sebagai sumber zat pelindung atau anti bodi serta vitamin A dan D untuk pedetnya (Soetarno, 1999).
Menurut Soetarno (1999), setelah pedet dilahirkan dilakukan tindakan sebagai berikut: (1) Pedet dipindahkan ditempat yang aman dan diberi alas jerami. (2) Segera bersihkan lendir yang ada di hidung dan mulut pedet. (3) Apabila pedet belum dapat bernafas dapat dibantu nafas bantuan yaitu dengan menekan pada bingkat dada dan melepaskan lagi berkali-kali, atau mengangkat/ menggerakkan kaki depan. Adakalanya pernafasan itu terganggu adanya lendir yang terdapat di dalam mulut dan tenggorokan maka lidah ditarik keluar dan lendir dikeluarkan dari mulut dan tenggorokan dibersihkan dengan jari telunjuk. (4) Setelah pedet bernafas, oleskan/masukkan larutan Iodin 7 % ke dalam potongan tali pusar agar badan pedet tidak kemasukan bibit penyakit melalui tali pusar. (6) Tahap selanjutnya pedet dipindahkan di kandang pedet observasi. Waktu memindahkan pedet ke kandang pedet sebaiknya diusahakan agar induknya tidak mengetahui dimana anaknya ditempatkan, agar induk segera melupakan anaknya.
            Pedet sewaktu lahir tidak memiliki kekebalan tubuh melawan penyakit, oleh karena itu 30-60 menit setelah lahir pedet segera diberi minum kolostrum (Soetarno, 1999). Kolostrum sangat penting bagi pedet karena: (a) Kolostrum menjadi imunoglobulin cukup tinggi berfungsi sebagai antibodi yaitu semacam zat yang dapat memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit. (b) Kolostrum mengandung vitamin A dalam jumlah banyak dan sangat dibutuhkan oleh pedet untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. (c) Kolostrum mengandung nutrien yang cukup lengkap dan dalam jumlah yang cukup tinggi. (d) Mengandung zat Laxantia atau zat pencahar yang membantu mempermudah pengeluaran kotoran yang pertama (Ailumlamai, 1999).
Menurut Eustice (1988), menyatakan bahwa pemberian kolostrum dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) Nipples Bottle Feeding, kolostrum dimasukkan kedalam botol khusus yang dilengkapi dengan dot sehingga seolah-olah pedet menyusu ke induknya. (2) Nipples Pail Feeding, merupakan suatu cara pemberian kolostrum dengan hanya menggunakan ember yang hanya dilengkapi dengan dot, kelemahannya bila pedet tetap menyedot bila susu sudah habis maka akan menyebabkan kembung pada pedet. (3) Pil Feeding (Open Pail), merupakan suatu metode pemberian kolostrum hanya dengan menggunakan ember, sehingga pedet memerlukan latihan dengan cara menyelupkan jari tangan ke dalam mulut pedet agar dihisap. Selama pedet menghisap jari-jari tangan, secara perlahan jari tangan tadi dibawa ke ember sehingga mulut pedet sebagian masuk ke dalam ember yang berisi kolostrum. Cukup dilakukan dua kali maka pedet akan terbiasa minum kolostrum  dari ember.
Setelah umur satu minggu pedet dilatih untuk mengkonsumsi hijauan dan konsentrat yang bertujuan untuk menstimulasikan perlambungan rumen, pemberian air harus diganti secara rutin dan pada umur ini juga dapat dilakukan pemberian identifikasi dengan cara ear tag ataupun tatto (Ailumlamai, 1999).
Perawatan pedet dari umur satu bulan sampai lepas sapih adalah dengan melakukan dehorning yang dilakukan ketika pedet berumur dua bulan (Ailumlamai, 1999). Definisi dehorning menurut Ailumlamai (1999) adalah penghilangan tanduk dalam usaha sapi perah yang bertujuan komersial yang perlu dilakukan agar sapi tidak merusak kandang dan peralatan, selain itu agar tidak membahayakan pekerja. Karena ternak yang bertanduk memiliki kecenderungan untuk berkelahi serta melukai ternak lain.
Perawatan Sapi Dara
            Periode pemeliharaan sapi dara dari saat disapih sampai beranak pertama kali secara alami dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu periode dari saat disapih sampai mulai dikawinkan dan periode mulai dikawinkan sampai melahirkan pertama (Reksohadiprojo, 1995).
            Tujuan dalam memelihara sapi dara agar dapat mencapai pertumbuhan maksimum dan perkembangan serta dewasa kelamin awal dengan biaya yang paling rendah. Makanan dari hijauan yang berkualitas tinggi seperti tunas-tunas leguminosa akan menjamin bahwa mereka akan tumbuh pada tingkat yang meyakinkan (Blakely dan Bade, 1998). Meskipun pengaruh dari iklim luar penting, di daerah tropis yang basah, cara pengelolaan padang penggembalaan  masih  merupakan faktor utama dalam pertumbuhan sapi dara (Pane, 1986).
            Ailumlamai (1999), menyatakan bahwa catatan rata-rata pertumbuhan yang dicapai pada periode sapi dara tidak boleh kurang dari 270 kg untuk bangsa sapi persilangan atau 300 kg untuk bangsa sapi murni  pada perawatan awal. Apabila telah mencapai 15-18 bulan, maka sapi dara tersebut dapat dikawinkan. Bila sapi dara dikawinkan terlalu awal, maka akan menyebabkan pedet yang lahir kurang sehat karena pertumbuhan induk belum sempurna, baik secara fisik maupun pada sistem reproduksinya. Ditambahkan oleh Pane (1986), sapi dara yang dikawinkan terlalu dini dapat menurunkan jumlah produksi susu sehingga kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup anak yang dilahirkan, tetapi jika ditunda, maka akan meningkatkan biaya pemeliharaan.
Perawatan Sapi Laktasi
            Idealnya lama laktasi yang normal adalah 305 hari dengan 60 hari masa kering. Biasanya masa laktasi menjadi lebih pendek apabila sapi terlalu cepat dikawinkan lagi setelah kelahiran atau dikeringkan karena suatu penyakit (Blakely dan Bade, 1998).
            Menurut Soetarno (1999), sapi perah dalam satu masa laktasi memiliki 3 periode yaitu: (a) Periode awal laktasi yaitu masa yang paling kritis, terjadi pada saat mulai menghasilkan susu. (b) Periode laktasi tengah mengalami masalah yaitu menurunnya susu dan tes lemak rendah. (c) Periode akhir laktasi, susu akan makin menurun.
            Penurunan produksi setelah mencapai puncak laktasi kira-kira besarnya 6% tiap bulan. Dengan menurunnya produksi susu kebutuhan gizi juga menurun dan tentunya pemberiaan pakan sapi juga harus menyesuaikan agar tidak terjadi pemborosan (Blakely dan Bade, 1998).
            Sapi perah setelah melahirkan biasanya ingin minum. Hendaknya air minum yang diberikan adalah hangat-hangat kuku. Kira-kira setengah jam setelah melahirkan, susu sudah dapat keluar. Bila susu belum keluar dapat disuntikkan hormon oxytocin atau meminta pertolongan dokter hewan (Siregar, 1990).
            Air susu yang baru keluar disebut kolostrum yang mengandung vitamin A, mineral Ca dan P, serta anti bodi yang harus diberikan pada pedet selama empat hari karena sangat berguna untuk pertumbuhan dan kesehatan yang baru lahir (Siregar, 1990).
Perawatan Sapi Kering
            Kira-kira dua bulan sebelum melahirkan, sapi dikeringkan atau dihentikan pemerahannya. Tujuannya adalah untuk mengistirahatkan dan pemulihan kondisi kelenjar susu yang telah diperah selama laktasi dan untuk pertumbuhan fetus sapi yang dikeringkan dipisahkan dari kelompok sapi yang baik atau kalau tidak, diberikan pakan dengan pilihan bebas seperti jerami, silase dengan jumlah yang sesuai kebutuhan. Konsentrat pada umumnya diberikan bila perlu saja guna mempertahankan komoditi sapi dalam 2 bulan terakhir pada masa kebuntingan. Pada tiga hari menjelang melahirkan sapi ditempatkan pada suatu kandang ukuran sempit yang sesuai dengan iklim setempat (Blakely dan Bade, 1998).
            Menurut Anonimus (1991), ada tiga metode pengeringan yang dapat dilakukan yaitu: (1) Pemerahan berselang. Sapi hanya diperah satu kali sehari kemudian satu kali dua hari, hari berikutnya tidak diperah dan akhirnya pemerahan dihentikan atau tidak diperah sama sekali. (2) Pemerahan tidak lengkap. Pemerahan tidak dilakukan setiap hari dan tidak semua puting diperah. Hal ini dilakukan setiap hari dan akhirnya tidak dilakukan sama sekali. (3) Pemerahan dihentikan tiba-tiba. Pengeringan dilakukan secara tiba-tiba dengan penghentian konsentrat dan pengurangan pemberian hijauan.

Pemberian Pakan
            Beberapa tipe dan kombinasi pakan dari ternak perah akan menghasilkan kesehatan yang baik dan produksi susu yang tinggi. Pakan yang khusus tidak penting, lebih baik adalah ada keseimbangan nutrien yang cukup (baik) seperti energi protein, mineral dan vitamin dalam bentuk yang sesuai dengan membedakan ransum yang baik daripada bagian yang jelek (Bath et al., 1985).
            Sapi perah merupakan ternak ruminansia maka ransum sapi perah sebaiknya terdiri dari hijauan, legum dan non legum yang berkualitas baik (dalam kondisi segar atau jerami) dengan konsentrat yang tinggi kualitas serta palatabilitasnya sebagai suplemen terhadap hijauan tadi, sehingga dapat dicapai produksi susu yang maksimum. Meskipun semua nutrien itu penting, hal utama yang memerlukan perhatian peternak adalah energi (Blakely dan Bade, 1991).
            Penyusunan ransum sapi yang sempurna perlu diperhatikan 3 hal, yaitu ransum harus mengandung karbohidrat, lemak sebagai sumber energi, maupun protein serta vitamin maka untuk dapat memenuhi semua kebutuhan itu pakan atau ransum harus disusun dari bermacam-macam bahan makanan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
            Selain hijauan dan konsentrat, garam dapat diberikan bersamaan dengan makanan penguat sebagai perangsang nafsu makan yang membantu proses pencernaan, serta tidak kalah pentingnya adalah air, yang diberikan adalah air segar yang bersih dan disediakan tidak terbatas atau ada libitum (Anonimus, 1985).
            Menurut Anonimus (1985), pakan atau ransum perah disusun menurut berat badan, produksi dan kadar lemak susu. Pemberian pakan harus memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok dan kebutuhan produksi. Adapun nilai gizi yang diperhitungkan berdasarkan tabel NRC (1978) adalah meliputi NEL (Mcal), CP (g), Ca (g) dan P (g) yang semua itu dihitung berdasar bahan kering.
            Pakan untuk sapi perah dibagi 4 periode yaitu: pakan untuk pedet, pakan untuk sapi umur 4-8 bulan, pakan untuk sapi umur 8 bulan sampai dewasa dan pakan sapi dewasa yang berproduksi (Diggins dan Bundy, 1979).
Pakan pedet
Pedet yang baru lahir biasanya hanya diberi kesempatan satu kali menyusu pada induknya, kemudian induk tersebut diperah dan dikumpulkan dengan induk yang berproduksi lainnya. Susu yang dikeluarkan setelah lahir merupakan makanan utama pada pedet untuk mendapatkan kekebalan atau antibodi yang berfungsi untuk melindungi pedet dari pengaruh penyakit. Sapi membutuhkan kolustrum sebanyak 2 kg setelah lahir (Blakely dan Bade, 1998).
Pakan sapi dara
Pakan untuk sapi umur 4-8 bulan. Sapi umur ini tidak diberi susu lagi, jumlah rumput yang diberikan sehari kurang lebih 10 kg. Pemberian pakan penguatan harus dibatasi karena pada umur ini kemampuan mencerna serat kasar belum sempurna (Anonimus, 1985).
Pakan untuk sapi umur 8 bulan sampai dewasa. Pada saat sapi sudah mampu mencerna bahan makanan berserat kasar tinggi, karena daya cerna sudah sempurna, pemberian pakan hijauan (rumput) sebanyak 20 kg/ekor/hari. Pemberian pakan penguat 2-3 kg/ekor/hari (Henderson dan Reaves, 1963).
Pakan untuk sapi dewasa yang berproduksi (sapi laktasi)
            Pakan sapi-sapi perah yang berproduksi disusun menurut berat badan sapi, produksi dan kadar lemak susu. Pakan hijauan merupakan pakan tambahan yang berfungsi sebagai pelangkap (Anonimus, 1985).
Pakan Sapi Kering
 Tujuan selama periode kering adalah memelihara sapi dalam kondisi baik tetapi tidak membiarkan sapi menjadi gemuk. Sapi kering menghentikan susu selama 2 bulan dapat dianggap sebagai sapi yang tidak produktif. Setiap usaha sebaiknya dibuat untuk menentukan jumlahnya secara minimum, kecuali sistem pengelolaan diambil dimana sapi yang menghasilkan susu dikeringkan lebih awal tetapi harus dikelola dengan bagus selama periode keringnya untuk menjamin produktivits yang tinggi pada periode laktasi berikutnya (Williamson dan Payne, 1993).
Masa kering juga merupakan masa paling penting bagi sapi perah dalam arti perlu perhatian serius dalam pemberian pakan dan perawatan yang tepat. Bila tidak dikeringkan sekurang-kurangnya 1,5 bulan sebelum beranak kembali produksi susu berikutnya akan menurun dan bila sapi telah bunting 7,5 bulan masih menghasilkan susu (5 liter per hari). Sedangkan sapi harus dikeringkan maka cara-cara pengeringan sapi perah antara lain pertama pemerahan berselang yang kedua pemerahan yang tidak lengkap (Soetarno, 1999).
Pemerahan
            Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan jumlah susu maksimal diambilnya. Apabila pemerahan tidak sempurna, sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi totalnya menurun. Jika periode yang digunakan terlalu panjang untuk menghasilkan susu, biaya persatuan berat dari hasil susu akan meningkat. Pedoman pertama dari teknik pemerahan terutama bila memerah sapi dara untuk pertama kalinya adalah mencegah sapi menjadi gelisah atau ketakutan. Pedoman kedua adalah pemerahan dilakukan dengan cepat dan sempurna (Payne, 1986).
            Pemerahan dapat dilakukan dengan dua macam yaitu dengan mesin (machine milking) dan dengan tangan (hand milking). Pemerahan di Indonesia sebagian besar dilakukan dengan tangan (Sindhuredjo, 1960). Adapun syarat-syarat pemerahan yaitu pemerah harus kuat dan sehat, tidak menderita penyakit menular (TBC, kudis dan lain-lain), memiliki kecintaan pada sapi dan ramah, suka kebersihan, memiliki sifat jujur dalam melakukan pemerahan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Syarat-syarat pemerahan guna mendapatkan susu yang benar-benar bersih dan sehat antara lain dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit menular, kesehatan dan kebersihan para pekerja, kebersihan sapi yang diperah, kebersihan alat dan tempat yang dipakai untuk memerah, waktu pemerahan harus tetap, jangan berubah-ubah (Anonimus, 1985).
            Pemerahan susu dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu fase persiapan, fase pemerahan, dan fase penyelesaian (Syarief, 1984).
Fase persiapan
Sebelum diperah sapi harus dalam keadaan tenang dan harus dicegah adanya kegaduhan di sekitarnya, juga kebiasaan-kebiasaan yang tidak dilakukan harus dihindarkan, misalnya penggantian tempat, penggantian pemerah, perubahan waktu pemerahan, karena hal tersebut dapat menurunkan produksi susu (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
            Tempat sekitar sapi harus bersih dari kotoran-kotoran atau sisa makanan yang berbau, sebab susu mudah menyerap bau-bauan sehingga akan menurunkan kualitas susu (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
            Bagian di daerah lipatan paha sampai belakang dicuci untuk mencegah kotoran yang melekat pada bagian-bagian tersebut tidak jatuh ke dalam susu saat pemerahan. Ujung ekor diikat dengan tali ke salah satu kakinya untuk menghindarkan pengotoran susu karena sering menggerakkan ekor sewaktu diperah (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
            Selanjutnya ambing dicuci dengan air hangat untuk mengurangi pencemaran bakteri. Untuk merangsang air susu dapat dilakukan dengan meraba dan memijat ambing (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Fase pemerahan
 Pada umumnya sapi diperah 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Usahakan pemerahan dilakukan pada waktu yang sama setiap hari. Sebelum memerah hendaknya jari-jari diolesi dengan minyak kelapa atau vaselin supaya agak licin, sehingga puting tidak lecet/ luka. Selanjutnya dikatakan, pemerahan dengan tangan dapat dilakukan dengan beberapa cara (Syarief dan Sumoprastowo, 1984):
            Strippen (mengurut puting). Dengan menggunakan cara memegang pangkal puting susu  antara ibu jari dan jari tangan lainnya, lalu kedua jari tersebut ditekan dan ditarik ke bawah sehingga susu keluar (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Knevelen. Dengan menggunakan kelima jari tangan puting susu dipegang antara ibu jari dengan keempat jari lainnya. Puting susu ditekan dengan ibu jari dan keempat jari lainnya sampai susu keluar (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Whole hand milking. Pemerahan dengan saluran tangan. Dilakukan untuk puting yang agak panjang. Cara ini adalah cara yang terbaik sebab puting tidak menjadi panjang (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Fase Penyelesaian
 Setelah diperah, tali pengikat ekor dilepas dan susu dibawa ke kantor susu untuk menghindari agar susu tidak terkontaminasi oleh bau-bauan atau bakteri (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Hal-hal yang mempengaruhi banyaknya produksi susu adalah:
Faktor kecepatan pemerahan. Turunnya susu dipengaruhi oleh hormon oxitocin yang dihasilkan oleh glandula pituitary pars posterior. Pengaruh hormon ini paling efektif + 8 menit. Untuk itu pemerahan harus pada waktu itu juga. Faktor kebiasaan dan suasana gaduh akan mempengaruhi jumlah produksi susu.
Faktor pergantian pemerah. Sapi perah yang produksinya tinggi, akibat pemerahan dilakukan orang yang berbeda dapat mengakibatkan stress. Pada umumnya sapi sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan, termasuk pergantian pemerah, faktor frekuensi pemerahan. Sapi-sapi yang diperah tiga kali sehari produksinya lebih banyak dibandingkan pemerahan dua kali sehari. Pemerahan dengan interval 8 jam hasilnya akan mencapai 15-20 % lebih banyak dari dua kali sehari yang hasilnya 25-30 % lebih banyak dibandingkan yang empat kali sehari (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
Ambing susu normal terdiri atas 4 bagian kelenjar yang terpisah satu sama lain. Pada umumnya setengah kuartir yang belakang lebih besar daripada setengah kuartir depan, sehingga susu yang dihasilkan juga lebih banyak dari bagian belakang. Perbandingan produksi susu kuartir depan dan belakang 40% : 60%. Bagian kiri dan kanan sama saja. Ambing harus cukup besar, bentuknya bagus, simetris bagian depan dan belakang, terpaut pada dinding perut, putingnya harus cukup besar untuk memudahkan pemerahan, menggantung lurus ke bawah dan tidak terlalu berdekatan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).

