Peran Gender dalam Program Pembangunan
Peran
Gender dalam Program Pembangunan
Konsep
pembangunan yang diterapkan di seluruh dunia kini adalah konsep barat, yang
pada intinya akan mengubah alam kehidupan tradisional menjadi modern yang diwujudkan
dalam struktur ekonomi industri untuk menggantikan struktur ekonomi pertanian.
Di dalam masyarakat seringkali perempuan menjadi warga kelas dua, dan menjadi
obyek dari berbagai upaya perubahan yang disusun dalam kerangka berfikir yang
mengacu pada asumsi yang sangat bias laki-laki. Hal inilah yang menjadi salah
satu faktor yang menjelaskan mengapa perempuan tertinggal atau ditinggalkan
dalam proses pembangunan. Pada umumnya di dalam program-program pembangunan di
tingkat provinsi, kabupaten maupun desa baik laki-laki maupun perempuan tidak
dilibatkan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan. Hampir semua program
kebijaksanaan bersifat top down, sehingga masyarakat hanya tinggal
sebagai pelaksana program tersebut. Norma-norma tradisional seringkali masih
tetap dijadikan acuan di dalam menyususn program kebijaksanaan, dan terjadi
penyeragaman kebijakan untuk pembangunan di pedesaan. Di tingkat desa akses
laki-laki terhadap program
pembangunan
lebih besar di banding perempuan, seperti terlihat pada Tabel 2.
Di dalam program
penyuluhan pertanian (Sukesi, et.al., 1991) ditemukan kenyataan bahwa:
1. Akses
perempuan ke penyuluhan pertanian, persepsi dan aspirasi perempuan perlu masih
perlu ditingkatkan
2. Pada komoditi
tebu perempuan bayak berperan pada kegiatan usaha tani, sedang pada komoditi
kedelai keterlibatan perempuan relatif kecil. Etnis memberikan variasi pada
pembagian kerja gender pada liam komodity yang diteliti
3. Dalam
penyuluhan pertanian sasaran utama adalah laki-laki
Demikian
pula meskipun di bidang peternakan perempuan mempunyai peran yang cukup
penting, namun partisipasinya di dalam
progrm penyuluhan relatif rendah (Homzah, 1987). Secara relatif program
penyuluhan yang ditujukan kepada perempuan tani di pedesaan tidak didesain
khusus untuk menjangkau kelompok perempuan tani sesuai dengan fungsi dan
peranannya, serta belum menerapkan pendekatan yang paling tepat untuk kelompok
didik yang dituju (Sulaiman, 1997). Faktor sosial budaya yang mengakibatkan
ketidaksetaraan gender dan merupakan kendala bagi perempuan telah mengakar kuat
pada kehidupan sosial ekonomi dan budaya selama berabad-abad menyebabkan
kurangnya kesadaran dan pemahaman gender.
Secara
umum akses dan kontrol perempuan pada kelembagaan dan organisasi baik yang bersifat
formal maupun tradisional baru sebatas pada kelembagaan yang erat hubungan
dengan peran gender perempuan. Misalnya pada organisasi PKK, arisan, pengajian
dan sebagainya. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa organisasi-organisasi yang
dibentuk dan diperkenalkan oleh pemerintah baru dapat dijangkau oleh golongan
rumah tangga mampu. Di lain pihak kegiatan-kegiatan pembangunan pemerintah di
dalam pelaksanaaanya di tingkat desa, dan mungkin juga dalam konsepsinya di
tingkat nasional baik secara eksplisit maupun implisit
membuat
asumsi yaang menguatkan pemisahan peran laki-laki dan perempuan. Antara lain
penyuluhan pertanian, program kredit, perkumpulan-perkumpulan formal dan
peranan pemimpin di dalamnya ditetapkan sebagai urusan laki-laki. Sedang urusan
perempuan ditetapkan terbatas pada kegiatan-kegiatan yang menjurus ke bidang
reproduksi seperti keluarga berencana, pendidikan gizi dan kesehatan, PKK, dan
seterusnya (White dan Hastuti,1980). Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan
pemerintah belum peka gender, karena tidak sesuai dengan peran yang nyata di
dalam masyarakat.
Kebijakan
yang sensitif gender adaah kebijakan yang mencerminkan kepentingan laki-laki
dan perempuan secara setara (Syaifudin, 1996). Di dalam lingkup publik,
sumberdaya dialokasikan melalui kebijakan publik. Alokasi sumberdaya dalam
lingkup publikpun terbukti tidak memberikan kesempatan yang sama berdasarkan
gender. Pilihan-pilihan dan partisipasi perempuan dalam proses kebijakan sangat
terbatas akibat proses sosialisasi yang selama ini ada, menyebabkan perempuan
harus melalui banyak rintangan ketika akan memasuki aena politik dan kebijakan.
Politik dan kebijakan dipercaya sebagai dunia laki-laki. Bahkan memasuki dunia
ini masih dianggap sebagai pelanggaran terhadap kodrat perempuan. Oleh karena
itu berbagai program kebijakan dari pusat harus ditelaah apakah sesuai dengan
kenyataan di dalam masyarakat. Norma yang selama ini sering digunakan sebagai
acuan perlu ditinjau kembali, agar kebijakan yang yang diambil tepat sasaran.
Penyeragaman kebijakan tidak dapat diterapkan karena peran gender berbeda baik
antar tempat, waktu, dan kelas sosial ekonomi masyarakat.
Resume : Perempuan dibidang peternakan memiliki peran
penting, namun partisipasinya dalam program penyuluhan relative rendah. Perempuan
seharusnya dapat berpartisipasi mulai dari tahap perencanaan dan hingga
pelaksanaan. Kaitanya dengan budaya diindonesia, perempuan merupakan pekerja
“dibalik layar” padahal wanita diperlukan khususnya untuk pendekatan kepada
masyarakat yang juga wanita karena akan lebih dekat. Penyuluh wanita akan lebih
disegani oleh masyarakat wanita karena kesamaan gender, namun penyuluh wanita
sendiri sering tidak terjun langsung dan lebih dekat ke masyarakat.
sumber : Endang lestari hastuti, Hambatan Sosial Budaya Dalam Pengarusutamaan gender di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Diakses di http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/download/4084/3073 pada13 mei 2013.
Post a Comment for "Peran Gender dalam Program Pembangunan"