Pendugaan Umur
Penafsiran umur sangat bermanfaat pada saat peternak melakukan seleksi pada ternak guna dipelihara maupun diperjualbelikan, sehingga peternak dapat mengetahui usia ternak dan menghindari penipuan. Metode penafsiran umur pada sapi ada dua macam cara, yakni metode pergantian gigi sapi dan metode pertambahan lingkar tanduk. Metode gigi sapi mencakup pertumbuhan, pergantian dan keterasahan gigi ternak. Ada tiga periode yang dialami gigi ternak yaitu adanya gigi susu, pergantian gigi susu menjadi gigi tetap dan keterasahan gigi (Murtidjo, 1992). Hal ini dilakukan karena pemunculan setiap pasang gigi seri pada pedet berlangsung kira-kira pada waktu yang sama, sehingga dapat digunakan dalam indikasi umur sapi. Penafsiran umur tersebut merupakan suatu perkiraan sebab perbedaan umur sebanyak 16 bulan mungkin didapat pada sapi dengan melihat gigi pada perkembangan yang sama. Penilaian harus dibuat untuk variasi selama 6 bulan (Williamson dan Payne, 1993).
Umur juga berguna untuk menentukan lamanya sapi perah tersebut digunakan dalam menghasilkan susu. Penafsiran umur dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui recording yaitu dengan catatan kelahiran pada sapi tersebut, wawancara dengan pemilik sapi, mengamati tali pusar, dengan melihat keterasahan gigi seri susu, melihat cincin tanduk, mengamati pergantian gigi seri susu menjadi gigi permanen atau mengamati keterasahan gigi seri permanen (Poespo, 1963).
Pengamatan dengan tali pusat menunjukkan bila tali pusat telah mulai mengering sapi berumur antara 4-5 hari, jika telah kering sapi diperkirakn berumur 14 hari, bila telah putus berumur sekitar 18 hari. Sedangkan penafsiran umur dengan melihat cincin tanduk, memakai rumus Y = X + Z, dengan Y adalah umur sapi (tahun), X adalah jumlah cincin tanduk dan Z adalah perkiraan pertama kali beranak (Poespo, 1963).
Cara untuk melihat keadaan gigi sapi adalah dengan mendekati sapi lalu pegang tali keluh dan tali tambat, kemudian tangan dimasukkan melalui bagian mulut yang tidak ada giginya (diastema), pegang lidah dan ditarik keluar hingga kelihatan giginya dan diamati gigi tersebut.
Tabel 1.   Penafsiran umur berdasarkan gigi susu
 No
Gigi yang Tumbuh
Penafsiran Umur
1
Id1
7 - 14 hari
2
Id2 - Id3
14 – 25 hari
3
Id4
25 – 30 hari

Tabel  2.  Penafsiran umur berdasarkan tergoresnya gigi seri susu
No
Gigi Seri Susu
Keadaan
Penafsiran Umur
1
Id1
tergores
1,5 bulan
2
Id2
tergores
2 bulan
3
Id3
tergores
2,5 bulan
4
Id4
terasah ¼
10 – 12 bulan
5
Id2 + Id3
terasah ½
15 bulan
6
Id4
terasah ½
17 bulan
Tabel 3. Penafsiran umur berdasarkan pergantian gigi seri susu menjadi permanen
No
Gigi Seri Susu
Gigi Seri Permanen
Penafsiran Umur
1
Id1
I1
1,5 – 2 tahun
2
Id2
I2
2 – 2,5 tahun
3
Id3
I3
3 – 3,5 tahun
4
Id4
I4
3,5 – 4 tahun

Tabel 4. Penafsiran umur berdasarkan keterasahan gigi seri permanen
No
Gigi Seri Permanen
Keadaan
Penafsiran Umur
1
I4
terasah ¼
5 tahun
2
I4
terasah 1/3
6 tahun
3
I4
terasah ½
8 tahun
4
I4
terasah penuh
9 tahun

Tabel 05.   Penafsiran umur berdasarkan bentuk bidang asah dan keadaan gigi
No
Gigi Seri Permanen
Keadaan
Penafsiran Umur
1
I4
bidang asah cincin
10 tahun
2
I4
bidang asah kotak
12 tahun
3
I4
bidang asah lonjong
16 tahun
4
I4
Mulai renggang, renggang sekali, dan tanggal
18 tahun
                                                                                                           (Poespo, 1963)
Gigi tersusun atas tiga bagian yaitu mahkota, leher dan akar. Bentuk dan besar gigi dari mahkota atas sampai bawah tidak sama, begitu pula lubang mahkota, leher dan akar. Perbedaan inilah yang akan menimbulkan bidang gesekan yang berbeda. Hal ini akan menunjukkan perbedaan umur disamping pertumbuhan gigi itu sendiri (Sosroamidjoyo, 1978).

Pendugaan Berat Badan
Tafsiran berat badan sapi merupakan salah satu cakupan ketrampilan yang menjadi tuntutan bagi petani peternak. Dengan taksiran yang baik orang bisa mengetahui patokan harga ataupun pembelian sapi (Murtidjo, 1992).
Pengukuran berat badan orang lazim dilakukan dengan mistar dan pita ukur. Pengukuran ini dilakukan dengan mengatur dulu posisi sapi perah dengan tegak sehingga keempat kakinya terletak dalam bidang datar dalam bentuk empat persegi panjang (Siregar, 1995). Penafsiran berat badan ini memiliki tujuan perdagangan, menentukan dosis obat yang tepat dan tujuan menyusun ransum (Gufron, 1976).
Penafsiran berat badan dilakukan dengan mengukur panjang tubuh/panjang badan absolut dan lingkar dada pada posisi paralellogram. Pengukuran harus dilakukan ditempat yang datar untuk melihat ada tidaknya kesalahan dari kedudukan anggota tubuh. Setelah diperoleh data yang diperlukan lalu digunakan rumus-rumus berikut. Rumus yang digunakan antara lain metode Scheiffer :
W =         
Dengan W adalah berat badan (pounds), L adalah panjang badan (inchi), dan G adalah lingkar dada (inchi).
Rumus ini jarang kesalahannya melebihi 10 % dari berat badan sesungguhnya (Gufron, 1976). Rumus Scheiffer lalu oleh Lambourne dijabarkan :
W =
Dengan W adalah berat badan (Kg), G adalah lingkar dada (cm),                                             dan L adalah panjang badan (cm).
Besarnya persentase kesalahan metode Lambourne adalah kurang lebih 5 % (Williamson dan Payne, 1993).
Rumus yang relevan atau mendekati kebenaran dibanding yang lain adalah rumus Schrool, karena perhitungan dengan rumus Schrool lebih mendekati kebenaran. Berdasarkan pengalaman di lapangan hasil pengukuran lebih besar sekitar 1,5 % - 32,6 % dari berat badan sebenarnya. Rumus Schrool yakni :
W =
Dengan W adalah berat badan (Kg) adalah G adalah lingkar dada (cm) (Siregar, 1995).
Rumus ini memiliki kesalahan penafsiran tidak lebih dari atau sama dengan 22,3 % (Williamson dan Payne, 1993).
Korelasi adalah hubungan antara variabel satu dengan yang lain, sedangkan yang termasuk ukuran tubuh antara lain panjang badan dan lingkar dada. Ukuran lingkar dada atau bulat rusuk adalah ukuran langsung melalui belakang olecranon ulnae antara hasta ketiga dan keempat tepat dibelakang angulus scapulae atau keliling dari dada yang diukur dengan melingkarkan pita ukur pada bagian dada dibelakang bahu (Lasley, 1981).
Selain menggunakan ketiga rumus diatas, penafsiran berat badan dapat  pula dengan pengamatan visual yakni memperkirakan dengan diamati. Cara lain dengan menggunakan Dairy Cow Weighting Tape (DWT) yakni melingkarkan pada sternum 3-4 dan angka yang ditunjuk pada pita ukur tersebut menunjukkan berat badan. Selain itu dengan penimbangan ditimbangan ternak/neraca. Besar atau kecil, stasioner atau portabel, timbangan merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam teknik-teknik pengukuran (Blakely et al., 1998).
Besarnya persentase kesalahan dapat diketahui dengan rumus :
% kesalahan =
Berat sebenarnya dapat diketahui dengan penimbangan langsung. Persentase kesalahan karena faktor posisi ternak yang tidak paralelogram atau yang lainnya.

 

Handling dan Exercise

Handling

Handling merupakan usaha penanganan ternak semudah mungkin guna memperlancar segala aktivitas yang dilakukan peternak. Handling dilakukan untuk mencegah gerakan yang mengakibatkan ternak kaget (Siregar, 1995). Agar sapi lebih jinak maka dapat dipasang tali keluh. Tali keluh dimasukkan menembus hidungnya dan kemudian diikatkan pada tali leher. Apabila sapi tanpa tali keluh, maka untuk mempermudah penanganan sapi bisa dipasangkan halter pada kepalanya (King, 1978).
Handling harus dilakukan dengan baik sehingga ternak tidak mengalami cidera. Tindakan kasar akan mengakibatkan ternak berontak atau beringas selain itu ternak mengalami ketakutan (Sarwono, 1997).
Khusus untuk handling sapi, jangan berdiri di samping kaki belakang agar tidak tersepak. Sapi pejantan yang berumur lebih dari 1 tahun seringkali beringas ketika dikeluarkan dari kandang sehingga perlu diberikan cincin hidung, demikian pula pada sapi yang berumur 10 bulan. Sapi yang tidak dikeluh penguasaan ternak dapat memakai halter (King, 1978).
Pelaksanaan handling perlu pengalaman dan ketrampilan, oleh karena itu perlu latihan-latihan saat handling diperlukan ketenangan dan kehati-hatian sehingga mendorong kepercayaan ternak pada manusia. Kegugupan dan keragu-raguan dapat menyebabkan ternak takut (Siregar, 1995). Pada laktasi pertama sapi betina akan menyepak saat diperah dan dicegah dengan meletakkan ekor sapi diantara kaki belakang, lalu dilingkarkan pada bagian kakinya, atau bisa juga dipasang sabuk pemerahan (King, 1978).
Exercise
Exercise merupakan kesempatan yang diberikan kepada ternak untuk memperoleh udara segar atau olahraga cukup sehingga kesehatan dan kesegaran sapi tetap terjaga, biasanya dilakukan pada sapi-sapi yang sepanjang harinya hanya dikandangkan (King, 1978). Exercise memberikan keuntungan yaitu otot-otot memperoleh latihan sehingga memperlancar peredaran darah, menjaga kesehatan sapi, menjaga bentuk dan posisi kuku sapi supaya tetap baik. Exercise dilakukan dengan melepas sapi dilapangan selama 1-2 jam, agar bisa bergerak leluasa dan mendapat sinar matahari yang cukup. Exercise dilakukan setelah sapi dimandikan (Siregar, 1995).
Waktu yang ideal untuk exercise adalah antara jam 07.00-10.00 karena pada jam-jam tersebut matahari bersinar tidak terlalu terik sehingga ternak tidak mengalami stress karena panas dan juga rumput yang dimakan sapi sudah kering dari embun sehingga sapi terbebas dari cacing yang ada didalam rumput (Eustice, 1988).
Exercise dipagi hari memberikan manfaat yaitu ternak mendapat sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet sebagai desinfektan dan mengubah pro vitamin D menjadi vitamin D (Sarwono, 1997). Exercise yang kurang pada sapi bunting akan menyebabkan gangguan pengeluaran foetus saat melahirkan. Gangguan ini disebut prolapsis uterus  atau  retentio secundinarum. Penyakit setelah melahirkan akan mengganggu produksi susu dan mengurangi kesuburan (Toelihere, 1987).

Pengukuran Data Fisiologis dan Lingkungan
Pulsus. Pulsus (denyut jantung) terjadi karena adanya aktivitas jantung dalam memompa darah ke seluruh jaringan jantung merupakan dua pompa yang menerima darah ke dalam bilik-bilik atrial dan kemudian memompakan darah tersebut dari ventrikel menuju ke jaringan dan kemudian kembali lagi (Frandson, 1992).
            Pada ternak besar, pulsus dapat dirasakan pada arteri  fosial yang terdapat di sekitar ramus horizontal dari mandibula, atau dapat juga dirasakan pada arteri caudal atau koksigeal tengah dari permukaan ventral ekor. Arteri femorah pada sisi medial paha mudah diraba pada anjing, kucing, domba dan kambing (Frandson, 1992).
Menurut Blakely dan Bade (1985) frekuensi denyut jantung berkisar antara 60-70 permenit.
Temperatur Rectal.   Temperatur rectal tubuh ternak merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesehatan ternak pada suatu saat. Temperatur di atas atau di bawah kisaran suhu tubuh normal menunjukkan adanya kelainan pada ternak (ternak dalam kondisi kurang sehat). Temperatur rectal pada siang hari umumnya lebih tinggi daripada pagi hari. Hal ini disebabkan oleh mekanisme thermoregulatory  ada hubungannya dengan mekanisme pengontrolan tidur dan keadaan terjaga (Frandson, 1992).
            Temperatur rectal normal adalah antara rata-rata 38o C sampai dengan  39o C (Blakely dan Bade, 1985).
Respirasi. Fungsi utama dari sistem respirasi adalah untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Pada dasarnya respirasi terdiri atas dua proses penting yaitu proses inspirasi yang merupakan perbesaran thorax dari paru-paru disertai masuknya udara, dan proses ekspirasi yang merupakan penurunan dari ukuran dada disertai keluarnya udara (Frandson, 1992).
Menurut Frandson (1992), rata-rata frekuensi respirasi tiap menit dalam keadaan istirahat untuk sapi adalah 20 respirasi/menit dan untuk sapi perah 30 respirasi/menit.
            Temperatur dan kelembaban lingkungan. Kisaran temperatur yang cocok untuk sapi Holstein adalah 10-75o F untuk daerah subtropik. Jika temperatur naik di atas 80o F untuk tipe subtropik dan 90o F untuk tipe tropik maka mekanisme thermoregulasi akan mulai terganggu. Kebutuhan air akan naik pada sapi laktasi dengan meningkatnya suhu lingkungan sampai suhu 29,4o C (Williamson dan Payne, 1993).
Menurut Williamson dan Payne (1993), temperatur lingkungan yang sesuai untuk sapi di daerah sub tropis adalah –1o C dan untuk sapi perah di daerah tropis 10-27o C. Apabila temperatur lingkungan naik di atas 27o C (untuk daerah subtropik) dan 35o C (tropik) maka mekanisme thermoregulasi akan terganggu.

















BAB III
MATERI DAN METODE

Materi
Materi yang digunakan adalah dua sapi perah dengan nomor A-21 dan B-55, pita ukur, mistar ukur, timbangan berat badan, ember, gelas ukur, timbangan pakan, vaseline, skap, termometer rectal, pengukur kelembaban dan suhu, halter, ear tag gang, neck chain, ankle strep, brisket tag, flank tag, tail tag, tattoo tank, branding, ear notch tang, tali keluh, bordizzo tank, tatah kuku, palu, DWT, puting buatan, ear tag, pencacah pakan, sikat dan gayung, rumput gajah, Pennisetum purpureum, konsentrat dan air.

Metode
Pengenalan Bangsa-Bangsa Sapi Perah
            Pada pengenalan bangsa-bangsa sapi perah dilakukan dengan  mengamati ciri-ciri fisik sapi perah yang ada di laboratorium ternak perah meliputi komposisi warna, batas antara warna gelap dan terang, warna bulu kipas ekor, warna bagian kaki ke bawah, tipikal sapi, warna di dahi dan performan ambing.
Penafsiran Berat Badan
Penafsiran berat badan dilakukan secara visual dengan mengukur  panjang badan dan lingkar dada. Kemudian melakukan penafsiran berat badan dengan menggunakan rumus Schrool, Lambourne dan Scheifer. Sapi ditimbang dengan timbangan sapi. Setelah itu dibandingkan kedua sistem pengukuran berat badan dengan pengukuran berat badan sesungguhnya. Cara pengukuran dengan visual adalah dengan mengamati sapi kemudian diperkirakan berapa berat badan dari   sapi tersebut. Sedangkan cara pengukuran dengan rumus adalah sapi diletakkan dengan posisi parallelogram. Lingkar dada sapi diukur dengan menggunakan pita ukur pada rusuk nomor 3-4, kemudian panjang badan diukur dengan menggunakan mistar pengukur panjang badan (dari tulang bahu sampai tulang duduk) dan diperkirakan berat badan sapi tersebut dengan menggunakan rumus penafsiran berat badan (Lambourne, schrool dan scheifer).

Penafsiran Umur
            Penafsiran umur dilakukan dengan membuka mulut sapi kemudian dilihat keadaan gigi serinya dan diperkirakan umur sapi tersebut. Caranya dengan memasukkan telapak tangan ke mulut sapi melalui diastema kemudian memegang lidah sapi dan dikeluarkan. Sedangkan cara memperkirakan umur adalah dengan melihat pergantian dan keterasahan gigi seri sapi. Kemudian dicocokkan dengan teori penafsiran umur.
Handling dan Exercise
            Handling dilakukan dengan penguasaan sapi perah serta menggunkan alat bantu yang berupa halter. Setiap praktikan mempraktekkan memasang halter pada sapi kemudian sapi dibawa berkeliling dengan memegang halter dan tali keluh sapi.
Pengenalan Alat
            Pengenalan alat dilkukan dengan asisten mengenalkan alat-alat yang ada mengenai nama, fungsi dan cara penggunaan. Praktikan mengamati dan menggambar alat-alat yang telah diterangkan tersebut.
Fisiologi Alat Pencernaan
            Dilakukan  dengan cara mengamati alat pencernaan yang mudah diamati yaitu mulut, mengamati tekstur lidah kemudian dibandingkan dengan pakan yang diberikan. Selain itu juga diamati lama remastikasi dan berapa kali sapi tersebut mengunyah makanan selama remastikasi, regurgitasi dan redeglutisi.
Fisiologi Kelenjar Susu
            Dilakukan dengan mengamati bentuk puting ambing sapi, jumlah puting, mengukur panjang vena subcuraneus abdominalis pada sapi, pertautan ambing pada sapi dan mengamati anomaly ambing pada sapi.
Perawatan Sapi Perah
            Perawatan pada sapi perah dilakukan dengan perawatan secara langsung, meliputi pemberian pakan, memandikan sapi laktasi yaitu dengan cara sapi dimandikan dan disikat secara berkala untuk menghilangkan kotoran, debu dan rambut yang rontok sebelum diperah, membersihkan kandang, tempat pakan, tempat minum dan saluran air.
Proses Pemerahan
            Proses pemerahan yang pertama adalah persiapan yaitu dengan mencuci ambing terlebih dahulu serta menyiapkan alat-alat yang akan digunakan. Pancaran pertama susu ditampung di strip cup dan diamati untuk mendeteksi bila sapi terkena mastitis. Apabila puting tidak licin maka diberi vaseline terlebih dahulu. Proses yang kedua merupakan pelaksanaan pemerahan, yaitu ambing mulai diperah dengan menggunakan tangan selama 7 menit. Pemerahan diusahakan sampai apuh. Proses yang terakhir yaitu penyelesaian, yaitu dengan mencuci ambing dan lantai sampai bersih dengan air. Susu ditakar dan dicatat. Alat-alat harus dibersihkan dengan baik dan dikeringkan dengan meletakkan telungkup.
Pencatatan (Recording)
Pencatatan dilakukan mengenai asal-usul sapi antara lain nomor telinga, tanggal lahir, jenis kelamin, berat badan, bangsa, tanggal beranak, catatan kelahiran, catatan kesehatan, catatan perkawinan, catatan produksi susu dan catatan pakan.
Perkandangan
            Dilakukan dengan melihat keadaan kandang yang ada, mengamati dan menggambar semua kandang yang ada dari samping, depan dan atas beserta instrumen pendukungnya. Kemudian melakukan pengukuran pada tiap-tiap kandang, meliputi tinggi kandang, lebar, panjang, luas tempat makan dan minum, serta kemiringan kandang  dan selokan. Perhitungan dilakukan pada 3 tempat yang berbeda.
Pemberian Pakan
            Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat, diberikan 2 kali sehari pagi dan sore. Konsentrat diberikan dalam keadaan kering sedangkan hijauan diberikan dalam keadaan segar dan dicacah dengan ukuran kurang lebih 10-15 cm. Jumlah pakan tergantung kondisi masing-masing sapi dalam pemberiannya.
Data Fisiologis
            Dilakukan dengan mengukur data fisiologis yang meliputi temperatur rectal, frekuensi respirasi, frekuensi pulsus, temperatur lingkungan dan kelembaban udara. Temperatur rectal dilakukan dengan memasukkan termometer yang sudah dinolkan kira-kira sepertiga rectum. Diukur selama 1 menit, dilakukan 3 kali dan hasilnya dirata-rata. Respirasi dilakukan dengan mengamati kembang kempisnya perut atau dengan mendekatkan punggung telapak tangan ke dekat hidung ternak. Dihitung selama 1 menit, dilakukan tiga kali dan hasilnya dirata-rata. Frekuensi pulsus dilakukan dengan memegang pangkal ekor hingga terasa denyut arteri caudalis. Dihitung jumlah denyutan yang terasa selama 1 menit, dilakukan tiga kali dan hasilnya dirata-rata. Sedangkan temperatur lingkungan dan kelembaban lingkungan dilakukan dengan mengamati termometer kandang. Kesemuanya itu dilakukan tiap 2 jam sekali.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Pengenalan Bangsa – bangsa Sapi Perah

            Pengenalan bangsa-bangsa sapi perah dilakukan dengan cara mengamati fisik sapi secara visual
Tabel 6. Penampakan luar sapi perah
Penampakan luar
Sapi  A-21
Sapi B-55
Komposisi warna
Terang Gelap
Gelap Terang
Batas warna gelap/terang
Samar-samar
Samar-samar
Warna bulu kipas ekor
Putih
Putih
Warna bagian kaki ke bawah
Putih
Putih
Tipikal
Jinak
Jinak
Bentuk segitiga dahi
Tidak
Segitiga
Performen ambing
Besar
Besar

            Sapi perah yang digunakan pada saat praktikum ada dua ekor sapi perah laktasi yaitu sapi nomor A-21 dan nomor B-55. Dari hasil pengamatan diperoleh ciri penampakan luar tubuhnya yaitu: 1) Untuk sapi  A-21 warna kulit belang terang–gelap (putih-hitam) dengan komposisi warna putih lebih banyak daripada warna hitam. Batas warna hitam dengan warna putih tersebut tidak jelas atau samar-samar, warna bulu kipas ekor putih, warna bulu pada lutut kebawah putih, mempunyai performan ambing yang besar. Pada dahinya tidak terdapat segitiga berwarna putih. 2) Untuk sapi B-55 berwarna belang gelap-terang (hitam-putih) dengan batas warna samar-samar. Warna bulu kipas ekor putih, warna bagian lutut kebawah putih, mempunyai ambing yang cukup besar. Terdapat segitiga di dahinya. Dari kedua sapi tersebut mempunyai tanduk dan bertipikal jinak.
            Dari ciri-ciri diatas maka dapat diketahui bahwa sapi-sapi ini termasuk sapi FH (Fries Holand), ini sesuai dengan Harjosubroto (1994) bahwa sapi FH mempunyai ciri-ciri komposisi warna hitam putih, batas warna gelap terang pada bulu dan kulitnya tampak samar-samar seperti bayangan, warna bulu kipas ekornya putih, warna bagian kaki kebawah putih, mempunyai temperamen jinak, mempunyai bentuk segitiga putih di dahinya dan mempunyai performen ambing yang besar. Jika terdapat perbedaan eksterior dengan sumber literature yang ada, hal itu disebabkan adanya cacat pada ternak tersebut.

 Pencatatan (Recording)
Untuk memperoleh berbagai informasi tentang peternakan, maka dilakukan recording (pencatatan) mengenai asal-usul sapi, catatan reproduksi, catatan produksi susu dan catatan kesehatan sapi.
Untuk melakukan berbagai catatan, sapi perah harus diberi identifikasi. Identifikasi yang digunakan oleh sapi pada saat praktikum adalah identifikasi tipe temporer. Identifikasi itu berupa pemberian tindik pada telinga.
Catatan asal-usul sapi adalah catatan yang menunjukkan data-data dari kedua tetuanya, dari kakek/nenek sapi, tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, tanggal beranak dan berat badan (Soetarno, 2003). Pada praktikum ini tidak ada data mengenai tetua maupun kakek/nenek dari sapi yang digunakan. Sapi yang digunakan. Sapi yang digunakan pada praktikum ini sapi dengan nomor telinga/ nama yaitu sapi A-21 dan B-55. Sapi A-21 dan B-55 merupakan sapi PFH.Jenis kelamin kedua sapi adalah betina. Berat badan sapi A-21 adalah 440 kg dan berat badan Sapi B-55 480 kg.
Catatan reproduksi secara individu untuk setiap sapi perah meliputi per kawinan, pemeriksaan kebuntingan, perkiraan beranak, rencana pengeringan, tang gal kelahiran, lama bunting, lama kering dan jenis kelamin pedet (Soetarno, 2003). Pada praktikum ini  melakukan pencatatan tentang catatan reproduksi pada Sapi A-21 dan B-55.
 
Fisiologi Alat Pencernaan
            Dari pengamatan fisiologis alat pencernaan, didapat data seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Fisiologi pencernaan sapi perah
Alat prehension
Lidah
Tekstur lidah
Kasar
Jenis pakan
Hijauan dan konsentrat

            Pakan yang diberikan untuk sapi pada praktikum ini adalah konsentrat dan hijauan. Pakan ini dikonsumsi oleh sapi dimulai dengan mengambil pakan tersebut dengan lidah dan memasukkannya kedalam mulut. Untuk konsentrat diambil dengan menjilat dan untuk hijauan segar diambil dengan melingkarkan lidah pada hijauan. Lidah sapi mempunyai ciri–ciri panjang, kuat, bertekstur kasar, mudah ditekuk dan mudah digerakkan. Lidah merupakan alat prehension atau alat untuk mengambil pakan pada sapi (Bath, 1985).
            Pakan masuk dalam mulut sapi maka akan bercampur dengan ludah atau saliva, saliva diperlukan untuk mempermudah pengunyahan dan penelanan. Selain itu saliva mampu memecah maltosa dan dextrosa yang mudah larut (Soetarno, 1999).
            Setelah pengunyahan, pakan masuk kedalam oesophagus dan selanjutnya menuju rumen. Sebagai hewan ruminansia, sapi perah mempunyai empat bagian lambung yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Keadaan ini membedakan dari hewan lain yang hanya memiliki lambung tungggal yaitu tidak dapat memanfaatkan atau mencerna serat kasar (Soetarno, 1999).
            Pakan yang masuk kedalam rumen ada sebagian yang dimuntahkan kedalam mulut atau dikenal dengan regurgitasi untuk dikunyah kembali (remastikasi). Di dalam mulut bercampur kembali dengan saliva dan kemudian ditelan kembali (redeglutisi). Setelah masuk rumen dan retikulum dan telah difermentasi akan masuk kedalam omasum dan abomasum untuk proses pencernaan lebih lanjut. Dan selanjutnya penceranaan berlangsung di saluran pencernaan selanjutnya dan pakan yang tidak tercerna dibuang dalam bentuk feses.

            Fisiologi Kelenjar Susu
            Dari pengamatan fisiologi kelenjar susu, diperoleh hasil pengamatan seperti di bawah ini.
Table 8. Fisiologi kelenjar susu
Variabel
Sapi A-21
Sapi  B-55
Bentuk puting
Botol
Botol
Jumlah puting
4 buah
4 buah
Panjang vena subcutaneus abdominalis (kanan/kiri)
50/538 cm
50/61 cm
Konsistensi ambing
Kelenjar
Kelenjar
Pertautan ambing
Agak kencang
Kendor

Sapi perah dalam praktikum ini mempunyai bentuk puting silindris dan berjumlah empat buah. Konsistensi ambing pada sapi perah ini adalah ambing kelenjar. Ini dapat diketahui dari teksturnya yang lunak. Tekstur lunak ini dikarenakan jaringan penyusunnya adalah jaringan sekretorik (Blekely dan Bade, 1991).
            Dari pengamatan, bentuk ambing dari kedua  sapi A-21 dan B-55 nampak seperti kantung segi empat yang mengantung dan terdapat lekukan yang memisahkan bagian kiri dan kanan. Lekukan ini terletak di tengah-tengah ambing, sebagaimana dinyatakan oleh Prihadi (1997) ambing terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan yang terpisahkan oleh satu lekukan yang memanjang yang disebut intermammary groove.
            Pertautan ambing dari kedua sapi mempunyai pertautan kuat. Darah dari masing-masing belahan ambing melalui dua vena yaitu vena pudenda eksterna dan vena abdominalis subcutaneus atau sering disebut dengan vena susu (Prihadi, 1997). Dari pengamatan dalam praktikum, panjang vena subcutaneus abdominalis diperoleh untuk sapi  B-55 yaitu sebelah kiri 38 cm dan sebelah kanan 50 cm. Jafi panjang keseluruhannya adalah 88 cm. Sedangkan untuk sapi A-21 diperoleh sebelah kiri 61 cm dan sebelah kanan 50 cm. Jadi panjang keseluruhannya yaitu 111 cm Vena tersebut memanjang disepanjang abdomen dan berkelok-kelok. Menurut Blakely dan Bade (1991) pembuluh vena subcutaneus abdominalis yang panjang dan bekelok-kelok menunjukkan kondisi produksi susu suatu ternak, artinya semakin panjang semakin baik.

Perkandangan
Jenis kandang yang ada di Laboratorium Ilmu Ternak Perah ada tiga yaitu kandang laktasi tunggal, kandang laktasi ganda dan kandang pedet. Fungsi kandang di daerah tropis adalah untuk melindungi sapi dari derasnya air hujan, kencangnya angin, panasnya sinar matahari serta keamanan dari gangguan binatang buas dan pencurian (Soetarno, 2003).
Jenis kandang di Laboratorium Ilmu Ternak Perah adalah kandang tambat dimana sebagian besar waktu sapi ditambat di kandang. Di dalam kandang terdapat tempat pakan dan tempat minum yang peralatan airnya otomatis. Untuk mempermudah membersihkan kandang dan memperlancar air juga kotoran sapi melewati selokan maka terdapat kemiringan lantai dan kemiringan selokan.
Ukuran kandang, kemiringan lantai dan kemiringan selokan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 15.  Kemiringan lantai   kandang      
Kemiringan lantai
Kandang laktasi tunggal
Kandang laktasi ganda
Kandang beranak
Kandang pedet
Kanan
50-49=1%
48-47=1 %
70-69=1%
41-40=1%
Tengah
51-50=1 %
45-44=1%
69-68=1%
40-39=1%
Kiri
50-49=1%
41-40=1%
69-68=1 %
40-39=1%

Tabel 16.  Kemiringan selokan
Kemiringan selokan
Kandang laktasi tunggal
Kandang laktasi ganda
Kandang beranak
Kandang pedet
Kanan
76-75=1%
13-12=1%
54-53=1%
41-40=1%
Tengah
64-63=1%
13-12=1 %
55-54=1%
41-40=%
Kiri
64-63=1%
41-40=1%
54-53=1%
40-39=1%

    
                                     
                       
                      
                                                                 

Kandang laktasi tunggal
 Yang diukur pada kandang laktasi tunggal adalah panjang kandang, lebar kandang, tinggi sekat, panjang tempat pakan, panjang tempat minum, lebar tempat minum dan tinggi tempat minum yang ukurannya dapat dilihat pada tabel.
Tabel 14. Ukuran kandang laktasi tunggal
Parameter          
Kandang laktasi  tunggal (cm)
Panjang kandang
2130
Lebar kandang
400
Panjang sekat
179
Tinggi sekat
95
Panjang tempat pakan
85
Lebar tempat pakan
59
Tinggi tempat pakan
48
Panjang tempat minum
59
Lebar tempat minum
59
Tinggi tempat minum
43

            Ukuran kandang jika dibandingkan dengan literatur ternyata berbeda. Menurut Soetarno (2003), panjang kandang adalah 15 m dan lebar kandang adalah 2,5-3,5 m. Sedangkan ukuran kandang yang digunakan pada saat praktikum panjangnya adalah 2130 cm dan lebarnya adalah 400 cm (4,00 m). Walau ada perbedaan dengan literatur, kandang laktasi tunggal telah memberi cukup ruang bagi sapi untuk bergerak dan tidur. Untuk memisahkan sapi-sapi, pada kandang diberi sekat yang ukuran panjangnya adalah 179 cm (1,79 m) dan tingginya 95 cm (0,95 m). Menurut Soetarno (2003), ukuran panjang dan tinggi sekat yaitu 1,25 m dan 1 m. Keuntungan  bila kandang sapi diberi sekat yaitu sapi tidak akan saling berebut makanan, sapi dapat tidur lebih tenang, sapi tidak akan saling menginjak, sapi tidak saling mengotori dan jika timbul suatu penyakit tidak akan cepat menular ke sapi lain (Soetarno, 2003). Tempat pakan dan tempat minum letaknya berdempet. Pakan hijauan dan konsentrat letaknya menjadi satu. Air keluar secara otomatis. Ukuran tempat pakan dan tempat minum dibuat agar sapi dapat dengan mudah mengambilnya.
Untuk mempermudah membersihkan kandang dan memperlancar aliran air dan kotoran sapi diselokkan, pada kandang ada kemiringan. Kemiringan lantai pada kandang laktasi tunggal pada bagian kanan 0,5 %, tengah 1,5 % dan kiri 0,5 %. Menurut Soetarno (2003) kemiringan lantai adalah 2 %. Kemiringan selokan pada kandang yaitu sebelah kanan 3,5 %, tengah 1 % dan kiri 1 %. Sedangkan kemiringan selokan menurut Soetarno (2003) yaitu 0,5 %. Sehingga terdapat perbedaan yang besar mengenai kemiringan lantai dan kemiringan selokan antara hasil pengukuran dan literatur. Walaupun ada perbedaan tetapi kemiringan lantai pada kandang dan kemiringan selokan dapat mengalirkan air dan kotoran dengan cepat.
Bahan yang digunakan untuk membuat lantai adalah semen. Tujuannya supaya lantai mudah dibersihkan karena kandang yang porous mudah menjadi sarang segala macam kuman penyakit. Sedangkan bahan yang digunakan untuk atap adalah genting. Atap tidak menggunakan seng atau asbes karena pada siang hari terlalu panas. Atap juga tidak menggunakan rapak atau alang-alang karena mudah rusak dan terbakar. Ventilasi dan pertukaran udara di dalam kandang dapat menjamin masuknya udara segar dan udara kotor juga dapat keluar dari kandang. Ini disebabkan karena kandang sapi dibuat terbuka.
Kandang laktasi ganda
 Kandang laktasi ganda dibuat karena lebih ekonomis yaitu dapat mengandangkan ternak lebih dari 16-20 ekor sapi (Williamson dan Payne, 1993). Menurut Williamson dan Payne (1993), kandang ganda dapat dirancang sehingga sapi dapat menghadap ke depan ke arah pusat tempat makanan atau sapi menghadap ke belakang dengan tempat makanan pada kedua sisi bangunan.
Kemiringan lantai pada kandang menurut Soetarno ( 2003) adalah 2 % dan kemiringan selokan adalah 0,5 %.
Pada praktikum ini, posisi sapi yang ada pada kandang laktasi ganda  adalah saling membelakangi dengan tempat makanan pada kedua sisi bangunan. Di tengah-tengah kandang ada selokan yang membagi kandang. Fungsi selokan adalah untuk mengalirkan air dan kotoran. Pada kandang laktasi ganda juga terdapat sekat-sekat yang memisahkan sapi. 



Parameter
Kandang laktasi ganda (cm)
Panjang kandang
1000
Lebar kandang
800
Panjang tempat pakan
85
Tinggi tempat pakan
48
Panjang tempat minum
59
Lebar tempat pakan
59
Lebar tempat minum
59
Tinggi tempat minum
43

Kandang pedet
 Menurut Soetarno (2003), syarat-syarat kandang pedet adalah sirkulasi udara dan cahaya matahari cukup, kandang dibuat agar mudah dibersihkan, kandang sebaiknya dibuat individu dan pada lantai  diberi alas jerami atau rumput kering yang bersih. Pada praktikum ini, 2 ekor pedet ditempatkan dalam satu kandang.
 Menurut Soetarno (1999), untuk menghindari hair ball maka pada saat  pemberian susu, masing-masing pedet ditali agar tidak saling menyundul setelah diberi susu. Namun pada saat praktikum pedet tidak ditali saat pemberian susu.
Agar kandang mudah dibersihkan maka pada lantai dan selokan ada kemiringannya. Kemiringan  selokan pada kandang pedet sebelah kanan adalah 2 %, tengah  2 % dan kiri 1 %. Kemiringan selokan besar untuk menjaga agar kandang tetap kering. Sedangkan kemiringan lantai pada kandang pedet yaitu sebelah kanan 2 %, tengah 1 % dan kiri 1 %. Lantai dibuat miring supaya kandang mudah dibersihkan dan tetap dalam keadaan kering. Menurut Soetarno (2003), tinggi sekat adalah 125 cm sedangkan tinggi sekat pada praktikum adalah 290 cm. Semakin tinggi sekat akan semakin baik bagi pedet.
Parameter
Kandang pedet (cm)
Panjang kandang
290
Lebar kandang
230
Panjang tempat pakan
185
Lebar tempat pakan
40
Panjang tempat minum
85
Lebar tempat minum
40
Tinggi sekat
175

Kandang Beranak
Parameter
Kandang beranak (cm)
Panjang kandang
600
Lebar kandang
290
Tinggi kandang
175
           
            Yang diukur pada kandang beranak adalah panjang kandang, lebar kandang dan tinggi kandang. Untuk memepermudah membersihkan kandang dan memperlancar aliran air dan kotoran sapi diselokan, pada kandang ada kemiringan. Kemiringan pada lantai kandang beranak sebelah kanan 1 %, sebelah tengah 2 % dan kiri 2 %. Bahan yang digunakan untuk membuat lantai adalah semen. Tujuannya supaya lantai mudah dibersihkan karena kandang yang porous mudah menjadi sarang segala macam kuman penyakit.
Kandang karantina
Parameter
Kandang karantina (cm)
Panjang kandang
600
Lebar kandang
450
Panjang tempat pakan
150
Panjang tempat minum
150

            Di kandang karantina ini tidak ada sekat dan sifatnya  tunggal. Maksudnya yaitu dalam satu kandang karantina hanya ada 1 ekor hewan ternak. Terdapat tempat pakan dan tempat minum yang alirannya mengalir secara otomatis. Kandang karantina ini cukup luas dibanding kandang laktasi. Hal itu dapat dilihat dari ukuran kandang yang diperoleh pada saat praktikum, yaitu panjang kandang 600 cm dan lebar kandang 450 cm.
            Kandang karantina kurang cocok untuk sapinya sebab kemiringan lantainya kurang memenuhi syarat. Sehingga akan menimbulkan sumber segala penyakit yang dikarenakan urine dan faeses bercampur tanpa ada aliran yang lancar.  Disamping itu, meskipun ada tempat pakan dan tempat minum tapi ukurannya tidak memenuhi syarat sehingga pakan yang diberikan berada disana-sini dan tidak terletak pada tempat pakan. Disamping itu tempat minumnya juga tidak memenuhi syarat karena terlalu rendah letaknya, sehingga hal itu akan semakin mempersulit posisi sapi untuk minum.

Pengenalan Alat

            Dalam praktikum perawatan sapi perah ini diperkenalkan macam-macam alat yang digunakan untuk menunjang kerja para peternak sapi perah. Alat-alat tersebut meliputi alat identifikasi baik temporer ataupun permanen, alat bantu handling, alat bantu pengukuran berat badan, alat untuk kastrasi, pemotongan kuku serta alat untuk dehorning. .

Alat identifikasi

            Ear tag tang. Alat itu berfungsi untuk menempelkan atau memasang ear tag dengan ukuran tertentu (Williamson dan Payne, 1993).
            Neck chain. Alat ini dilengkapi kode nomor sapi yang berguna sebagai ciri kepemilikan.
            Angkle strap. Merupakan gelang kaki plastik yang bernomor.
            Brisket tag. Alat identifikasi  berupa sabuk yang dikenakan pada paha sapi.
            Flank tag. Adalah alat identifikasi berupa rantai atau kulit yang dikaitkan pada ekor.
            Tatto tang.Alat ini berfungsi untuk mengidentifikasi ternak pada bagian  telinga dengan kombinasi huruf atau angka (Williamson dan Payne, 1993)..
            Branding. Merupakan alat untuk identifikasi pada anak atau induk sapi. Ada dua macam alat branding ini yaitu hot branding dan freeze branding. Hot branding adalah pemberian cap besi panas, cap besi harus benar-benar panas, lalu ditempelkan pada tubuh ternak selama lima detik. Freeze branding menggunakan besi tembaga yang disimpan dalam es kering atau Nitrogen cair. Kulit yang akan dicap dicukur terlebih dahulu dan dicuci dengan alkohol sebelum dicap. Cap ditempelkan selama tiga puluh detik (Blakely dan Bade, 1991).
            Ear notch tang. Alat ini berfungsi untuk mengidentifikasi dengan cara merobek daun telinga dengan kode dan ukuran tertentu (Williamson dan Payne, 1993).

Alat bantu handling

Alat bantu handling adalah halter, alat ini terbuat dari kulit dan rantai yang berfungsi sebagai tali keluh, terdapat beberapa pegangan untuk menghandling sapi perah (Williamson dan Payne, 1993). Alat ini digunakan untuk mempermudah dalam mengendalikan sapi serta alat ini sebagai pengganti tali keluh.

Alat bantu pengukuran berat badan sapi

            Mistar ukur. Yaitu mistar yang dapat digeser untuk menyesuaikan panjang badan.
            Pita DWT. Alat ini merupakan pita untuk mengukur lingkar dada dan disana langsung terdapat skala berat badan sapi yang sebanding dengan lingkar dada sapi.
            Pita ukur. Alat ini juga untuk mengukur lingkar dada sapi. Dalam praktikum hanya digunakan  pita ukur.

Alat kastrasi

            Bordizzo tang. Alat ini digunakan untuk merentangkan cincin karet dan dipasangkan pada skrotum diatas testikel. Di bawah cincin itu aliran darah terputus hingga testikel itu tidak berfungsi.

Alat Dehorning

            Pada sapi yang masih muda dilakukan dehorning dengan metode chemicallia. Bahan kimia yang digunakan adalah soda api (caustic soda). Prinsipnya adalah mengoleskan disekitar pangkal tanduk sehingga dapat mematikan pertumbuhan sel dan perkenbangan tanduk. Cara  ini untuk pedet yang berumur kurang dari satu minggu. Alat yang kedua adalah electric dehorner yang digunakan pada pedet yang berumur kurang dari tiga bulan. Prinsipnya adalah penggunaan arus listrik untuk memanaskan cincin besi dan kemudian ditekankan pada pangkal tanduk. Dengan panas yang tinggi maka akan dapat merusak sel tanduk dan mencegah tumbuhnya tanduk. Alat ini dilengkapi dengan kontrol temperatur sekitar 1000o F (537o C) dan dalam waktu 10 detik sudah dapat merusak sel-sel tanduk (Soetarno, 1999).






Perawatan Ternak Perah

Perawatan pedet

            Pada praktikum ini, praktikan melakukan perawatan pedet mulai dari pembersihan kandang, pemberian pakan dan pemberian susu. Kandang pedet harus bersih dan dibuat individu, sirkulasi udara dan cahaya matahari cukup sehingga kandang akan tetap kering dan tidak lembab sehingga tidak mengganggu kesehatan pedet yang ada di dalamnya.
            Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari dan pemberian susu sekali dalam sehari. Pemberian susu dilakukan dengan ember, hal ini dilakukan karena pedet telah dapat minum dalam ember yang sebelumnya telah dilatih. Dalam praktikum ini pemberian pakan untuk pedet tidak dilakukan.
            Pembersihan kandang dilakukan praktikan sekali sehari. Kandang dibersihkan dengan menyingkirkan kotoran-kotoran dan menyiramnya dengan air hingga bersih. Air yang masih menggenang disapu hingga sedikit kering. Hal ini penting untuk menjaga agar kandang tidak terlalu lembab sehingga akan mencegah perkembangan bakteri atau bibit penyakit yang dapat mengganggu kesehatan pedet.
            Kandang pedet dilaboratorium perah yang digunakan praktikan merupakan kandang individual yaitu satu kandang untuk satu pedet. Menurut Soetarno (1999) syarat kandang yang baik adalah : 1). Kandang dibuat individual, 2). Sirkulasi udara dan cahaya matahari cukup hingga lantai kandang tetap kering, 3).kandang mudah dibersihkan dan mudah mengontrol kesehatan pedet. Dari pengamatan pada saat praktikum, kandang pedet telah memenuhi syarat-syarat di atas.
            Perawatan pedet harus benar-benar diperhatikan karena kematian sapi perah selama masih pedet hingga umur tiga bulan mencapai 20 %. Dan perawatan harus optimal sehingga dihasilkan sapi dara yang bagus yang siap dikawinkan pada umur dan berat sesuai persyaratan yang telah direncanakan (Soetarno, 1999).
Perawatan sapi laktasi
Pada praktikum perawatan sapi perah ini dilakukan perawatan kepada sapi laktasi yang meliputi membersihkan kandang, pemberian pakan, memandikan sapi sebelum diperah. Perawatan sapi kali pertama dilakukan pembersihan kandang. Kandang dibersihkan dengan menyingkirkan kotoran-kotoran api yang tercecer di lantai dengan menyoroknya kesaluran pembuangan yang terdapat ditepi kandang. Untuk menghilangkan sisa–sisa kotoran maka lantai diguyur dengan air dan disapu dengan sapu lidi untuk mencegah tergenangnya air di dalam kandang. Untuk mencegah meluapnya saluran pembuangan, maka praktikan mencoba untuk menyisir genangan tersebut hingga dapat mengalir ke penampungan kotoran. Selanjutnya adalah memandikan sapi sebelum pemerahan susu dilakukan. Sapi dimandikan dan disikat sampai bersih sehingga tidak ada kotoran yang menempel pada tubuh sapi. Pembersihan juga dilakukan pada ambing dan puting.
            Pembersihan kandang dan memandikan sapi bertujuan untuk menjaga kesehatan sapi yang ada di dalamnya serta untuk mencegah terserapnya aroma tidak sedap oleh susu, karena susu mempunyai sifat mudah menyerap bau–bauan di sekitarnya.
            Sapi perah yang digunakan dalam praktikum adalah sapi perah A-21 dan sapi B-55. Kedua sapi ini berada dalam masa-masa laktasi.
            Pemberian pakan  sapi laktasi pada praktikum dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan adalah berupa hijauan dan konsentrat. Konsentrat diberikan sebelum hijauan. Konsentrat yang diberikan sebanyak satu ember dan hijauannya satu ikat untuk masing-masing  adalah 5 kg. Sedangkan masing-masing sapi diberi hijauan 25 kg dalam sehari. Konsentrat didahulukan karena konsentrat dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme rumen yang nantinya akan digunakan dalam fermentasi rumen (Soetarno, 1999).
            Sapi perah sangat membutuhkan serat kasar untuk pemeliharaaan fermentasi rumen yang berpengaruh pada proses produksi susu (kadar lemak susu). Kebutuhan serat kasar ini terpenuhi oleh hijauan, maka dalam pakannya diperhatikan imbangan antara hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan setiap sapi terdiri dari 5 ikat rumput gajah. Rumput gajah dipotong kecil-kecil agar sapi mudah untuk mengunyahnya.



Pemberian Pakan
            Pakan pada sapi perah berbeda-beda menurut tingkat umurnya. Karena setiap tingkat umur memiliki perbedaan dalam kemampuan mencerna pakan maupun kebutuhan.
Pakan pedet
Pakan yang diberikan kepada pedet pada praktikum ini tidak ada. Hanya sebatas diberi susu.
Hijauan yang diberikan pada pedet sebagai latihan. Hijauan yang diberikan itu tidak sebanyak sapi dewasa. Menurut Williamson dan Payne (1993) saluran pencenaan sapi muda berbeda dari sapi dewasa. Pemberian hijauan bermutu tinggi dilakukan sebagai latihan karena pada pedet rumino retikulum belum cukup berkembang dan belum mampu mencerna hijauan (Prihadi, 1997). Menurut Soetarno (2003), pemberian hijauan secara bebas supaya rumen tumbuh sempurna.
Konsentrat yang diberikan pada pedet sekitar 2 kg. Ini sesuai dengan Timan (2003) bahwa konsentrat yang diberikan tidak lebih dari 2 kg/ekor/hari agar pedet mau makan rumput sebanyak-banyaknya dan pedet tidak menjadi gemuk.
Susu diberikan kepada pedet dengan menggunakan ember karena pedet tidak minum susu secara langsung dari induknya. Menurut Blakely dan Bade (1991), pedet yang baru lahir hanya diberi kesempatan satu kali saja untuk menyusu induknya.
Pakan sapi laktasi
Jumlah pakan yang diberikan pada sapi A-21 dan sapi  B-55 dalam praktikum dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 13. Pemberian pakan
No Sapi
Berat badan (kg)
Pakan yang diberikan (kg/segar)
Sisa (kg)
Hijauan (kg/hari)
Konsentrat (kg/hari)
Pagi
Sore
Pagi
Sore
A 21
480
25
25
5
5
-
B 55
440
25
25
5
5
-

Pakan bagi sapi perah merupakan sumber energi utama guna memproduksi susu. Nutrisi yang dibutuhkan oleh sapi laktasi tergantung dari (1) kondisi berat badan sapi, (2) produksi susu, (3) kadar lemak susu, (4) tanggal beranak atau lama laktasi, (5) lama kebuntingan dan (6) jenis dan komposisi makanan (Soetarno, 2003).
Jumlah hijauan yang diberikan dalam waktu sehari pada sapi A-21 sebanyak 25 kg dan pada sapi B-55  sebanyak 25 kg. Sedangkan jumlah konsentrat yang diberikan kepada kedua sapi adalah sama yaitu 10 kg.
Jumlah hijauan yang diberikan pada sapi B-55 bila dilihat dari berat badannya sudah cukup. Pada umunya sapi perah membutuhkan hijauan minimal 10 % dari berat badannya. Sehingga sapi B-55 seharusnya diberi hijauan minimal sebanyak 48 kg/hari sedangkan pada praktikum ini sapi B-55 diberi hijauan 50  kg/hari. Jumlah konsentrat yang diberikan adalah 10 kg/hari sehingga kebutuhan minimal akan konsentrat telah terpenuhi, karena kebutuhan minimal sapi perah akan konsentrat adalah 1-2 % dari berat badan yaitu sekitar 5 kg.
Pada sapi A-21 baik jumlah hijauan maupun konsentrat  yang diberikan telah memenuhi kebutuhan minimal. Biasanya hijauan diberikan 10 % berat badan (dalam hal ini sapi A-21 adalah 44 kg/hari) dan konsentratnya 1-2 % (4,5 kg/hari) sedangkan pada waktu praktikum pakan yang diberikan berupa 50 kg hijauan dan 10 kg konsentrat per hari.
Pakan yang diberikan pada saat praktikum sudah memenuhi syarat kebutuhan sapi perah sebagaimana yang diungkapkan oleh Soetarno (2003) di atas.
 Hijauan yang diberikan kepada sapi perah dalam jumlah banyak karena dibutuhkan untuk pemeliharaan fermentasi dalam rumen guna memproduksi susu. Konsentrat yang diberikan sebagai bahan pakan tambahan untuk memberikan energi (Blakely dan Bade, 1991).Pada praktikum ini konsentrat diberikan sebelum hijauan  karena jika langsung diberi hijauan, ternak tidak mau makan konsentrat padahal konsentrat juga dibutuhkan tubuh sebagai sumber nutrien yang belum tercukupi oleh hijauan. Selain itu, konsentrat diberikan dahulu untuk merangsang kerja rumen sebelum diberi hijauan.
Pemerahan
Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan jumlah produsi susu maksimal dari ambing. Apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi totalnya  menjadi menurun.
Jika periode yang digunakan terlalu panjang untuk menghasilkan susu, biaya persatuan berat dari hasil susu akan meningkat. Pedoman pertama dari teknik pemerahan terutama bila memerah sapi dara untuk pertama kalinya adalah mencegah sapi menjadi gelisah atau ketakutan. Pedoman kedua adalah pemerahan dilakukan dengan cepat dan sempurna (Pane, 1986)
Pemerahan dapat dilakukan dengan dua macam yaitu dengan mesin (machine milking) dan dengan tangan (hand milking). Pemerahan di Indonesia sebagian besar dilakukan dengan tangan (Soetarno, 1995).
Pada waktu praktikum dilakukan pemerahan pada sapi B-48, B-31, B-55 dan A-21. Produksi susu sapi PFH rata-rata 10 liter/hari. Perbandingan susu yang dihasilkan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40% : 60% (Soetarno, 2003). Setelah pemerahan selesai dilakukan pengapuhan. Menurut Soetarno (2003), lama pemerahan diselesaikan dalam waktu 7 menit karena pengaruh sekresi oksitosin sangat singkat.
Pemerahan yang dilakukan pada praktikum ini adalah pemerahan secara manual. Peralatan pemerahan pada praktikum pada praktikum ini adalah ember tempat air, vaselin yang digunakan untuk melicinkan puting, ember logam tempat penampung susu yang diperah, milk can untuk tempat penampungan susu hasil pemerahan, gelas ukur dari plastik untuk mengukur banyaknya susu yang dihasilkan oleh sapi dan tali untuk mengikat kaki belakang sapi dan ekor sapi. Menurut Siregar (1992), ambing dan puting sapi perah sebelum pemerahan harus dicuci dulu dengan air hangat lalu diolesi dengan vaselin. Tapi saat praktkum, ambing dan puting sapi hanya dicuci dengan air biasa lalu diolesi dengan vaselin. Untuk melakukan pemerahan, tangan pemerah dibersihkan dulu dan kuku pemerah tidak panjang. Ini sesuai dengan Siregar (1992), tangan pemerah harus bersih dan kuku tidak boleh panjang karena dapat menimbulkan luka-luka pada puting sapi. Pada praktikum ini, sebelum pemerahan, lantai kandang dibersihkan dulu dari segala jenis kotoran dan bau-bau yang tidak sedap karena sifat susu yang mudah menyerap bau sekitarnya.
Pada praktikum ini pada sapi B-48, produksi susunya 4,7 liter kwartir depan dan 5,7 kwartir belakang membutuhkan waktu 7 menit untuk kwartir depan dan 5 menit 5 detik untuk kwartir belakang.
Pada sapi B-31, keartir depan dalam sehari produksinya 4,1 liter

membutuhkan waktu pemerahan selama 5 menit, sedangkan pada kuartir belakang produksi susunya 4,2 liter membutuhkan waktu 5 menit 45 detik.
Pada sapi B-55, produksi susu sehari kuartir depan adalah 5,2 liter membutuhkan waktu selama 6 menit 45 detik, dan pada kuartir belakang menghasilkan 3,1 liter membutuhkan waktu 4 menit 23 detik.
Sapi A-21, produksi susunya pada kuartir depan dalam sehari adalah 1,55 liter, membutuhkan waktu 4 menit 5 detik. Sedangkan pada kuartir belakang menghasilkan susu sebesar 3 liter dalam sehari dengan jumlah waktu pemerahan 4 menit 58 detik.
Dari data diketahui bahwa produksi susu sapi B-48 pada kuartir depan dalam sehari adalah 4700 ml dengan jumlah waktu pemerahan 7 menit. Perbandingan produksi susu antara kuartir depan dan kuartir belakang pada sapi B48 adalah 45%:55%.
Pada sapi B-31 produksi susunya pada pagi hari 5400 ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40,7%:59,3%.
Sedangkan menurut Soetarno (2003). Perbandingan produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40% : 60% Pada sore hari produksi susu sapi B-31 adalah 2900 ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 65,5% : 34,5%. Perbandingan yang tidak seimbang antar produksi susu kuartir depan dan kuartir belakang ini dikarenakan pada kuartir belakang, ambing yang berfungsi aktif hanya satu buah ambing, jadi produksi susu kuartir belakang lebih sedikit daripada produksi susu kuartir depan.
 Waktu yang diperlukan untuk pemerahan adalah 3 menit 45 detik. Waktu yang diperlukan untuk memerah susu pada pagi hari lebih lama daripada sore hari karena susu yang diproduksi pada pagi hari lebih banyak dari pada susu yang diproduksi pada sore hari. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu pembentukan susu. Menurut Soetarno (1999) interval pemerahan paling baik adalah 12 jam. Produksi susu B-31 dalam 1 hari 10.400 ml/hari yakni sama dengan produksi susu rata-rata sapi FH.

Pada sapi B-55, total p roduksi susu yang dihasilkan pada pagi hari adalah 5200 ml. Perbandingan produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 65,4% : 34,6%.Waktu yang dibutuhkan untuk pemerahan adalah 8 menit. Perbandingan ini hampr mendekati teori karena menurut Soetarno (2003) perbandingan produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 7 menit. Lama tidaknya pemerahan tergantung dari jumlah susu pada ambing dan juga ketrampilan pemerah. Produksi susu yang dihasilkan sapi B-55 pada sore hari adalah 3100 ml dan perbandingan produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 58% : 42%. Total waktu yang diperlukan untuk pemerahan pada sore hari adalah 4 menit 8 detik. Banyaknya produksi susu pada pagi hari dibandingkan dengan produksi susu pada sore hari karena disebabkan oleh interval pemerahan, pemerahan pada pagi hari mempunyai interval pemerahan dengan pemerahan sebelumnya lebih lama daripada pemerahan sore hari. Susu yang dihasilkan oleh kuartir belakang lebih banyak dibandingkan dengan susu yang diproduksi oleh kuartir depan karena ambing kaurtir belakang lebih besar dari ambing kuartir depan. Menurut Soetarno (1999) besarnya ambing belakang disebabkan karena sel-sel sekretoris kuartir belakang lebih banyak. Semakin banyak sel-sel sekretoris maka produksi susu juga semakin banyak. Total produksi susu sapi B-55 dalam 1 hari adalah 8300 ml dalam sehari dengan durasi waktu 11 menit 8 detik.
Produksi susu sapi A-21 pada pagi hari adalah 3000 ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 33,3% : 66,7%. Sedangkan menurut Soetarno (2003) perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40% :60%. Ini menunjukan bahwa kuartir belakang lebih besar dari kuartir depan. Waktu yang dipelukan untuk pemerahan adalah 7 menit 5 detik. Lama pemerahan tersebut sudah sesuai teori sehinga dalam waktu tersebut hormon oksitosin masih bekerja karena hormon oksitosin bekerja selama 7 menit (Soetarno, 2003). Produksi susu pada sore hari adalah 1550 ml dengan perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 35,5% : 64,5%. Ini sudah sesuai dengan Timan (2003) yaitu perbandingan antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40% : 60%. Waktu yang diperlukan untuk pemerahan adalah 1 menit 53 detik. Pendeknya waktu pemerahan disebabkan oleh sedikitnya produksi susu. Total produksi susu sapi A-21  dalam 1 hari adalah 4550 ml. Jumlah ini lebih sedikit dari B-55 ataupun B-31.
Produksi susu sapi B-48 pada pagi hari adalah 1900 ml. Perbandingan produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 46,8% : 53,2. Besarnya perbandingan ini disebabkan karena ambing kuaritr belakang labih besar dari ambing kuartir depan. Waktu yang diperlukan untuk pemerahan adalah 9 menit. Ini mendekati dengan teori, menurut Soetarno (2003) hormon oksitosin bekerja selama 7 menit. Produksi susu yang dihasilkan oleh Sapi B-48 pada sore hari adalah 2500 ml dengan perbandingan kuartir depan dan kuartir belakang adalah 40%:60%. Hal ini benar-benar sesuai dengan yang diungkapkan oleh Soetarno (2003) bahwa perbandingan produksi susu antara kuartir depan dengan kuartir belakang adalah 40%:60%. Waktu yang dibutuhkan untuk pemerahan adalah 3 menit 5 detik.
Setelah selesai pemerahan, ambing tidak dicuci dengan air. Ini tidak sesuai dengan toeri, menurut Siregar (1992) setelah selasai pemerahan ambing dan puting dicuci kembali dengan air hangat lalu dicelupkan/disemprot dengan menggunakan biosid. Pada praktikum ini, ambing dan puting hanya dicuci dengan air bersih bukan air hangat dan tidak ada penyemprotan dengan biosid. Setelah itu susu ditakar dan dicatat untuk mengetahui produksi susu/hari. setelah pemerahan semua sapi selesai, alat untuk menampung susu dicuci dengan air sampai bersih dan dikeringkan dengan terlungkup.
Catatan produksi susu
Produksi susu dicatat setiap selesai pemerahan dan catatan produksi susu selama dipelihara diperoleh dari catatan produksi susu harian (Soetarno, 2003). Produksi susu sapi B-48 dalam sehari adalah 10.400 ml, produksi susu sapi B-31 dalam sehari adalah 8300 ml, produksi susu sapi  B-55 adalah 8300 ml dan  produksi susu sapi A-21  sekitar 4550 ml. Banyak sedikitnya produksi susu dapat disebabkan oleh bangsa sapi, umur sapi dan masa menyusui. Catatan produksi susu  penting karena menyangkut masalah penjualan susu atau keuangan (Soetarno, 2003).

Pendugaan Umur
Setelah dilakukan penafsiran umur dengan melihat keadaan gigi seri maka diperoleh gambaran dari keadaan gigi seri sapi tersebut seperti pada tabel berikut :
Table 11. Penafsiran umur
No Sapi
Perkiraan Umur
Perkiraan umur secara visual
Umur sebenarnya
Kondisi gigi
Umur tafsiran
Cincin tanduk
Umur tafsiran
B-55
Id2 à I2
2 tahun
3
3 tahun
3,5 tahun
3 tahun
A-21
Id2 à I2
2 tahun
3
3 tahun
3 tahun
2,5 tahun

Untuk mengetahui susunan dan kondisi gigi seri ternak, caranya adalah dengan membuka mulut sapi perah dengan cara melewatkan tangan melalui diastema (bagian mulut yang tidak ditumbuhi gigi) kemudian lidah ditarik keluar. Jika sudah kelihatan giginya maka diamati. Hal pertama yang diamati adalah perubahan gigi seri susu menjadi gigi seri permanen. Jika seluruh gigi susu telah berubah permanen maka yang perlu diamati adalah keterasahan gigi dan bidang keterasahan gigi.
            Pada saat pengamatan terhadap gigi ternak, diusahakan agar tidak terlalu lama karena hal ini dapat membuat ternak kesakitan. Ketika memasukkan tangan ke diastema, tali keluh dan tali tambat harus dipegang dengan maksud untuk mempermudah handling. Jika sapi yang diamati tidak memiliki tali keluh, maka perlu dipasang alat bantu handling yaitu halter.
            Perkiraan umur tersebut dimaksudkan untuk memperkirakan umur sapi yang berguna untuk memperkirakan jumlah produksi susu, masa laktasi, pubertas ataupun pengaturan pakan yang akan diberikan.
Penafsiran  Berat Badan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil berat badan sebagai berikut :
Tabel 9. Penafsiran berat badan
Variable
Nama sapi B-55
Nama Sapi A-21
Lingkar dada (cm)
188 kg
180 cm
Panjang badan absolut (cm)
137 kg
130 cm
Berat badan menurut:


Scheiffer
1032,98 pounds
898,5 pounds
Lambourne
440,69 kg
388,56 kg
Schoorl
441 kg
408,04 kg
Perkiraan berat badan visual
450 kg
350 kg
Berat badan tertimbang
480 kg
440 kg

Berat badan sapi praktikum diperoleh dengan cara perhitungan rumus berat badan dan penafsiran secara visual. Perhitungan dengan rumus diperoleh dengan memasukkan data vital sapi, yaitu lingkar dada dan panjang badan. Dalam pengukuran data vital statistik sapi tersebut menggunakan alat bantu pita ukur untuk menghitung lingkar dada dan mistar ukur untuk mengukur panjang badan sapi. Pengukuran dilakukan dengan posisi sapi pada kondisi paralelogram, yaitu dimana kedudukan empat kaki sapi membentuk bidang empat persegi panjang pada bidang datar.  
            Lingkar dada diperoleh dengan melingkarkan pita ukur pada sternum 3-4 yang letaknya dibelakang kaki depan.
            Panjang badan absolut diukur dengan menggunakan mistar ukur dari sendi bahu sampai tonjolan tulang duduk. Hasil yang diperoleh adalah 137 cm untuk B-55 dan 130 cm untuk sapi A-21.
            Hasil dari perhitungan rumus berat badan maupun pengamatan secara visual yang diperoleh dibandingkan dengan berat badan sesungguhnya yaitu hasil dari penimbangan maka diperoleh persentase kesalahan dari penafsiran tersebut. berdasarkan perhitungan diperoleh rata-rata kesalahan penafsiran berat badan sebesar 4,8 % untuk rumus Scheiffer, 9,94 % untuk rumus Lambourne dan 7,6% untuk  rumus Schrool serta secara visual diperoleh persentase kesalahan sebesar 13,3%.
            Ketidakakuratan penafsiran berat badan sapi tersebut pada praktikum ini mungkin disebabkan karena posisi  sapi pada saat pengukuran tidak pada posisi paralelogram sehingga diperoleh data yang tidak tepat. Untuk memperoleh data vital statistik yang meliputi lingkar dada dan panjang badan secara tepat menurut Williamson da Payne (1993) yaitu ternak harus pada posisi paralelogram dimana posisi keempat kaki sapi membentuk empat persegi panjang pada bidang datar. Dan juga mungkin saat pengukuran dilakukan, sapi tidak tenang sehingga pengukuran terganggu. Untuk penafsiran secara visual terdapat kesalahan karena disebabkan praktikan kurang berpengalaman.
            Dari hasil perhitungan persentase kesalahan, maka dapat dilihat bahwa persentase kesalahan terkecil terdapat pada rumus Scheiffer yaitu sebesar 4,8%. Sedangkan persentase kesalahan terbesar terdapat pada perkiraan secara visual yaitu sebesar 13,3%.
            Perkiraan berat badan tersebut dimaksudkan untuk memperkirakan bobot sapi tersebut sehingga ketika terjun ke lapangan dapat memperkirakan baik mulai harga, jumlah produksi susunya dan lain sebagainya. Karena berat badan seekor ternak berpengaruh pada jumlah produksi susu yang dihasilkan. Semakin gemuk sapi tersebut maka produksi susunya semakin sedikit dan begitu sebaliknya.

Handling dan Exercise

Handling

            Dari hasil praktikum diperoleh data sebagai berikut :
Table 12. Data handling
No. Sapi
Keterangan
B-55
Jinak
A-21
Jinak

Dari praktikum, handling sapi dilakukan ketika sapi akan ditimbang di tempat penimbangan. Untuk handling sapi perlu diperhatikan cara-cara untuk dapat menghandling sapi agar tidak beringas, langkah pertama yang harus diperhatikan adalah menjaga ketenangan suasana dan ketenangan sapi. Untuk itu praktikan mengusahakan kedatangannya diketahui oleh sapi agar sapi tidak kaget dan akhirnya beringas. Dalam hal ini, alat Bantu yang digunakan adalah tali keluh.
            Sapi dikeluarkan dari kandang, tali tambat telah dilepas. Tali tambat biasanya panjang, maka untuk memudahkan handling, tali tambat digulung sampai dekat mulut sapi. Tali keluh dipegang dengan salah satu tangan yang paling kuat. Dalam handling dilarang untuk berdiri disamping kaki belakang karena untuk menghindari tertendang oleh sapi.
            Sapi dituntun menuju tempat penimbangan. Bila dalam perjalanan sapi tidak mau berjalan maka sapi ditepuk pantatnya hingga mau berjalan. Dan jika sapi mencoba berontak, ditarik tali keluhnya.
            Dalam praktikum sapi yang dihandling umumnya jinak, tetapi praktikan masih mengalami kesulitan untuk menghandling menuju tempat penimbangan. Namun, ada juga praktikan yang tidak mengalami kesulitan sedikitpun dalam handling.
Exercise
            Sapi yang dipelihara didalam kandang perlu mendapat exercise selama satu sampai dua jam setiap harinya (Diggins, 1979). Exercise dilakukan dengan menuntun sapi dan berjalan-jalan keluar kandang dan menuju tempat penimbangan dan kembali lagi menuju kandang.
            Dalam pelaksanaan exercise, praktikan tidak mengalami kesulitan. Namun, ada juga praktikan yang tidak melakukan exercise terhadap sapi. Hal itu dikarenakan praktikan masih ragu-ragu dan mempunyai perasaan takut untuk melakukannya.  Exercise bagi praktikan akan bermanfaat untuk melatih keberanian terhadap sapi dan untuk sapi bermanfaat untuk mengendorkan otot-otot yang kaku selama dikandang, melancarkan peredaran darah, menghindarkan stress dan dapat menambah produksi susu.

 Pengukuran Data Fisiologis dan Lingkungan
Pengukuran data fisiologis yang dilakukan pada prakikum ini meliputi pengukuran frekuensi pulsus, frekuensi respirasi, temperatur rectal, temperatur lingkungan dan kelembaban udara. Data-data ini diambil dari sapi  A-21 dan sapi B-55. Dari data hasil pengamatan status fisiologi sapi perah, didapat data fisiologis yang meliputi frekuensi respirasi, pulsus, dan temperatu rectal. Pada sapi B-55 didapat data frekuensi respirasi antara 31 sampai 50 kali/menit, frekuensi pulsusnya antara 67 sampai 81 kali/menit dan temperatur rectal 38-39˚C. sedangkan pada sapi A-21 didapat data frekuensi respirasi antara 31 sampai 42 kali/menit, frekuensi pulsus 46-76 kali/menit dan temperatur rektalnya 38-39˚C.
Menurut Frandson (1992) data fisiologis sapi saat istirahat yang meliputi frekuensi respirasi 20 kali/menit, frekuensi pulsusnya 60-70 kali/menit dan temperatu rectal 38-39˚C. temperatu rectal dari kedua sapi tersebut berada dalam kisaran normal. Frekuensi respirasi dan pulsus berbeda dengan kisaran normal. Hal ini dapat disebabkan karena sapi mengalami stress karena terlalu banyak gangguan disekitarnya. Suhu lingkungan dan aktivitas sapi juga dapat mempengaruhi kedua status fisiologis tersebut (Frandson, 1992)
Pulsus
Besarnya pulsus atau denyut jantung dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, ketinggian tempat, kelembaban, stress, penyakit dan lain-lain. Pada praktikum ini didapatkan frekuensi pulsus pada sapi B-55  antara 61-79 kali/menit dan rata-rata dalam 1 hari adalah 73,268 kali/menit. Frekuensi pulsus pada sapi B-55 paling banyak pada pukul 16.00 yaitu sebanyak 74,3 kali/menit, sedangkan frekuensi pulsus paling sedikit terjadi pada pukul 12.00 yaitu 67,67 kali/menit. Pada sapi A-21 frekuensi pulsusnya antara 46,67-79 kali/menit dan rata-rata dalam 1 hari adalah 67,268 kali/menit. Frekuensi pulsus yang paling banyak terjadi pada pukul 13.00 yaitu sebanyak 79 kali/menit, sedangkan frekuensi pulsus paling sedikit pada pukul 06.00 yaitu sebanyak 46,67 kali/menit.
Jika dibandingkan dengan literatur, frekuensi pulsus kedua sapi diatas kisaran normal. Kisaran normal pulsus sapi antara 50-60 kali/menit (Williamson dan Payne, 1993). Tingginya frekuensi pulsus bisa disebabkan tingginya temperatur lingkungan. Sapi perah adalah sapi yang cocok pada temperatur lingkungan yang rendah sehingga pada kondisi lingkungan yang panas akan meningkatkan laju pulsus. Menurut Wlliamson dan Payne (1993) pada kondisi lingkungan yang panas laju pulsus akan meningkat karena jantung dipakai untuk memompa dan mengalirkan lebih banyak darah ke permukaan tubuh yang selanjutnya membentuk pembebasan panas secara konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi. Pada pagi hari, frekuensi pulsus kedua sapi masih sedikit karena temperatur lingkungan masih rendah. Dan ketika temperatur lingkungan tinggi, frekuensi pulsus menjadi banyak. Perubahan laju pulsus merupakan cara untuk mempertahankan panas tubuh yang relatif  konstan.
Temperatur Rectal
Merupakan suatu indeks yang baik untuk mengetahui kemampuan hewan dalam menjaga keseimbangan temperatur tubuh dan merupakan parameter yang baik untuk menggambarkan suhu tubuh.
Temperatur rectal sapi B-55 antara 38,13-39,2 ˚C dan rata-ratanya dalam sehari adalah 38,47˚C. Temperatur terendah pada pukul 06.00 dan 12.00 yaitu 38,766˚C dan temperatur tertinggi pada pukul 12.00, 13.00 dan 14.00 yaitu 39,2 ˚C.  Sedangkan pada sapi A-21 temperatur rectal antara 38,067-39,2˚C  dan rata-ratanya dalam sehari adalah 38,828˚C  dimana temperatur  terendah  pada  pukul   06.00 yaitu 38,067 ˚C dan temperatur tertinggi pada pukul 12.00 yaitu 39,2˚C.
Kisaran normal temperatur rectal pada sapi perah adalah  38,0-39,0˚C dan rata-ratanya adalah 38,6 ˚C. Jika dibandingkan dengan kisaran normalnya temperatur rectal kedua sapi adalah normal. Temperatur tubuh yang konstan merupakan persyaratan utama untuk produksi susu sapi perah (Frandson, 1992).
Respirasi
Frekuensi respirasi bervariasi, tergantung jenis sapi dan umurnya. Laju respirasi normal pada sapi perah berkisar antara 15-25 kali/menit.
Frekuensi respirasi sapi B-55 antara 31,3-55,33 kali/menit dan rata-ratanya dalam 1 hari 42,43 kali/menit. Frekuensi respirasi paling sedikit terjadi pada pukul 06.00 yaitu 31,3 sedangkan frekuensi respirasi paling banyak terjadi pada pukul 15.00  yaitu 55,33 kali/menit. Pada sapi A-21 frekuensi respirasi antara 31,3-42,3  kali/menit dan rata-ratanya dalam 1 hari adalah 34,978 kali/menit. Frekuensi respirasi paling sedikit terjadi pada pukul 13.00 dan 14.00 yaitu sebanyak 31,3 kali/menit sedangkan frekuensi respirasi paling banyak terjadi pada pukul 12.00 yaitu sebanyak 42,3 kali/menit.
Jika dibandingkan dengan kisaran normalnya, frekuensi respirasi  kedua sapi tersebut maka dalam keadaan normal.
Temperatur dan Kelembaban Lingkungan
Temperatur dan kelembaban lingkungan akan mempengaruhi frekuensi respirasi, frekuensi pulsus dan temperatur rectal. Dari data diketahui bahwa kalembaban  kandang  sekitar 90 % 
         Pada saat temperatur dan kelembaban tinggi frekuensi pulsus, frekuensi respirasi dan temperatur rectal cenderung meningkat. Selain mempengaruhi data fisiologis, temperatur dan kelembaban merupakan unsur lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi ternak (produksi susu). Pada saat temperatur lingkungan meningkat produksi susu dan konsumsi pakan akan menurun dengan sendirinya sebagai upaya untuk mengurangi produksi panas tubuh. Kurangnya nafsu makan merupakan sebab utama penurunan produksi susu selama ternak mengalami stress panas.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa sapi yang digunakan dalam praktikum adalah sapi Fresian Holstein (FH). Sapi mempunyai alat prehension yaitu lidah yang teksturnya kasar. Hal ini dipengarauhi oleh jenis dan macam pakan yang berupa serat kasar. Sapi merupakan hewan poligastrik. Puting sapi berjumlah 4 buah dan tidak ditemukan puting tambahan (ekstra puting).
Penafsiran berat badan dilakukan dengan mengukur panjang badan absolut dan lingkar dada. Lalu dikonfirmasi dengan rumus Scheiffer, Lambourne, dan Schoorl. Presentase kesalahan rata-rata dengan metode Scheiffer, Lambourne, Schoorl adalah 4,8 %, 9,94 %, dan 7,6%. Hasil yang paling mendekati sebenarnya adalah penafsiran berat badan dengan metode Scheiffer. Persentase kesalahan rata-rata penafsiran berat badan secara visual adalah 13,3%.
Pada penafsiran umur, yaitu dengan melihat keadaan gigi seri sapi. Umur tafsiran yaitu 2 tahun dan 2 tahun sedang umur sebenarnya 3 tahun dan 2,5 tahun.
Sanitasi ternak, kandang dan lingkungan dilakukan dengan baik dan bersih. Sapi A-21 dan B-55 menunjukan dalam kondisi sehat dan tidak terkena mastitis.
Kandang sapi perah merupakan suatu pabrik penghasil makanan sehat bagi manusia. Pada praktikum ini, kandang yang digunakan sudah standar yang ada.
Data fisiologi diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak. Pulsus sapi B-55 frekuensinya rata-rata 73,268 kali per menit dan sapi A-21 frekuensi pulsusnya 67,268 kali per menit. Temperatur rectal sapi B-55 rata-rata 38,47˚C, sedangkan sapi A-21 rata-rata 38,828˚C. Kedua sapi tersebut dalam kodisi normal dan sehat. Respirasi sapi B-55 rata-rata 42,43 kali per menit dan sapi A-21 rata-rata 34,978 kali per menit. Kelembaban kandang sekitar 90 %.
Produksi susu sapi B-48, B-31, B-55 cukup tinggi sedangkan produksi susu sapi A-21. Produksi susu ambing kuartir belakang lebih banyak daripada kuartir depan.

Saran
            Pada praktikum ini, menurut kami sudah berjalan dengan baik dan sangat membantu kami dalam memahami mata kuliah Dasar Ternak Perah. Kami juga sangat menghormati asisten yang ramah – ramah serta sabar sehingga kami  mudah dalam menyerap bahan – bahan yang ada. Kami berharap pada tahun yang akan datang dapat dilaksanakan menjadi lebih baik.


RINGKASAN

            Praktikum manajemen ternak perah yang dilakukan memiliki peranan yang sangat penting, yaitu bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang produksi susu yang tinggi dan berkualitas. Usaha memanajemen ternak perah yang meliputi pemilihan bangsa ternak perah yaitu dari bangsa sapi FH yang memiliki produksi susu tertinggi di Indonesia adalah upaya awal dalam peningkatan produksi susu. Selanjutnya recording atau pencatatan juga termasuk sebagai pemegang peranan penting pula karena tanpa adanya recording suatu usaha peternakan sapi perah tidak dapat melakukan manajemen yang baik dan produksi susu tidak dapat mencapai  target yang maksimal sebagai tujuan dari peternak itu senderi untuk mengembangkan usahanya. Fisiologi pencernaan dan kelenjar susu yang sempurna dimana dapat berfungsi secara normal adalah faktor yang penting pula dalam manajemen ternak perah sebab apabila fisiologi alat pencernaan dan kelenjar susu tidak berfungsi secara baik maka otomatis dapat mempengaruhi produksi susu, bahkan bisa dikatakan ternak tidak produktif.           Untuk sistem pengaturan mengenai perkandangan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di mana syarat yang baik pengaturan perkandangan adalah adanya ventilasi, cukupnya sinar matahari, kekeringan, lingkungan, keamanan hewan dan kontruksi kandang terutama kemiringan lantai dan adanya selokan di mana kemiringan selokan juga harus diperhatikan pula.
            Untuk menunjang jalannya manajemen ternak perah diperlukan berbagai alat yang harus disediakan diantaranya alat identifikasi, alat bantu pengukuran berat badan, dan alat bantu handling. Alat identifikasi meliputi branding, ear tag, ear notch, neck chain, ankle streep, tatto tang, burdizzo tang, tatto dan palu. Untuk alat bantu pengukuran berat badan seperti pita DWT (Dairy Cow Weighting Tape), dan mistar ukur. Sedangkan alat bantu handling berupa halter.
            Dalam pelaksanaan manajemen, faktor penting yang perlu diperhatikan adalah mengenai perawatan ternak perah sebab perawatan ternak perah bila dilakukan secara benar dan baik akan mengurangi tingkat timbulnya penyakit yang dapat menyerang ternak. Selain itu pula dengan perawatan ternak perah yang benar akan mempengaruhi kualitas susu.
            Pemberian pakan juga mempunyai peranan yang penting pula dimana dengan pemberian pakan secara benar dapat meningkatkan produksi susu yang maksimal. Pemberian pakan harus disesuaikan dengan proporsi masing-masing jenis ternak perah atau dengan kata lain pemberian pakan secara serasi dan seimbang di mana dalam menyusun ransum berhubungan dengan berat badan sapi serta umur dari sapi tersebut. Sehingga pendugaan berat badan dan umur harus dilaksanakan guna menunjang terlaksananya manajemen ternak perah yang baik. Selain itu pula faktor yang perlu diperhatikan adalah pemerahan dari ternak sapi ternak perah itu sendiri. Dalam pemerahan hal yang perlu diperhatikan meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap penyelesaian atau pengapuhan, dan tahap penanganan susu.
            Handling dan exercise berperan penting pula dalam manajemen ternak perah sebab handling merupakan metode untuk menguasai ternak sehingga ternak akan mudah untuk diberi perlakuan sesuai dengan tujuan seperti pemerahan dan penafsiran berat badan. Sedangkan tujuan dari exercise adalah untuk memperkuat perototan, memperlancar peredaran darah dan mencegah terjadi retensi placenta.
            Untuk pengukuran data fisiologis dan lingkungan perlu dilakukan sebab dapat mengetahui bagaimana kondisi kesehatan dari ternak dari ternak perah. Sedang untuk pengukuran lingkungan dimaksudkan  agar dapat diketahui bagaimana kondisi lingkungan, dimana kondisi lingkungan yang berubah-ubah dapat berpengaruh pula pada kondisi kesehatan dari ternak itu sendiri. Kemudian dalam pengelolaan manajemen ternak perah pengamatan tingkah laku juga memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil produksi yang maksimal karena dengan mengamati tingkah laku ternak bisa diketahui apakah dalam pemberian dan penangan pakan sesuai dengan jumlah pakan yang dimakan dengan jumlah yang dikeluarkan.    



DAFTAR PUSTAKA

Aiumlamai. 1999. Dairy Mangement and Animal Health in Smallholders Dairying in the Tropic. Ed. I. Falvey and Chantalakhana. ILRI-Nairobi, Kenya

Anonimus. 1983. Program Teknik Dan Kandidat Pembangunan, Direktorat        Jendral Peternakan. Departemen Pertanian: Jakarta.

Anonimus. 1985. Beternak Sapi Perah. Aksi Agraria Kanisius, Jakarta.

Anonimus. 1991. Beternak Sapi Perah. Kanisius: Yogyakarta.

Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker dan R.D. Appleman. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits Third Edition. Lea and Febinger, Philadelphia.

Blakely. J and Bade. 1985. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.

Blakely. J and Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.

Blakely. J and Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. UGM Press Yogyakarta.

Davendra C. and M. Burn. 1983. Goat Production in the Tropic. Commonwealth Agriculture Beuraux.

Davendra and Born. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Universitas Udayana: Bali.

Diggins, R.V.S. and C.E. Bundy. 1979. Dairy Production. Prentice Hall.Inc Englewood Cliff: New Jersey.

Eustice, R.F. 1988. Pedoman Pengelolaan Sapi Perah. Nandi Amerta Agung: Salatiga.

Frandson, R.O. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
Gufron. 1976. Korelasi Antara Berat Badan Hidup dengan Lingkar Dada, Panjang Badan dan Gumba Sapi 5 Bali Kualitas Eksport Asal Pulau Lombok NTB. Skripsi Sarjana Peternakan UGM. Yogyakarta.
Hardjosubroto, W., T. Soetarno, R. Soepardjo, M. Astuti, S. Prihadi, S. Reksohadiprodjo, Soegeng dan Adiarto. 1980. Program Breeding Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemeliharaan Ternak Dilapangan. Prasindo: Yogyakarta.

Henderson, H.O. dan P.M. Reaves. 1963. Dairy Cattle. Feeding and Management 5th ed. Wiley Eastern Put., Ltd., New Delhi.

King. 1978. An Introduction To Animal Husbandry. Holsted Press Advision of Jhon Wileyson Inc., New York.

Lasley, J.F. 1981. Beef Cattle Production. Prerentice Hall Inc., New Jersey.

Muljana. W. 1985. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Sapi Perah. CV Aneka Ilmu, Semarang.

Murtidjo, BA. 1992. Beternak Sapi Potong. Penebar Swaday, Jakarta.

Murtidjo, BA. 1993. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

NRC. 1978. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. Fifth Revised Ed. NAS. Washington DC.

Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Cetakan Pertama. Penerbit PT. Gramedia Anggota IKAPI, Jakarta.

Poespo, R.S. 1963. Pengetahuan Tentang Penentuan Umur. Terjemahan De leer tijds Bepaling Bijde Huisairen.

Prihadi. S. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM: Yogyakarta.

Reksohadiprodjo, Soedomo. 1995. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Edisi Kedua. BPFE: Yogyakarta.

Reksohadiprodjo, Soedomo. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE: Yogyakarta.

Sarwono, B. 1997. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya: Jakarta.

Sindhuredjo, S. 1960. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu. Proyek Pengembangan Produksi Ternak Riset. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
Siregar, S. 1990. Sapi Perah Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya: Jakarta.

Siregar, S. 1992. Pemeliharaan Sapi Perah Laktasi di Daerah Dataran Rendah. Wartaozoa. Vol. 5 No. 1: 1-9.

Siregar, S.M.S. 1995. Sapi Perah, Jenis Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya: Jakarta.

Soetarno. 1995. Dasar Ternak Perah. Fakltas Peternakan UGM: Yogyakarta.

Soetarno. 1999. Manajemen Ternak Perah. Lab Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta.

Soetarno, Timan. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan UGM: Yogyakarta.

Sosroamidjoyo, SM. dan Soeradji. 1978. Peternakan Umum. Edisi Kedua. CV Yasaguna: Jakarta.

Sosroamidjoyo, SM. dan Soeradji. 1990. Peternakan Umum. Cetakan ke-10. CV Yasaguna: Jakarta.

Syarief, M. dan Sumoprastowo C.D.A. 1984. Ternak Perah. Edisi Kedua. CV Yasaguna: Jakarta.

Toelihere, M.Z. 1987. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi Dan Kerbau. UI Press: Jakarta.

Williamson, G and W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


LAMPIRAN

Lampiran 1.
Perhitungan berat badan
Sapi TS02
Diket :       Panjang badan             = 148 cm = 58,3 inch
                  Lingkar dada               = 141 cm = 55,5 inch
                  Berat badan real          = 325 kg
Berat badan :
a.       Metode scheiffer.
                   W = berat badan (pound), L = panjang badan (inch)
                                    G = lingkar dada (inch)
b.      Metode lambourne.
               W = berat badan (Kg), L = panjang badan (cm)
                                    G = lingkar dada (cm)
c.       Metode schrool
           W = berat badan (Kg), G = lingkar dada (cm)

Prosentase kesalahan
1)      Metode scheiffer.
2)      Metode lambourne.
3)      Metode schrool

Sapi 7674
Diket :       panjang badan             = 162 cm = 63,8 inch
                  Lingkar dada               = 191 cm = 75,2 inch
                        Berat badan real          = 535 kg
Berat badan :
a.      Metode scheiffer.
                W = berat badan (pound), L = panjang badan (inch)
                                    G = lingkar dada (inch)
b.      Metode lambourne.
               W = berat badan (Kg), L = panjang badan (cm)
                                    G = lingkar dada (cm)
c.      Metode schrool
           W = berat badan (Kg), G = lingkar dada (cm)
Prosentase kesalahan
1)                 Metode scheiffer.
2)                 Metode lambourne.
3)                 Metode schrool


Lampiran 2.

Perhitungan ransum
]
Diketahui sapi dengan berat badan 475 Kg, masa laktasi I, produksi susu 20 Kg, kadar lemak 4 %. Bahan yang tersedia meliputi rumput gajah, alang-alang, bungkil kedelai, pollard, dan tepung biji kacang kapri.

I. Menentukan totak BK pakan yang mampu terkonsumsi oleh sapi.           
4 % FCM = (0,4 x produksi susu) + 15(kadar lemak x produksi susu)
4 % FCM = (0,4 x 20) + 15 (0,04 x 20)
4 % FCM = 8 + 12
4 % FCM = 20
              
            320 + 30   = 100X
                       X   = 3,5

Jadi BK= 3,5 % (BK maksimal untuk berat badan 475 Kg )
BK pakan        = 3,5 % x 475 Kg
            = 16,625 Kg






II. Menyusun tabel kebutuhan nutrien sapi sesuai kebutuhan berdasar berat badan.
Parameter
Kebutuhan Nutrien
NEL (Mcal)
PK (g)
Ca (g)
P (g)
Hidup Pokok
8,14
351
19
13,5
20 %
1,628
70,2
3,8
2,7
Produksi Susu
14,8
1800
64,2
39,4
Total
24,568
2221,2
87
55,6

III. Menentukan imbangan BK hijauan dan BK konsentrat.
Imbangan BK hijauan dan BK konsentrat 60 : 40
» BK hijauan   = 60 % x 16,625
= 9,975 Kg
Perbandingan rumput gajah : alang-alang = 30 : 70
BK rumput gajah        = 30 % x 9,975 Kg
= 3,99 Kg
BK alang-alang           = 70 % x 9,975 Kg
= 5,985 Kg
»BK konsentrat    = 40 % x 16,625 Kg
     = 6,65 Kg
Perbandingan bungkil kedelai : pollard : tepung biji kacang kapri = 50 : 20 : 30
BK bungkil kedelai     = 50 % x 6,65 Kg
= 3,325 Kg
BK pollard      = 20 % x 6,65 Kg
= 1,33 Kg
BK tepung biji kacang kapri   = 30 % x 6,65 Kg
= 1,995 Kg
Serat kasar minimal 17 % dari berat badan.

Serat kasar yang dibutuhkan   = 17 % x 16,625 Kg
= 2,826 Kg

Tabel kandungan nutrien bahan pakan.
Bahan Pakan               NEL (Mcal)    PK (%)    BK (%)    SK (%)     Ca (%)    P (%)
Rumput Gajah                    1,13             9,1           18           33,1          0,53       0,29
Alang-alang                        1, 24         12,2            23          35.7          0,13       0,09
Bungkil Kedelai                 1,79             48             86           5,1           2,01        1,2
Pollard                                1,98            18,7           86           7,7           0,10       1,18
Tep. biji kc. Kapri              2,21            26,6           86           7,6           0,15       0,44
 

IV. Chek kandungan nutrien dari ransum yang telah tersusun.
Bahan Pakan
Kebutuhan Nutrien
NEL (Mcal)
PK (g)
SK (g)
Ca (g)
P (g)
Rumput Gajah
4,5087
363,09
1,32069
21,147
11,571
Alang-alang
7,4214
730,17
2,136645
7,7805
5,3865
5,3865
5,95175
1596
0,169575
66,8325
39,9
Pollard
2,6334
248,71
0,10241
1,33
15,694
Tep.Biji kc.Kapri    
4,40895
530,67
0,15162
2,9925
8,778
Total
24,9242
3468,64

3,88094*
100,0825
81,3295


*Kebutuhan minimal serat kasar terpenuhi.





V. Tabel imbangan antara kebutuhan dan pemberian.
Parameter
Kebutuhan Nutrien
NEL (Mcal)
PK (g)
Ca (g)
P (g)
Kebutuhan
24,568
2221,2
87
55,6
Pemberian
24,9242
3468,64
100,0825
81.3295
Koreksi
+ 0,3562
+ 1247,44
+ 13,0825
+ 25,7295

VI. Ransum dalam bentuk segar.
Bahan Pakan
BK (Kg)
As fed (Kg)
Rumput Gajah
3,99
100/18 x 3,99 = 22,167
Alang-alang
5,985
100/23 x 5,985 = 26,02
Bungkil Kedelai
3,325
100/86 x 3,325 = 3,86
Pollard
1,33
100/86 x 1,33 = 1,55
Tep. Biji kc. Kapri
1995
100/ 86 x 1,995 = 2,32












Post a Comment for "LAPORAN PERAH TAK TAHU PUNYA SIAPA"